Howard Jones, Duta Besar Penyambung Jakarta-Washington
Demi persahabatan Amerika Serikat dengan Sukarno, Howard Jones memainkan lakon yang acap kali membahayakan dirinya.
AWAL 1961, Presiden Sukarno akan mengadakan muhibah keliling dunia. Selain berkampanye masalah Irian Barat, Si Bung juga ingin menggalang kekuatan negara dunia ketiga sekaligus memperkenalkan konsep non-blok menghadapi situasi Perang Dingin. Rencananya, kunjungan itu meliputi negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, terutama yang berpaham sosialisme.
Duta Besar AS di Jakarta, Howard Jones mendapati informasi bahwa Sukarno akan mengadakan perjalanan selama tujuh puluh hari. Jones tahu, untuk mengunjungi Meksiko rute perjalanan Sukarno harus transit di Los Angeles, California. Hal ini dengan cepat disampaikan Jones kepada Departemen Luar Negeri AS. Jones mendesak pemerintahnya agar Kennedy mengundang Sukarno menyinggahi Washington. Jones juga menyarankan agar Kennedy menyambut langsung kedatangan Sukarno, sebagaimana penghormatan yang diterimanya ketika mengunjungi Uni Soviet.
“Hubungan pribadi sangat penting dalam bidang internasional. Hubungan (Sukarno) dengan Presiden Kennedy bisa sangat berarti bagi kedua negara,” ujar Jones dalam memoarnya Indonesia: The Possible Dream.
Baca juga:
Kennedy merespon rekomendasi Jones. Pada 21 Februari 1961, sang presiden flamboyan itu mengirimkan surat pribadi kepada Sukarno yang berisi undangan untuk satu pertemuan informal di Gedung Putih. Dengan senang hati, Sukarno menerima undangan itu. Kunjungan ke Washington diagendakan pada akhir April.
Pada waktu upacara penyambutan di Washington, Ganis Harsono juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia berdiri hanya berjarak sepuluh kaki dari kedua presiden itu. Dalam menyambut Sukarno, Kennedy seharusnya dapat memperlihatkan dirinya sebagai orang yang paling berkuasa di dunia. Akan tetapi hal tersebut tak dilakukannya.
“Malahan sebaliknya ia memperlihatkan kehalusan dan kesopansantunan yang membuat Sukarno merasa enak dan santai,” tutur Ganis dalam Cakrawala Politik Era Sukarno.
Menangkis Kubu Garis Keras
Menurut sejarawan cum arsiparis Amerika Bradley R. Simpsons, menjelang kedatangan Sukarno ke Amerika, kubu Gedung Putih terbagi dalam dua faksi: Pertama, kubu garis keras yang anti kepada Indonesia (terlebih Sukarno) karena dianggap diktator dan pro komunis. Representasi kelompok ini ditunjukan oleh Menteri Luar Negeri Dean Rusk dan kalangan dunia intelijen AS. Mereka cenderung untuk mengisolasi Sukarno atau berupaya menggulingkan dan menggantinya dengan rezim militer.
Kelompok kedua adalah kubu moderat yang bersikap lebih akomodatif terhadap Indonesia. Howard Jones menjadi pelopor dari kelompok ini yang kemudian didukung oleh beberapa anggota Dewan Keamanan Nasional (NSC) dan penasihat khusus presiden dalam National Security Advisers (NSA). Kelompok akomodatif meyakini AS dapat bekerja sama dengan Sukarno untuk secara perlahan menjauhkan pengaruh komunis dari Indonesia.
Baca juga:
“Ini adalah pembela paling konsisten pendekatan pembangunan jangka panjang untuk Jakarta,” tulis Simpsons dalam Economist with Guns.
Ketika sengketa Irian Barat berkecamuk, kubu garis keras lebih memihak Belanda ketimbang Indonesia. Sebaliknya, para penasehat yang pro Indonesia berpendapat bahwa sengketa Irian Barat akan dapat diselesaikan justru dengan cara mendukung posisi Indonesia. Sejarawan Universitas Sanata Dharma Baskara Tulus Wardaya mengatakan, Jones berperan dalam mengubah persepsi pemerintahan Kennedy yang semula dipengaruhi kubu garis keras menjadi lebih memahami tuntutan Indonesia atas Irian Barat.
Dalam berbagai pesan telegram yang dihimpun dalam arsip Foreign Foreign Relations of the United States, 1961-1963, Volume XXIII: Southeast Asia, Jones kerap mendesak Washington agar berpihak kepada Indonesia. Argumentasi Jones, jika mau mendukung Indonesia maka Sukarno akan berpaling kepada AS dengan sepenuh hati. Lebih jauh, Jones menyarankan pemerintahan Kennedy supaya melibatkan diri dalam krisis Irian Barat. Jones juga membujuk Sukarno untuk mengurungkan niat menggunakan kekuatan bersenjata guna menekan Belanda.
Baca juga:
“Jelas sekali Jones sangat pro-Indonesia,” tulis Baskara dalam disertasinya di Universitas Wisconsin yang kemudian dibukukan Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963.
Meninggalkan Bung Besar
Berbeda halnya dengan sengketa Irian Barat, konflik Indonesia dengan Malaysia pada 1964 menjadi ujian terbesar bagi Jones karena berimbas terhadap AS. Sukarno menentang keras pembentukan negara federasi Malaysia yang disponsori oleh Inggris. Sementara Lyndon Johnson, presiden pengganti Kennedy kurang menaruh perhatian terhadap Indonesia. Johnson cenderung memusuhi Sukarno dan memihak Inggris dalam mendukung Malaysia.
Sukarno lalu mendengungkan politik konfrontasi mengganyang Malaysia. AS menanggapinya dengan menarik bantuan ekonomi terhadap Indonesia. Sukarno bahkan mengancam akan menasionalisasi aset Barat yang ada di Indonesia dan melontarkan amarahnya yang terkenal, “go to hell with wour aid!” (persetan dengan bantuanmu).
Baca juga:
Menurut Bradley Simpson, sepanjang masa sukar konfrontasi Malaysia, Jones berupaya keras melawan sentimen anti-Indonesia dari kelompok garis keras yang kembali menguat. Jones memperingatkan Menteri Luar Negeri AS, Dean Rusk agar tak melakukan kebijakan yang menyerang atau mengucilkan Sukarno. Langkah demikian, dalam pandangan Jones akan menjadi kesalahan serius: memaksa Sukarno semakin militan dan merapat pada PKI.
Sementara itu, di Indonesia, situasinya juga tak menguntungkan bagi Jones. Dia kerap menerima intimidasi yang sesungguhnya ditujukan kepada pemerintahnya. Kedutaan besar AS di Jakarta beberapa kali disambangi massa yang melampiaskan amuk demonstrasi. Rosihan Anwar wartawan senior koran Pedoman mencatat, Jones bersama Ellsworth Bunker diplomat AS yang diutus untuk memediasi konflik Malaysia pernah diteriaki ratusan mahasiswa Bandung saat menghadiri sidang umum MPRS, “Go home Yankee! Hancurkan imperialis Amerika!”
Frustrasi yang semakin mendalam terhadap Sukarno dan politik konfrontasinya menyebabkan susutnya pengaruh kelompok Jones. Pada Mei 1964, Jones mengakhiri masa tugasnya di Indonesia. Pemerintah AS menunjuk Marshall Green sebagai duta besarnya yang baru. “Ia diplomat yang mengkhususkan diri dalam masalah-masalah Timur Jauh, terutama sekali masalah komunisme,” tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965. Sebelumnya, Green menjabat duta besar AS untuk Korea Selatan pada saat terjadi kudeta terhadap Presiden Synghman Rhee.
Baca juga:
Bersama Green, pemerintah AS kemudian melancarkan pendekatan yang lebih agresif terhadap Sukarno maupun TNI. Dalam memoarnya Dari Sukarno ke Soeharto, Green mencatat, “Tidak ada seorang asing pun, dan pastinya tidak orang bukan Asia, yang lebih erat hubungannya dengan Sukarno daripada Duta Besar Jones.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar