Menak Sunda di Balik Murka Bung Karno
Kemarahan Presiden Sukarno kepada AS terluapkan karena masukan seorang tangan kanannya.
DARI semua presiden Republik Indonesia, hanya Sukarno yang berani melawan Amerika terang-terangan. Ini pernah dibuktikan lewat ucapan kerasnya, “Go To Hell With Your Aid” atau persetan dengan bantuan mu! Makian tersebut ditujukannya langsung kepada pemerintah Amerika Serikat.
“Dia benar-benar melakukannya,” kenang Howard Jones dalam memoarnya Indonesia: The Possible Dream.
Jones adalah Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia yang menyaksikan langsung murka Sukarno. Pada 25 Maret 1964, Sukarno tampil dalam sebuah acara peresmian gedung Wisma Mandiri di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Hadir disana sebanyak 2.000 orang, termasuk para diplomat dari berbagai negara.
Sukarno memulai pidatonya dengan mengutip berita dari mingguan terkemuka Amerika Serikat. Dalam editorialnya, mingguan itu menyebutkan bahwa Indonesia berada di ambang keruntuhan ekonomi. Selain itu, diterangkan pula rencana Amerika Serikat yang akan menghentikan semua bantuan kepada Indonesia, kecuali Sukarno bersedia menarik pasukan gerilyawannya dari Malaysia.
Menyikapi editorial itu, Sukarno tidak goyah. Dia sesumbar Indonesia yang kaya sumber daya alam akan berkembang secara ekonomi. Dengan lantang, Sukarno berseru:
“Kami menerima bantuan dari banyak negara dan kami berterima kasih atas bantuan tersebut. Tapi kami tidak akan menerima hal itu dengan ikatan politik. Ketika ada negara yang menawarkan bantuan dengan ikatan politik, akan ku beri tahu mereka,” Sukarno diam sejenak lalu lanjut mengumpat dalam bahasa Inggris.
“Go to hell with your aid!”
Sambil menumpahkan amarahnya, Sukarno menujuk-nunjuk telunjuknya ke arah Jones. Hari itu, Jones hanya bisa makan hati menelan penghinaan yang dia terima dari Presiden Indonesia.
Bantuan Semu AS
Makian Sukarno kepada Amerika Serikat (AS) bermula dari perdebatan dalam Kongres AS seputar bantuan ekonomi terhadap Indonesia. Washington hanya mengenal dua pilihan: diteruskan atau berhenti. Melanjutkan bantuan ekonomi kepada Indonesia dipertimbangkan karena Sukarno sedang menyengketakan pembentukan Federasi Malaysia. Blok Barat, termasuk Presiden AS Lyndon Johnson mendukung pembentukan federasi. Sementara Sukarno menentangnya dan mengirimkan paramiliter ke perbatasan Malaya.
Pada 24 Maret 1964, Menteri Luar Negeri AS Dean Rusk menyampaikan kebijakan kontroversial kepada Komisi Luar Negeri di Senat. Dia mengatakan bahwa pemerintah AS memutuskan untuk tidak memulai program bantuan baru untuk Indonesia. Rusk juga mengisyaratkan bantuan baru tidak akan diberikan sampai konfrontasi yang dilancarkan Sukarno berhenti.
Pernyataan Rusk disiarkan media AS. Polemik ini semakin kusut setelah berbagai suratkabar Indonesia ikut bersuara memberikan tanggapan. Sukarno membalasnya dengan kata-kata cercaan sekaligus mempertegas posisi yang berlawanan dengan AS.
Baca juga: Bantuan Paman Sam untuk Polri
“Seruan Sukarno mengobarkan kemarahan yang sudah bisa diduga,” tulis sejarawan Bradley Simpson dalam Economist with Guns. “Kedua lembaga di Kongres mengajukan rancangan undang-undang untuk menghentikan sepenuhnya bantuan Amerika untuk Indonesia.”
Bukan tanpa alasan Sukarno melontarkan umpatan demikian. Dalam otobiografinya, Sukarno berkeluh kesah tentang sikap AS yang membuatnya merasa terhina. Menurut Sukarno, pemerintah AS mempermainkan Indonesia lewat tawaran bantuan yang sarat kepentingan.
“Bantuan Amerika itu TIDAK gratis. Ia bukanlah satu hadiah dari seorang ayah yang kaya kepada anak yang melarat. Ini adalah satu pinjaman dan harus dibayar kembali,” kata Sukarno kepada jurnalis Amerika Cindy Adams, penyusun otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Figur Djuanda
Akan tetapi, mengapa Sukarno bisa punya nyali bersuara selantang itu? Ganis Harsono, juru bicara Departemen Luar Negeri berkisah tentang ihwal mulanya. Menurutnya ada sosok lain yang berperan dalam mengasup keberanian Sukarno agar tidak bergantung dengan bantuan asing.
Sejak akhir masa kepemimpinan Presiden John F. Kennedy, sebenarnya Sukarno sudah gamang. Surat dari Kennedy pada Oktober 1963 mengisyaratkan pemutusan bantuan Amerika apabila Sukarno bersikeras melancarkan konfrontasi “Ganyang Malaysia”. Setelah menerima pesan Kennedy, Sukarno mengumpulkan semua pembantu-pembantunya ke Istana Bogor.
Baca juga: Ketika Sukarno dan Kennedy Berdebat
Diantara mereka yang paling banyak bicara ialah Sudibyo, Ketua Front Nasional. Setelah satu persatu memberi masukan, tibalah giliran Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Menak Sunda ini dikenal sebagai intelektual bersosok lembut. Dengan suaranya yang lunak, Djuanda membuka buku catatannya. Dibaliknya lembar demi lembar, diperhatikannya angka-angka. Kemudian, tanpa hendak meninggikan suara, Djuanda menyimpulkan langkah yang mesti ditempuh.
“Kalau kita harus makan batu, ya kita makan batu. Akan tetapi saya kira tak perlu sampai begitu,” kata Djuanda ditirukan Ganis Harsono sebagaimana terkisah dalam Cakrawala Politik Era Sukarno. “Dalam hal ini kita harus sama-sama menderita dengan rakyat yang selanjutnya akan rela memikul bersama-sama pula. Bagaimanapun perjuangan kita bisa menjadi fatal bila kita berusaha mendapatkan bantuan luar negeri, tapi tidak menemukan jiwa kita sendiri.
Wejangan Djuanda tersebut disampaikan dengan penuh ketenangan tanpa emosi. Menurut Ganis, petuah dari Djuanda itulah yang menjadi tumpuan dari tindakan Sukarno untuk mempersetankan bantuan luar dengan mengatakan, “Go to hell with American aid” – persetan dengan bantuan Amerika.
Dengan latar belakang sebagai teknokrat, Djuanda menjadi penopang Sukarno menjalankan pemerintahan. Hingga akhir hayatnya, Djuanda terus mendampingi Sukarno. Dia wafat pada 7 November 1963. Tiada sosok sepadan yang mampu menyamai Djuanda dalam mengimbangi Sukarno. Ketiadaannya digantikan oleh tiga wakil perdana menteri sekaligus: Soebandrio. Johannes Leimena, dan Chairul Saleh.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar