Bung Karno dan Takhta Suci Vatikan
Vatikan sudah mengirim delegasinya ke Indonesia saat revolusi kemerdekaan. Bung Karno tiga kali disematkan medali kehormatan oleh Bapa Suci umat Katolik.
PAUS Fransiskus tiba hari ini, Selasa (3/9/2024), dalam rangka lawatan apostoliknya di Indonesia yang berlangsung hingga Jumat (6/9/2024) mendatang. Salah satu agendanya adalah pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membicarakan perdamaian dunia.
“Saya kira itu yang sangat penting yang akan kita bicarakan dengan beliau agar perdamaian di seluruh konflik perang, baik yang ada di Gaza (Palestina), Ukraina, dan konflik-konflik lainnya juga bisa kita selesaikan,” ujar Jokowi, dilansir laman resmi kepresidenan pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Paus Fransiskus selaku pemimpin tertinggi Katolik dunia cum Takhta Suci Vatikan memilih Indonesia sebagai salah satu kunjungan apostolik dan kunjungan kenegaraannya ke kawasan Asia Pasifik. Selain Indonesia, Paus Fransiskus diagendakan juga bertamu ke Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura.
Dalam agenda kunjungannya di Indonesia, Paus Fransiskus juga direncanakan tetap didampingi Presiden Jokowi saat melawat ke Masjid Istiqlal dan misa akbar terbuka di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (5/9/2024) mendatang. Kunjungan ini diharapkan kian mempererat hubungan antara Indonesia dan Takhta Suci Vatikan yang sudah terjalin sejak era revolusi kemerdekaan Indonesia.
Jauh sebelum lawatan Paus Fransiskus ini ataupun kunjungan Paus Paulus VI –atas undangan Presiden Soeharto– pada medio 1970 dan kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989, sebuah delegasi Vatikan sudah menginjakkan kaki di tanah air pada 1947 sekaligus jadi penanda pengakuan kemerdekaan Indonesia. Mereka diterima Presiden Sukarno. Tiga tahun berselang, hubungan diplomatik pun terjalin secara resmi antara Indonesia dan Takhta Suci Vatikan.
Baca juga: Ketika Rahib Katolik Bertamu ke Majapahit
Pengakuan hingga Medali Vatikan untuk Bung Karno
Pengakuan Takhta Suci Vatikan terhadap kemerdekaan Indonesia pada 1947 tak lepas dari peran Uskup Albertus Soegijapranata. Seiring Presiden Sukarno “hijrah” dari Jakarta ke Yogyakarta medio 1946, Soegija turut memindahkan keuskupannya di Semarang ke Yogyakarta yang menjadi ibukota perjuangan di masa revolusi kemerdekaan.
Soegija juga berinisiatif melakukan lobi-lobi politik untuk mulai membuka jalinan diplomatik ke Takhta Suci Vatikan. Dalam Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di Bawah Dua Uskup, 1940-1981, Gregorius Budi Subanar menyebut, salah satu upayanya adalah menulis surat kepada Prefek Kongregasi Penyebaran Iman, Kardinal Pietro Fumasoni Biondi.
“Satu peristiwa penting yang terjadi selama masa ‘pengasingan’ Mgr (monsignor) A. Soegijapranata adalah aksi politik Vatikan. Pada 18 Januari 1947 Mgr. A. Soegijapranata mengirimkan surat kepada Kardinal Fumasoni Biondi. Di surat tersebut Mgr. A. Soegijapranata mengusulkan agar ada delegasi Vatikan yang ditempatkan di Indonesia,” tulis Budi.
Baca juga: Soegija dan Orang Katolik di Masa Jepang
Masih dalam surat tersebut, lanjut Budi, Soegija mengusulkan agar Paus Pius XII berkenan mengirimkan nuntius atau perwakilan Vatikan di Indonesia, bukan nuntius yang berkewarganegaraan Amerika Serikat atau Belanda. Tujuannya, agar nantinya nuntius yang ditunjuk Paus Pius XII tidak akan turut campur dalam perkara politik.
“Tetapi sebelum menominasikan utusan untuk mengisi posisi (delegasi) untuk komunitas Katolik ini, diperlukan izin dari pemerintah Belanda dan izin itu bisa didapatkan relatif mudah pada 25 Juni 1947,” ungkap Karel Steenbrink dalam Catholics in Independent Indonesia: 1945-2010.
Vatikan setuju dengan usul Soegija. Maka, sebagaimana tersurat dalam arsip “Acta Apostolicae Sedis, Vol. XXXIX, tahun 1947”, pada 6 Juli 1947 Vatikan menunjuk Monsignor Georges-Marie de Jonghe d’Ardoye Vatikan yang berkewarganegaraan Belgia sebagai pemimpin delegasi Nunsiatur Apostolik untuk Indonesia.
Pada 1938 Mgr. De Jonghe d’Ardoye ditunjuk Paus Pius XI sebagai pimpinan delegasi serupa di Irak merangkap Uskup Agung (tituler) Misthia. Seiring Mgr. De Jonghe d’Ardoye mulai mengemban tugas sebagai pimpinan delegasi pada 7 Juli 1947, di saat itu pula Takhta Suci Vatikan jadi negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
“Tugas resminya (Mgr. De Jonghe d’Ardoye) sejatinya bukan dalam kapasitas sebagai diplomat untuk Belanda dan pemerintah Republik Indonesia. Tugasnya lebih kepada segera memulai konsultasi dengan kedua belah pihak (Belanda dan Indonesia) terkait posisi agama (Katolik) dalam konstitusi,” lanjut Steenbrink.
Namun, Mgr. De Jonghe d’Ardoye tak bisa segera menginjakkan kakinya ke Indonesia. Pasalnya, Belanda keburu melancarkan Agresi Militer I (21 Juli-5 Agustus 1945). Meski sikap politiknya netral, utusan Paus itu menyampaikan rasa keprihatinannya yang disampaikan secara tertulis via misi Palang Merah Internasional di Indonesia.
Medio Agustus 1947, pasca-gencatan senjata berkat tekanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mgr. De Jonghe d’Ardoye baru bisa berangkat ke Indonesia. Ia langsung menemui Mgr. Soegija dan Presiden Sukarno di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Tiga tahun kemudian, hubungan diplomatik kedua negara kemudian resmi terjalin dengan adanya delegasi Internunsiator Apostolik di Jakarta dan Bung Karno mengirimkan R. Soekardjo Wirjopranoto sebagai duta besar untuk Takhta Suci Vatikan.
Lantas di masa perjuangan merebut Irian Barat (kini Papua), Bung Karno menyisipkan agenda kunjungan ke Vatikan di antara perjalanan kenegaraan ke sejumlah negara Barat selama 50 hari (Mei-Juli 1956). Selain Vatikan yang jadi negara tujuan pada 13 Juni 1956, Bung Karno juga melawat ke Amerika Serikat, Kanada, Jerman Barat, dan Swiss.
“Kunjungan ini sebagai misi diplomatik untuk meningkatkan hubungan diplomatik dengan negara-negara tersebut dan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia, termasuk soal Irian Barat,” ungkap Siswanto dalam Indonesia dan Diplomasi Irian Barat 1949-1962: Memanfaatkan Perang Dingin.
Di kemudian hari, Bung Karno tercatat dua kali mengunjungi Vatikan kembali. Jika dalam kunjungan 1956 Bung Karno disambut Paus Pius XII, pada 14 Mei 1959 Bung Karno diterima Paus Yohanes XXIII. Sementara dalam kunjungannya pada 12 Oktober 1964, di mana Bung Karno juga mengajak serta Guntur Soekarnoputra, ia diterima langsung oleh Paus Paulus VI.
“Pertemuan Presiden Indonesia Achmed Sukarno dengan Paus Paulus VI terjadi sekira 20 menit di perpustakaan pribadinya. Paus mendoakan agar warga Indonesia terus hidup berdampingan dalam perdamaian dan kasih bersama negara-negara tetangga mereka dan masyarakat dunia,” tulis suratkabar The Catholic Northwest Progress, edisi 16 Oktober 1964.
Dari tiga kunjungan itu, Bung Karno selalu pulang dengan membawa cenderamata berharga berupa medali kehormatan yang disematkan langsung ketiga Bapa Suci umat Katolik tersebut. Penghargaan itulah yang dikatakan Bung Karno bikin iri koleganya, Presiden Irlandia Éamon de Valera, yang warganya nyaris 90 persen memeluk Katolik.
“Orang Belanda memandang kami, orang Islam sama dengan penyembah berhala. Yah, penyembah berhala atau tidak, aku seorang Islam yang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan. Bahkan Presiden Irlandia pun mengeluh padaku bahwa dia hanya memperoleh satu,” tandas Bung Karno dalam otobiografi yang dituliskan Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Baca juga: The Godfather: Part III dan Skandal Vatikan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar