Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian I)
Kunjungan Sri Paus Yohanes Paulus II pada 1989 meliputi Yogyakarta hingga Dili. Dikawal para perwira Kopassus dengan standar pengawalan internasional.
SETIBANYA di Jakarta kemarin, Sri Paus Fransiskus hari ini, Rabu (4/9/2024), bersua Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta. Dalam pernyataannya, Bapa Suci umat Katolik sedunia itu mengaku terkesan dengan falsafah dan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dan turut mengutip kata-kata pendahulunya, Sri Paus Yohanes Paulus II, ketika juga bertandang ke Jakarta 35 tahun lewat.
“Saya ingin menjadikan kata-kata dari Santo Yohanes Paulus II dalam kunjungannya tahun 1989 di Istana ini sebagai perkataan saya. Beliau berkata dengan mengakui keanekaragaman yang sah dengan menghargai hak-hak manusia dan politik dari semua warga dan dengan mendorong persatuan nasional yang berlandaskan toleransi dan sikap saling menghargai, Anda, orang Indonesia, meletakkan fondasi bagi masyarakat yang adil dan damai untuk terus diwariskan kepada anak-cucu,” ujar Paus Fransiskus dalam bahasa Spanyol, di Istana Negara Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Setelah 35 tahun, Indonesia kembali kedatangan pemimpin tertinggi umat Katolik dunia. Paus Fransiskus bertamu sedari 3-6 September 2024. Sebelum itu, mendiang Paus Yohanes Paulus II melawat ke Indonesia pada 9-14 Oktober 1989. Itu jadi kali kedua Indonesia kedatangan Sri Paus setelah sebelumnya Paus Paulus VI menjadi pelopor yang bertandang ke Indonesia, yakni 3-4 Desember 1970.
Baca juga: Secuplik Jejak Paus Paulus VI di Jakarta
Kunjungan Paus Yohanes Paulus II atas undangan pemerintah dan Konferensi Waligereja Indonesia ketika itu terjadi saat isu kekerasan dan pelanggaran HAM di Timor Timur (kini Timor Leste) sebagai buntut integrasi sedang hangat-hangatnya. Oleh karenanya, ketika akhirnya berkenan datang ke Indonesia, Paus Yohanes Paulus II tak hanya mengagendakan lawatan keagamaan di Jakarta tapi juga ke kota-kota lain, termasuk Dili, ibukota Provinsi Timor Timur.
Itupun setelah terjadi lobi-lobi politik Menhankam Jenderal L. B. “Benny” Moerdani kepada perwakilan Takhta Suci Vatikan. Salah satu hasil lobinya adalah diturutinya permintaan Vatikan agar Keuskupan Timor Timur ditunjuk oleh Vatikan dan langsung berada di bawah Vatikan.
“Tur (lawatan) Sri Paus dilakukan dalam rangka kunjungan kenegaraan dengan dijamu Presiden Suharto. Pemerintah (Indonesia) mempersilakan Sri Paus mengagendakan kunjungan ke Timor Timur, sebuah wilayah yang masih jadi sengketa, di mana populasi 600 ribu umat Katoliknya tinggal,” tulis Michael R. J. Vatikiotis dalam Indonesian Politics Under Suharto: The Rise and Fall of the New Order.
Oleh karena Paus Yohanes Paulus II juga menyelipkan agenda kunjungan ke Yogyakarta, Maumere, Dili, dan Medan, maka pemerintah Indonesia turut menyediakan akomodasi keamanannya. Mayjen (Purn.) Suhartono Suratman dalam bukunya Santo Yohanes Paulus II: Mencium Bumi Indonesia mengungkapkan, dirinya yang masih berkarier sebagai perwira di Detasemen Khusus 81 Penanggulangan Teror (Den-81 Gultor) Kopassus TNI AD, terpilih jadi penanggungjawab lapangan “Tim Lima” yang mengawal Sri Paus dengan menyesuaikan standar pengamanan internasional.
“Markas Besar TNI menetapkan lima perwira (Tim Lima) untuk mengawal Sri Paus. Antara lain Tono Suratman (saya), Joko Mulyadi, dan Suyanto. Saya ditunjuk sebagai komandan Tim Lima. Konon yang mengangkat saya adalah Jenderal Benny Moerdani. Tetapi saya pribadi diberi tahu ikhwal penugasan itu oleh komandan saya di Den 81 Kopassus saat itu, Luhut Panjaitan dan wakilnya Prabowo Subianto,” kenang Tono.
Sementara, eks-Menteri Keuangan Frans Seda yang pernah mendampingi kunjungan Paus Paulus VI pada 1970, dipercaya jadi ketua panitia penyambutan kedatangan Sri Paus Yohanes Paulus II. Ia juga yang mengatur agenda tiga kali pertemuan Sri Paus dengan Presiden Soeharto untuk membicarakan aneka isu dalam kerangka Sri Paus sebagai kepala negara Takhta Suci Vatikan dan sebagai pemimpin umat Katolik dunia.
“Tidak pernah Paus bertemu dengan kepala negara yang dikunjungi sampai tiga kali,” kenang Frans Seda yang dikutip buku Kisah Kedatangan Sri Paus ke Indonesia.
Dari Jakarta Mampir ke Yogyakarta
Di antara sejumlah Sri Paus, Santo Yohanes Paulus II terbilang paling sering melakukan perjalanan keagamaan dan kenegaraan. Sejak dinobatkan sebagai Sri Paus ke-264 pada 1978 hingga wafatnya pada 2005, Santo Yohanes Paulus II tercatat 104 kali melakukan kunjungan mancanegara.
Lawatan ke Indonesia pada 1989 merupakan turnya yang ke-44 ke tiga negara sekaligus (7-16 Oktober). Sebelum bertandang ke lima kota di Indonesia (Jakarta, Yogyakarta, Maumere, Dili, Medan), Paus Yohanes Paulus II lebih dulu mampir ke Seoul pada 7-9 Oktober. Selepas dari Indonesia (9-14 Oktober), Sri Paus melanjutkan agendanya menuju empat kota di Mauritius (14-16 Oktober).
“Paus Yohanes Paulus II tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, pada 9 Oktober pukul 10.00 WIB dengan pesawat (komersil) Swiss Air. Begitu VVIP (Sri Paus) turun dari tangga pesawat, saya langsung merapat dan berdiri sekitar 3 meter dari beliau. Begitu menginjak tanah, Sri Paus langsung membungkuk dan kemudian mencium tanah di bawahnya, tanah Indonesia. Ritual seperti ini memang ritual rutin tetapi bagi saya pribadi kesannya tetap heroik dan mengagumkan. Tokoh yang begitu menghormati negeri lawatannya. Setelah berdiri, Sri Paus langsung disambut Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas,” sambung Tono.
Selain Menlu Ali Alatas, tambah Tono, hadir pula Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno, ketua penyambutan Frans Seda, Menhankam Jenderal Benny Moerdani, Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara, serta sejumlah tokoh KWI dan Dewan Gereja. Adapun Presiden Soeharto menunggu di Istana Negara.
Baca juga: Bung Karno dan Takhta Suci Vatikan
Dalam sambutannya di depan Presiden Soeharto di Istana Negara, Paus Yohanes Paulus II memang tidak secara gamblang bicara soal isu Timor Timur. Saat pidato kedatangannya, Sri Paus justru lebih mengedepankan falsafah Pancasila sebagai landasan inspiratif dalam menghadapi tantangan yang makin beragam dan sulit bagi sebuah negeri dengan aneka ragam manusianya.
“Pembentukan sebagai masyarakat yang bersatu dan saling bergantung satu sama lain merupakan sebuah upaya raksasa yang dicapai bangsa Indonesia dalam 44 tahun sejarahnya sebagai bangsa. Filsafat Pancasila menginspirasikan dan menuntun perkembangan bangsa Anda yang sangat menyadari bahwa basis kokoh kesatuan nasional adalah penghargaan akan semua: penghargaan akan pandangan, tradisi, dan nilai-nilai yang berbeda yang menjadi penanda masyarakat Indonesia,” kata Paus Yohanes Paulus II dalam potongan sambutannya, dikutip Krispurwana Cahyadi dalam Yohanes Paulus II: Gereja Berdialog.
Dari Istana Negara, petang itu juga Sri Paus langsung bertolak ke Stadion Utama Senayan (kini Stadion Gelora Bung Karno). Ia sudah ditunggu nyaris 200 ribu hadirin di sana untuk misa agung atau perayaan Ekaristi. Diantar mobil komando beratap terbuka, ia berkeliling stadion untuk menyambut para jemaatnya.
“Kalian terlibat dalam untuk mengupayakan kesejahteraan negara kalian berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Pada saat yang bersamaan, semuanya didorong pula untuk memberikan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada-Nya, mengakui bahwa hak untuk menjalankan agamanya berdasar langsung pada martabat terdalam pribadi manusia sebagai ciptaan Allah. Pemahaman seperti ini mendorong kedamaian dan menjadikan semuanya dapat ikut ambil bagian secara aktif dalam melayani kepentingan umum. Maka saya menyerukan kepada seluruh umat Katolik Indonesia: Jadilah putra bangsa dan warga negara yang baik,” tandas Sri Paus dalam menutup khutbah Ekaristinya.
Selepas itu, Sri Paus beristirahat dan menginap dengan akomodasi sederhana di Kedutaan Vatikan untuk RI. Keesokannya, 10 Oktober, Paus Yohanes Paulus II menemui kembali Presiden Soeharto dan para tokoh lintas agama di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Paus Yohanes Paulus II lantas bertolak ke Yogyakarta di hari yang sama untuk kembali memimpin misa kudus di Lapangan Dirgantara, Akademi Angkatan Udara, Pangkalan Udara Adi Sucipto. Selama di Yogyakarta, Sri Paus juga menerima sebuah brosur atau surat terbuka bersampul kuning dan berbahasa Jawa dari Ketua Umum PP Muhammadiyah, KH. Abdur Rozaq Fachruddin, mengenai Islam di Indonesia.
“Dalam lawatan Paus Yohanes Paulus II di Yogyakarta, Ketua PP Muhammadiyah A.R. Fachruddin membuat sebuah brosur setebal 12 halaman dalam bahasa Jawa halus (inggil), Mengayubagia Sugeng Rawuh Lan Sugeng Kundur (Selamat Datang dan Selamat Kembali) yang berisi kritik terkait umat muslim dan umat Katolik. Kritik tersebut dapat diterima dengan lapang dada karena disampaikan dengan cara yang baik dan dengan semangat toleransi tinggi sehingga tidak menimbulkan ketersinggungan yang dapat menyebabkan gesekan antarumat beragama,” ungkap tim penulis Majelis Diklitbang dan LPI Muhammadiyah dalam buku 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar