Hartini Dihina, Sukarno Murka
Tulisan bermuatan hinaan kepada istri presiden. Dulu di tembok rumah, sekarang di laman sosial media.
Ibu Negara Iriana Joko Widodo dirundung dalam sebuah unggahan Twitter. Semua bermula dari potret kebersamaan antara Iriana dengan Ibu Negara Korea Selatan Kim Keon Hee. Momen itu terjadi di sela-sela perhelatan KTT G20 di Bali beberapa hari lalu. Namun, seorang kartunis bernama Kharisma Jati menuliskan keterangan bernada olokan terhadap Iriana.
“Bi, tolong buatkan tamu kita minum.”
“Baik, Nyonya,” tulis Kharisma pada akun Twitter-nya @KoprofilJati.
Rekaan percakapan kedua ibu negara tersebut seolah terjalin hubungan majikan dan asisten rumah tangga. Sontak saja unggahan itu memantik kontroversi. Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, putra sulung dan bungsu pasangan Joko Widodo dan Iriana, bahkan mempertanyakan apa maksud dari postingan Kharisma dalam cuitan mereka masing-masing. Meski telah melayangkan permohonan maaf, Kharisma terancam dipidana atas perbuatannya merendahkan ibu negara.
Sebagai pendamping orang nomor satu di Republik ini, istri presiden tetaplah seorang wanita, ibu, dan orang tua yang mesti dijaga perasan serta kehormatannya. Menilik ke masa lampau, penghinaan terhadap istri presiden juga pernah dialami Presiden RI pertama Sukarno. Penghinaan ini terbilang jauh lebih merendahkan karena melontarkan predikat tunasusila.
Tertohok Coretan Tembok
Ibu Hartini, istri ketiga Presiden Sukarno, dialah yang terluka hatinya atas hinaan itu. Peristiwa itu berawal ketika Sukarno kembali ke Jakarta usai menghadiri sidang kabinet di Istana Bogor pada 15 Januari 1966. Saat itu, Kelompok Aksi Mahasiswa (KAMI) gencar melakukan unjuk rasa atas situasi politik pasca-G30S dan kondisi ekonomi yang memburuk. Bung Karno mendapat kabar tak sedap, tembok rumah Hartini di paviliun Istana Bogor dicoreti kata-kata amoral. Coretan itu bertuliskan “Lonte Agung”, “Gerwani Agung”, dan sebagainya.
Laporan yang diterima Sukarno menyebutkan coretan itu dilakukan kelompok mahasiswa beratribut Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Sukarno geram bukan kepalang. Ia ingin mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas tulisan penghinaan kepada istrinya. Pada 18 Januari 1966, Bung Karno memanggil perwakilan mahasiswa ke Istana Negara.
Baca juga: Insiden Hartini di Singapura
Aktivis mahasiswa Angkatan 66 Soe Hok Gie dalam catatan hariannya mengatakan wakil-wakil mahasiswa dimaki-maki oleh Sukarno selama setengah jam. Kemarahannya sunguh-sungguh membuncah. Terlebih lagi ketika Bung Karno mencecar delegasi PMKRI.
“Mana PMKRI,” hardiknya. “Kau tahu apa yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di rumah Ibu Hartini? Kau tahu rumah Ibu Hartini dicoret-coret ‘Lonte Agung’, ‘Gerwani Agung’, dan lain-lainnya. Kau tahu apa artinya Lonte?”
Kendati emosinya meluap-luap, Sukarno memposisikan dirinya sebagai orang tua. Dia menganalogikan, Hartini sama seperti ibu para mahasiswa itu. Jadi, menghina Hartini sama halnya menghina ibu sendiri.
Baca juga: Hartini, First Lady yang Tak Diakui
“Hartini adalah istriku dan aku adalah bapakmu, jadi dia juga ibumu. Inikah yang dilakukan seorang anak terhadap ibunya,” sambung Sukarno, “Inikah yang diajarkan Yesus pada Kalian? Mana HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)? Apakah ini ajaran Nabi Muhammad?”
Rupanya, tulis Soe Hok Gie dalam catatan hariannya yang diterbitkan Catatan Seorang Demonstran, “Bung Karno marah sekali.”
Profil Hartini sendiri seperti ditulis sejarawan Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol di Kamp Plantungan, adalah selir dari adik Pakubuwono X dari Surakarta. Dia dikenal sebagai wanita sangat cantik meskipun sudah mempunyai lima anak. Pertemuannya pertama kali dengan Sukarno pada 1952 di Salatiga dalam suatu acara resmi, telah memikat hati Sukarno.
Baca juga: Hartini dan Jenderal Anti Poligami
Menurut Amurwani, Hartini dijuluki “Gerwani Agung” karena kedekatannya dengan para pemimpin Gerwani. Tetapi, pernyatan itu dibantah oleh Hartini sendiri. Dalam bantahannya, Hartini mengatakan, ia tak pernah menjadi anggota Gerwani. Bagi Hartini, Gerwani adalah tamunya yang harus dilayani sebaik mungkin ketika datang bertamu ke rumahnya di Bogor. Sementara itu, organisasi wanita lainnya tidak pernah datang mengunjunginya. Beberapa organisasi wanita yang menentang Gerwani menyatakan Hartini sebenarnya adalah orang Gerwani yang sengaja diumpankan kepada Sukarno demi kepentingan politik Gerwani.
Pelakunya Bukan Mahasiswa?
Lim Bian Khoen atau yang lebih dikenal dengan nama Sofjan Wanandi adalah ketua PMKRI yang berhadapan dengan Bung Karno di Istana Negara. Ia masih ingat ada sepuluh orang pimpinan mahasiswa yang diterima oleh Bung Karno saat itu. Mereka adalah: Cosmas Batubara, Zamroni, David Napitupulu, Aberson, Djoni Sunarja, Tommy Wangke, Firdaus Wajdi, Abdul Gafur, Suwarto (Ketua Dewan Mahasiswa UI) dan Sofjan Wanandi.
Dalam biografi Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden yang disusun Robert Adhi Ksp, Bung Karno disebutkan menghampiri setiap delegasi mahasiswa. Ia bertanya kepada nama yang hadir satu persatu. Tiba giliran Sofjan, dialog terjadi.
Baca juga: Serba-serbi Demonstrasi 1966
“Kau siapa,” tanya Bung Karno.
“Lim Bian Khoen dari PMKRI,” jawabnya.
“Oh, mahasiswa Katolik,” ujar Bung Karno dengan berang. ”Saya mendapat (bintang) kehormatan dari Bapa Paus, tapi kalian mengecam istri saya Gerwani. Itu kalian.”
Sofjan buka suara terkait kecurigaan Sukarno terhadap PMKRI. Dia menampik kalau anggota PMKRI yang melakukan pencoretan di rumah Hartini. Menurutnya anggota PMKRI memiliki disiplin tinggi sehingga tak mungkin melakukan aksi corat-coret. Tapi, Bung Karno masih terus melampiaskan amarahnya. Beberapa hari kemudian, KAMI membentuk tim khusus bersama Kodim dan Kepolisian Bogor untuk penyelidikan.
Hasil penyelidikan itu sebagaimana diberitakan Kompas, 27 Januari 1966, menyebut PMKRI tak terbukti melakukan pencoretan kata-kata kotor pada rumah Ibu Hartini. Polres dan Kodim Bogor menahan seorang berinisial LMF, pedagang yang tak diketahui berasal dari ormas mana. LMF disebutkan mencoba masuk dengan paksa gerbang Istana Bogor pada aksi demo mahasiswa KAMI. Pengurus Pusat PMKRI dalam suratnya kepada presiden meminta orang itu dihukum karena sudah menyebabkan perpecahan dan ketegangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar