Haji Salahuddin bin Talabuddin Melawan Belanda
Haji Salahuddin mengeluarkan fatwa wajib bagi orang Islam mendukung negara Republik Indonesia. Ia dieksekusi mati oleh Belanda.
Pahlawan Nasional asal Maluku Utara bertambah. Semula ada Sultan Nuku (1738–1807) dari Tidore yang melawan VOC dan Sultan Babullah (1528–1583) dari Ternate yang melawan Portugis. Kini bertambah lagi dengan diangkatnya Haji Salahuddin bin Talabuddin (1874–1948) asal Halmahera sebagai Pahlawan Nasional tahun 2022.
Haji Salahuddin bin Talabuddin lahir di desa Gemia, Patani pada 1874. Pada 1928, ia masuk Sarekat Islam Merah, tetapi lolos dari penangkapan pemerintah kolonial Belanda ketika terjadi pemberontakan PKI.
Pada 1938, Haji Salahuddin bergabung dengan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dan duduk dalam kepengurusan Gabungan Politik Indonesia (Gapi) bersama M. Arsyad Hanafi, M.S. Djahir, dan A.S. Bachmid.
Sejarawan M. Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah mencatat, karena kegiatan politiknya, Haji Salahuddin dipenjara di Nusakambangan kemudian dipindahkan ke Boven Digul. Pada 1942, ia dibebaskan oleh Jepang dan memilih menetap di Sorong.
Setelah Indonesia merdeka, Haji Salahuddin mendukung Republik Indonesia meski jauh dari Jawa. Daerah Indonesia Timur kala itu termasuk wilayah pendudukan Belanda. Pada 1946, ia mendirikan organisasi keagamaan Islam bernama Sarikat Jamiatul Iman wal Islam di pulau Gebe, Halmahera Timur. Para pengikutnya menyebut organisasi ini dengan nama Sarikat Islam (SI).
“Tujuannya mempertahankan agama Islam dan negara Republik Indonesia di bawah Bung Karno dan Bung Hatta yang baru saja diproklamasikan,” tulis Adnan Amal.
Pada akhir Desember 1946, Haji Salahuddin pindah ke Patani, masih di Halmahera. Pengaruhnya semakin kuat. Jumlah anggota SI pun semakin banyak, hingga akhir Januari 1947 mencapai lebih dari 3000 orang.
Adnan Amal mencatat, tiap hari berdatangan utusan dari desa-desa yang melakukan baiat dan menyatakan siap mati untuk Islam dan Republik Indonesia. Bahkan, desa Siden Popo, yang seluruh penduduknya beragama Kristen, diwakili dua kepala keluarga dalam SI. Mereka juga menyatakan siap mati untuk Republik Indonesia.
Koran Algemeen Indisch, 21 Februari 1947, menyebut Haji Salahuddin sebagai pemimpin umat yang fanatik yang telah melakukan propaganda perlawanan. Para pengikutnya telah diberi semacam jimat kebal antipeluru dan dipropagandakan pula jika pengikutnya mati maka dijamin masuk surga.
Menurut Adnan Amal, gerakan Haji Salahuddin dapat diidentifikasikan sebagai gerakan menentang Belanda yang diberi baju Islam. Seluruh gerakannya dipusatkan di masjid. Usai salat lima waktu, ia menyampaikan dakwah dengan porsi politik yang terkadang menyita sebagian besar waktu.
Haji Salahuddin juga mengajarkan berbagai ritual keagamaan seperti zikir dan doa yang dibaca secara bersama-sama. Lirik zikir itu, dalam bahasa Indonesia, berbunyi: “Amankan Islam, amankan syariat Islam, amankan Republik Indonesia! Jangan takut mati dan luka, pintu surga sudah terbuka!”
Baca juga: Dukungan Paku Alam VIII pada Republik Indonesia
Di samping dakwah Islam, Haji Salahuddin juga selalu menjelaskan mengapa SI mendukung negara Republik Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno dan Bung Hatta. Ia mengeluarkan fatwa wajib bagi orang Islam mendukung negara Republik Indonesia dan haram bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda.
“Hal yang patut dicatat adalah pernyataan Haji Salahuddin kepada pengikutnya bahwa Halmahera Timur (pulau Gebe dan Patani) adalah wilayah kekuasan Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta,” tulis Adnan Amal.
Oleh karena itu, Adnan Amal menambahkan, sejak tiba di pulau Gebe, Haji Salahuddin telah menyatakan bahwa rakyat Halmahera Timur adalah warga negara Republik Indonesia, dan setiap perlawanan terhadap Republik Indonesia harus dilawan. Haji Salahuddin juga mengidentikkan perlawanan terhadap dirinya atau gerakan SI sebagai perlawanan menentang pemerintah Republik Indonesia.
Untuk menghadapi serangan pemerintah kolonial Belanda, Haji Salahuddin memerintahkan pengikutnya mempersenjatai diri dan membentuk sayap militer yang dipimpin oleh Wakil Ketua SI, Kadhi Abdul Hadi. Anggotanya terdiri dari laki-laki dan perempuan yang dipersenjatai. Abdul Hadi merekrut para pandai besi untuk membuat 600 senjata mulai dari pedang, parang, badik, tombak, hingga panah.
Kepala Distrik Gebe Muhammad Yasin kemudian melaporkan gerakan Haji Salahuddin dan SI kepada HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur atau Kepala Pemerintah Setempat) di Weda yang dijabat seorang Belanda. HPB mengutus Haji Gani ke Patani untuk mematai-matai kegiatan Haji Salahuddin dan SI. Namun, Haji Gani ketahuan dan dieksekusi. Muhammad Yasin, seorang guru, dan beberapa orang lainnya, juga dieksekusi.
Baca juga: KH Ahmad Sanusi, Ajengan dalam Arus Kemerdekaan
Pada 14 Februari 1947, polisi Belanda yang terdiri dari 15 orang di bawah pimpinan Ajun Inspektur Paparang bergerak ke Patani untuk menangkap Haji Salahuddin. Menurut Adnan Amal, 600 perempuan bersenjata, salah satunya Hajah Aisah, ibu dari Menteri Pemuda dan Olahraga era Orde Baru Abdul Gofur, memukul mundur polisi Belanda itu. Pertempuran mengakibatkan sebelas orang tewas dan delapan luka berat.
“Berdasar laporan kami tentang gangguan di Halmahera, kami mengetahui bahwa konsentrasi sekitar 1000 kwaadwilligen (orang jahat),” tulis koran Nieuwe Courant, 22 Februari 1947 dan Het Dagblad, 21 Februari 1947. Kedua koran menyebut massa rakyat berkekuatan 700 senjata berupa pistol dan senjata tajam.
Setelah polisi Belanda itu mundur, Haji Salahuddin memerintahkan para pengikutnya tetap siaga untuk mengantisipasi serangan berikutnya yang lebih besar.
Kapal motor HrMs Tidore merapat di Patani pada pukul 4.00 sore tanggal 17 Februari 1947. Dua orang berpakaian adat turun dari kapal kemudian menemui Haji Salahuddin di masjid. Mereka menyampaikan pesan bahwa Sultan Ternate M. Jabir Syah ingin bertemu.
Setengah jam kemudian, Sultan Jabir Syah dengan pengawalan Hulptroepen (pembantu tentara) dalam jumlah besar, mendatangi Haji Salahuddin di masjid. Sultan berjalan aman karena pengikut Haji Salahuddin sudah diperintahkan untuk tidak membuat keributan.
“Apa maksud kedatangan Yang Mulia,” tanya Haji Salahuddin.
“Saya datang untuk menjemput dan membawa Anda ke Ternate. Kita berangkat sekarang juga karena Sultan Tidore menunggu Anda di Ternate,” kata Sultan Jabir Syah.
Baca juga: Akhirnya Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
Haji Salahuddin pun ikut dengan Sultan Jabir Syah. Ia sempat memberi pesan kepada pengikutnya agar tetap tenang dan menjaga keamanan sembari meneriakkan “Hidup Islam, Hidup SI, hidup Republik Indonesia!”
Sultan Jabir Syah meminta pengikut Haji Salahuddin untuk menyerahkan senjatanya. Sebanyak 2000 senjata disita dan dibawa ke kapal. Haji Salahuddin bersama 200 pengikutnya terutama para pemimpin dan anggota sayap militer dinaikkan ke kapal. Sesampainya di Ternate pada 19 Februari 1947, para tahanan dijebloskan ke penjara.
Pada Juli 1947, Haji Salahuddin dan enam pemimpin sayap militer diadili di Pengadilan Negeri Ternate. Haji Salahuddin mengaku telah mengeksekusi delapan orang (Haji Gani, Muhammad Yasin, dan lain-lain) karena mereka telah berkhianat dan bekerja untuk musuh Republik Indonesia. Menurut Haji Salahuddin menyelamatkan Republik Indonesia berarti menyelamatkan Islam. Mengkhianati Republik Indonesia berarti mengkhianati Islam.
Pada 13 September 1947, pengadilan memutuskan Haji Salahuddin dan enam pemimpin sayap militer bersalah. Haji Salahuddin divonis mati, Khadi Abdul Hadi dihukum 12 tahun penjara di Nusakambangan, sementara kelima pemimpin lainnya masing-masing dihukum 6 hingga 9 tahun penjara di Manado dan Ambon. Haji Salahuddin sendiri dieksekusi mati pada 6 Juni 1948.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar