Hartini dan Jenderal Anti Poligami
Gegara menikah lagi, Sukarno harus berkonflik dengan A.H. Nasution.
KETIKA Jenderal TNI AH Nasution menghadiri Halal Bihalal di Istana Negara, Presiden Sukarno melontarkan tanya dalam bahasa Belanda. “Zeg Nas, wanner komt je bij mij lunchen?” Pertanyaan ini jelas bikin Nasution –saat itu menjabat Menteri Pertahanan Keamanan– bingung kasih jawaban. Dalam bahasa Indonesia ajakan itu berarti, “Hei Nas, kapan kau datang makan siang dengan aku?” Makan siang di kediaman Sukarno berarti Nasution diundang datang ke Istana Bogor di mana Hartini hadir.
“Suatu kejutan baru,” kata Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama. Nasution memang bersedia ke Bogor dan duduk semeja makan bersama Sukarno dan Hartini. Akan tetapi, dia tak menjamin kehadiran istrinya, Johana Sunarti.
Undangan kepada Nasution terjadi setelah Letjen TNI Ahmad Yani menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Tak lama setelah dilantik menggantikan Nasution, Yani bersama sejumlah asistennya berikut istri masing-masing berkunjung ke Istana Bogor. Di sana, para pucuk pimpinan TNI AD makan bersama Presiden Sukarno didampingi istrinya, Hartini.
Baca juga: Hartini dijadikan perantara politik untuk mendekati Sukarno
Menurut Nasution, tindakan Yani merupakan perubahan 180 derajat. Sikap Nasution bertalian dengan keberadaan Hartini. Sedari lama, Nasution dan istrinya tak pernah mau datang ke Istana Bogor apabila ada Hartini disana. Mereka anti terhadap yang namanya istri kedua.
“Istri saya baru bertemu dengan ‘istri kedua’ itu di masa saya sudah pensiun, dan selanjutnya adalah hubungan baik, karena tiada lagi masalah,” kata Nasution.
Anti Istri Kedua
Sejak menjabat KSAD, Nasution telah menanamkan prinsip puritan dalam kehidupan rumah tangga tentara. Pada 1952, Nasution menerbitkan keputusan bahwa seorang pejabat militer tak diperkenakan mengambil istri kedua tanpa izin komandan atasan. Kepada perwira yang memiliki soal demikian maka pilihannya hanya dua: melepas istri kedua dan menerima kenaikan pangkat atau silakan minta berhenti.
Ketentuan beristri satu beririsan dengan aspirasi gerakan wanita saat itu. Nasution menyatakan istri tambahan bukan hak melainkan keperluan darurat dengan alasan tertentu. Itupun harus dengan permufakatan dari imam tentara. Kebijakan ini turut menjadi pedoman organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit) yang secara resmi hanya mengenal istri pertama presiden sebagai Ibu Negara.
Baca juga: Menggantikan Fatmawati tak serta merta menjadikan Hartini sebagai Ibu Negara
Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965 mencatat keluhan Sukarno terhadap Persit yang turut campur dalam biduk kehidupan rumah tangganya. Pernah Sukarno mendengar selintingan Persit yang akan berkongres telah meminta untuk sowan ke Istana Bogor.
“Akan tetapi di sana nanti para istri tentara itu akan lalu lewat saja seolah-olah Nyonya Hartini tidak ada,” kata Rosihan. Betapapun jengkelnya, Sukarno tak dapat berbuat apa-apa.
Solidaritas ibu-ibu Persit untuk mengasingkan Hartini diakui Karlina Umar Wirahadikusumah, istri Panglima Kodam Jaya, Umar Wirahadikumah. Mereka merasa kurang sreg dan tak cocok dengan Hartini. Kendati tak sampai memusuhi, para ibu Persit tadi selalu berusaha menjauh dari istri baru Bung Karno itu.
“Bahkan meski ada undangan khusus dari Bung Karno sekalipun, mereka tetap enggan hadir bila disitu ada kemungkinan bertemu Hartini,” tulis Harry Gendut Janarto dalam biografi Karlina Umar Wirahadikusumah: Bukan Sekadar Istri Prajurit. “Aksi boikot ini hanya dilakukan oleh para istri perwira tinggi TNI-AD yang tergabung dalam organisasi Persit.”
Konflik Usai
Sewaktu Sukarno sudah berhenti dari jabatan presiden dan diperiksa oleh Kopkamtib, Nasution menguak fakta lain. Seorang perwira Corps Polisi Militer yang memeriksa Sukarno memberitahu Nasution bahwa telah ada perceraian dengan Fatmawati tahun 1958 tapi tak diumumkan. Namun Nasution tidak dalam posisi untuk mengecek atau mempersoalkannya lagi.
“Jika ini benar, maka Bu Hartini semestinya sudah jadi ‘istri pertama’, first lady juga,” ujar Nasution. Belakangan sikap antipati Nasution dan istrinya terhadap Hartini berubah menjadi lebih bersahabat.
Selama pemeriksaan dan pengisolasian Sukarno di Wisma Yaso, Hartini hampir setiap hari membesuk dengan membawa makanan kesukaan. Meskipun perawatnya ada empat orang, namun Sukarno hanya mau ditunggui oleh Hartini.
“Pada hari-hari yang amat kelabu itu, Hartini terus menerus berusaha menyempatkan diri berada di samping Sukarno,” tulis Arifin Surya Nugraha dalam “Hartini: Mahkota di Istana Bogor” termuat di kumpulan tulisan Istri-Istri Sukarno suntingan Reni Nuryanti dkk.
Baca juga: Akhir Sukarno menyedihkan, setelah meninggal tak dimakamkan sesuai wasiatnya
Sepeninggal Sukarno, Hartini hidup bersama kedua putranya yang beranjak dewasa. Untuk menafkahi Taufan dan Bayu, Hartini banting tulang mulai dari membuka warung sampai jual-beli tanah. Usahanya tak berjalan mulus. Hartini terpaksa menjual barang-barang peninggalan Sukarno seperti lukisan, guci, dan barang antik lainnya.
Negara kemudian memberikan perhatian lewat santunan berupa dana pensiun kepada Hartini sebagai janda presiden pada 1980. Pukulan terberat dialami Hartini ketika Taufan –putra sulungnya dengan Sukarno– meninggal saat menuntut ilmu di Amerika pada 1986. Hartini terus hidup menjanda hingga meninggal pada 12 Maret 2002.
Baca juga: Enam pernikahan Sukarno berakhir dengan perceraian
Tambahkan komentar
Belum ada komentar