Kisah Perseteruan Ajengan Yusuf Tauziri vs Kartosoewirjo (1)
Bagaimana seorang ulama kharismatik dari Garut menjalankan perlawanan total terhadap agresifitas gerakan Darul Islam.
Garut, 17 April 1952. Kengerian membekap Pesantren Darussalam Cipari malam itu. Ribuan bayangan berkelebat, seolah hantu-hantu pencabut nyawa yang tengah memburu mangsanya. Di tengah suara tembakan gencar yang membahana, terdengar jerit ketakutan para perempuan dan anak-anak.
“Saya ingat sekitar 3 batalyon gorombolan DI (Darul Islam) menyerang pesantren kami selepas jam 7 malam. Di bawah pimpinan langsung Mama Ajengan Yusuf (Tauziri) kami melawan mereka sebisanya” kenang Syarif Hidayat, saksi hidup peristiwa tersebut.
Penyerangan sekitar 3000 gerilyawan DI tersebut merupakan puncak perseteruan politik antara pimpinan Pesantren Darussalam Cipari Ajengan Yusuf Tauziri dengan imam DI Sekar Maridjan Kartosoewirjo. Menurut Syarif Hidayat, sejak tahun 1949—1958 sudah sekitar 50 kali pesantren yang terletak di kawasan Wanaraja itu diserang para pengikut Kartosoewirjo.
“Kejadian pada 1952 itu merupakan penyerangan yang terparah karena menimbulkan korban nyawa di kedua belah pihak,” ujar salah satu keponakan Ajengan Yusuf Tauziri yang lahir pada 1934 itu.
Baca juga: Detik-detik Terakhir Kartosoewirjo
Sejatinya, Ajengan Yusuf merupakan kawan dekat Kartosoewirjo sejak masa pergerakan. Menurut Hiroko Horikoshi dalam Kyai dan Perubahan Sosial, kedekatan Yusuf dengan Kartosoewirjo terjalin kala dedengkot DI itu aktif di Dewan Sentral PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) pada 1931--1938. Bahkan bisa dikatakan, Yusuf merupakan penasehat Kartosoewirjo.
Soal kedekatan itu memang diakui oleh Syarif. Malahan menurutnya, hubungan organisasi itu dikuatkan dengan terciptanya relasi yang sangat baik antara adik-adik perempuan Ajengan Yusuf dengan istri Kartosoewirjo yakni Dewi Siti Kalsum. Mereka sering saling kunjung-mengunjungi dan berbagi kabar. Lantas apa yang menjadi musabah hubungan kedua-nya seolah dua musuh bebuyutan?
Peneliti sejarah Iim Imadudin menyebut ada tiga hal yang menjadikan Ajengan Yusuf berselisih jalan dengan Kartosoewirjo: taktik melawan Belanda, konsepsi Negara Islam dan sikap politik terhadap Perjanjian Renville. Soal taktik perlawanan terhadap Belanda, Yusuf melihat Kartosoewirjo tidak lugas dan lebih mengandalkan sikap “hantam kromo”.
“Sementara, K.H. Yusuf Tauziri tahu benar bagaimana memanfaatkan keahlian lawan untuk pada akhirnya menghancurkan lawan,” ungkap Iim dalam tulisannya di jurnal Patanjala Vol.2, No.1, Maret 2010 berjudul ‘Peranan Kiyai dan Pesantren Cipari Garut Menghadapi DI/TII (1948—1962)’
Kendati tak menyetujui Perjanjian Renville yang dia anggap terlalu merugikan pihak RI, Yusuf pada akhirnya “menerima” kesepakatan Indonesia-Belanda tersebut dengan kebesaran jiwa dan sikap loyal kepada kepemimpinan Sukarno-Hatta. Termasuk dengan merestui Lasykar Darussalam pimpinan salah seorang putranya (Saep Darmawan) untuk hijrah ke Yogyakarta.
Baca juga: Berjudi di Atas Renville
Namun Yusuf menjalankan siasat pula kala bersikap seperti itu. Diam-diam dia menyimpan sebagian besar kekuatan Lasykar Darussalam dan membiarkan pasukan pesantren itu dilatih kemiliteran oleh tentara Belanda selama Jawa Barat secara resmi ditinggalkan kaum Republik.
Dengan mengikuti pelatihan militer tersebut, sang ajengan berharap kemampuan dan pengalaman para santri-nya semakin mumpuni. Kelak semua keahlian militer tersebut akan digunakan untuk melawan Belanda sendiri dan menjaga diri dari gangguan para gerilyawan DI. Demikian pemikiran yang tersirat di kepala Yusuf.
Tentu saja taktik cerdas itu tak disukai oleh pihak DI/TII. Alih-alih memakluminya, Kartosoewirjo yang juga menolak mentah-mentah Perjanjian Renville dan hijrah ke Yogyakarta, menilainya sebagai suatu bentuk pengkhianatan dari kawan sejawat.
“Maka setiap kali DI/TII menyerang Darussalam, mereka selalu berteriak ”yeuh mantega ti Wihelmina (nih mentega dari Wihelmina!)” sambil melontarkan bom,” ungkap Iim.
Baca juga: Banjir Darah di Cibugel
Terkait konsep negara Islam versi DI, Yusuf menyebutnya sebagai bughat (pembangkangan terhadap pemerintah yang sah). Berbeda dengan Kartosuwirjo yang strukturalis, bagi Yusuf yang terpenting adalah bagaimana mengislamkan masyarakatnya, bukan mengislamkan negaranya.
“Ajengan Yusuf sering bilang kepada kami adalah tidak dibenarkan seorang Muslim ‘membuat rumah di dalam rumah’,” ujar Syarif Hidayat.
Karena itu meskipun sama-sama menolak Perjanjian Renville, Yusuf mengecam sikap Kartosoewirjo yang menganggap RI sudah tidak ada dengan langsung membentuk DI/TII. Baginya, yang dilakukan sang imam seperti menusuk RI dari belakang.
Ketika DI/TII memberlakukan aturan penarikan pajak (mereka sebut sebagai infaq) di seluruh Jawa Barat, kemarahan Yusuf semakin bertambah. Terlebih ketika pemunggutan pajak itu dijalankan lewat cara kekerasan, itu menurutnya hanya semakin menambah beban penderitaan rakyat di tengah situasi perang. (Bersambung)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar