Insiden Hartini di Singapura
Sambutan yang kurang menyenangkan terhadap istrinya membuat Presiden Sukarno murka. Konsul jenderal RI di Singapura habis kena omelan.
Sekitar bulan September tahun 1961. Suatu hari Konsulat RI di Singapura tiba-tiba menerima pesan kawat dari Jakarta. Bukan sembarang pesan, pengirimnya Istana kepresidenan. Dikabarkan bahwa Hartini, istri Presiden Sukarno, akan berkunjung ke Singapura secara incognito. Namun, kedatangan Hartini tanpa disertai Bung Karno yang harus menghadiri Konferensi Non Blok di Belgrade, Yugoslavia.
“Untuk Ibu Hartini telah saya sewakan mobil yang bagus dan modern, lebih bagus dari mobil kepala perwakilan, hanya memang tanpa bendera merah putih,” kata Kolonel Soegih Arto, konsul jenderal RI untuk Singapura –setara duta besar– dalam otobiografi Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto. Menurut Soegih Arto, penggunaan bendera Merah Putih tidak diperlukan karena kunjungan Hartini bersifat incognito.
Setelah penyambutan resmi oleh konsulat, Hartini dan rombongan langsung menuju Hotel Goodwood Park. Pada malamnya diadakan gala dinner di kediaman kepala perwakilan. Semua pejabat konsulat serta tokoh masyarakat Indonesia di Singapura hadir bersama istri masing-masing. Namun, suasana malam itu terasa “dingin” untuk seorang istri presiden.
Baca juga: Hartini, First Lady yang Tak Diakui
Hartini adalah ibu negara tidak resmi. Pernikahannya dengan Sukarno pada dekade 1950-an menuai kecaman dari berbagai organasasi perempuan. Kehadiran Hartini sekaligus penyebab Fatmawati meninggalkan Istana. Fatmawati, istri Sukarno yang menjadi Ibu Negara, tidak sudi dimadu. Dalam pemberitaannya, beberapa suratkabar ibu kota seperti harian Indonesia Raja pimpinan Mochtar Lubis dan Pedoman pimpinan Rosihan Anwar turut melancarkan kampanye anti-pernikahan Sukarno-Hartini.
“Tokoh-tokoh wanita dari Kongres Wanita (Kowani) menentang Bung Karno melakukan poligami. Heboh timbul dalam pers,” kenang Rosihan Anwar dalam Petite Histoire 5: Sang Pelopor.
Rupanya, kontroversi soal Hartini itu, menurut Soegih Arto, masih membenak bagi kebanyakan ibu-ibu staf konsulat. Petaka datang dari salah satu istri pejabat konsulat yang akrab dengan Hartini. Ia menceritakan pada Hartini jamuan makan malam yang meriah untuk menghormati Ibu Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Mendengar itu, Hartini marah sekali. Keesokan harinya, Hartini berangkat pulang ke Indonesia. Soegih Arto berupaya mengantar istri kepala negara ke bandara Changi. Tapi, Hartini menolak.
Baca juga: Ketika Srihani Jadi Ibu Negara
Sepulangnya Bung Karno dari Yugoslavia, Hartini mengadukan kejadian yang dialaminya di Singapura. Seperti sudah diduga, Soegih Arto dipanggil menghadap ke Jakarta. Sebelum menghadap presiden, Soegih Harto melapor kepada Menteri Luar Negeri Soebandrio. Saran dari Soebandrio: datang saja, dengarkan, dan jangan bantah apa-apa. Bandrio, sapaan akrab Soebandrio, sendiri sudah kena damprat Bung Karno sehubungan dengan Soegih Arto yang notabene bawahan menteri luar negeri.
Soegih Arto berangkat ke Istana dengan langkah berat. Setiba di emper Istana, Bung Karno terlihat berbincang dengan beberapa menteri. Saat bersua, Soegih Arto disambut dengan ramah. Hatinya yang tadinya keder beringsut gembira. Begitu pukul 09.00 tiba, Bung Karno pamit dari para tetamu tetapi Soegih Arto diajak masuk ke kamar. Pada saat itulah Bung Karno meledak, berang tanpa dikekang.
“Saya sudah gemetar ketakutan, kalau diperbolehkan barangkali langsung kencing di situ,” kenang Soegih Arto.
Baca juga: Kemarahan Istri-istri Bung Karno
Bung Karno menghardik Soegih Arto dengan luapan penuh emosi. Katanya, Soegih Arto itu kurang ajar, tidak tahu sopan santun, memperlakukan istri presiden dengan tidak semestinya. Sebagaimana arahan Soebandrio, Soegih Arto hanya diam seribu bahasa sambil memasang muka paling menyedihkan. Nelangsa betul kolonel ini yang tertunduk lesu di sudut tiang ranjang tidur Bung Karno.
“Kalau ada sutradara yang melihat saya pada waktu itu, saya pasti langsung masuk nominasi Citra untuk film drama,” Soegih Arto bergurau miris.
Soegih Arto dicecar sejumlah pertanyaan. Soal mobil yang tidak pakai bendera, soal makan malam yang kaku, dan sebagainya. Meskipun dimarahi habis-habisan, Soegih Arto tetap merasa dihargai karena tidak dipermalukan di hadapan khalayak. “Saya tidak dimarahi di depan umum, tetapi dimarahi di kamar tanpa disaksikan orang lain,” katanya.
Baca juga: Sukarno Marah Ajudan Salah Cerita Sejarah
Setelah peristiwa itu, Soegih Arto harus menanggung akibatnya. Selama setahun, ia tidak diterima masuk Istana. “Embargo” itu baru berakhir ketika Bung Karno perlu kemeja. Bung Karno biasanya pesan kemeja langsung dari Singapura. Begitu juga dengan bahan kopiahnya yang dibeli di kawasan pertokoan Arab Street. Kepada Soegih Arto, Sukarno memesankan enam lusin kemeja dan bahan untuk kopiah. Namun, Soegih Arto membelikan tujuh lusin kemeja, enam buat Bung Karno dan selusin untuk dirinya. Soegih Arto ajimumpung lantaran ukuran badannya dengan Bung Karno sama. Semua pesanan itu dibayar entah oleh siapa.
“Selesailah perang dan damai telah kembali ke bumi,” ujar Soegih Arto semringah.
Soegih Arto juga membantu menyuplai perlengkapan Istana. Waktu itu, keadaan Istana Negara cukup menyedihkan. Serbet makan kurang dan jelek, taplak meja hampir tidak ada, minuman enak sulit diperoleh. Semuanya didatangkan dari Singapura melalui konsulat RI. Sekira 75 persen sampai ke Istana dan dipergunakan, sedangkan 25 persen lagi menguap tanpa jejak, termasuk sampanye.
Baca juga: Kisah Tentara Jadi Diplomat
Tambahkan komentar
Belum ada komentar