Bung Hatta: Presiden Jangan Lip Service
Ketika slogan sosialisme tidak sesuai dengan kenyataan, Hatta mengkritik cara Sukarno menangani perekonomian yang carut-marut.
Tahun 1963 menjadi tahun puncak kekuasaan rezim Sukarno. Kampanye Sukarno untuk memenangkan sengketa Irian Barat menuai sukses gemilang. Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke akhirnya terwujud. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) kemudian mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur hidup.
Meski demikian, titik berat Sukarno untuk urusan politik meninggalkan celah yang begitu krusial dalam stabilitas keuangan negara. Dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno tidak memungkiri bahwa kebijakan politiknya mengakibatkan kemunduran di bidang ekonomi. Beberapa langkah politik yang ditempuh kerap kali memakan biaya besar atau salah urus. Sebut saja seperti nasionalisasi perusahaan asing, belanja senjata untuk konfrontasi dengan Belanda di Irian Barat, hingga pembiayaan proyek-proyek mercusuar. Konsekuensinya, beban rakyat bertambah karena terjadi krisis ekonomi.
“Pada tahun 1963 beban hidup rakyat Indonesia terasa amat menekan sekali. Harga beras yang mula-mula hanya Rp 4,50 sekilo telah melompat naik menjadi Rp 60 hingga Rp 70, -- Penderitaan rakyat ini membuat Bung Hatta amat prihatin,” tulis Mochtar Lubis dalam pengantar redaksi Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta Kepada Presiden Sukarno 1957—1965.
Baca juga:
Sekalipun telah lama mundur dari posisi wakil presiden, Bung Hatta tidak lepas tangan mengawasi kebijakan pemerintah. Apalagi sebagai seorang ekonom, Hatta sangat kritis menyoroti isu-isu ekonomi makro. Sepanjang semester pertama 1963, Hatta menyaksikan keadaan ekonomi yang amat buruk terutama dampaknya kepada rakyat kecil. Kesenjangan antara kaum berada dan papa semakin tajam. Hatta juga mulai risau dengan eksperimen politik Sukarno dalam menyikapi gagasan pembentukan negara federasi Malaysia.
Pada 17 Juni 1963, Hatta menyampaikan pandangan dan kritiknya kepada Sukarno dalam surat-menyurat. Dalam pembukaan suratnya, Hatta mengatakan merasa wajib menyampaikan pemikirannya karena menyaksikan kemunduran di berbagai bidang. Pokok persoalan yang dikemukaan Bung Hatta dimulai dari kemerosotan penghidupan rakyat. Menurutnya kemerosotan yang terjadi lebih dahsyat daripada masa kolonialisme dan pendudukan Jepang. Harga beras yang melonjak menjadi indikasi perbandingan tersebut.
“Kita selalu mendengung-dengungkan sosialisme, yang menjadi tujuan, tetapi tindakan-tindakan yang diambil pemerintah bertentangan dengan itu,” kata Hatta.
Baca juga:
Selain beras, Hatta juga mendapati harga kebutuhan pokok masyarakat naik berlipat ganda. Misalnya, tarif air bersih, listrik, dan ongkos transportasi umum. Selama pemerintahan dipimpin langsung oleh Sukarno, Hatta mencatat telah terjadi dua kali kenaikan harga tarif tersebut. Padahal, bagi negeri yang menganut sosialisme atau welfare states, tarif barang kebutuhan yang menyangkut hajat hidup manusia sengaja direndahkan serendah-rendahnya. Hatta merujuk Swedia yang membebaskan rakyatnya dari biaya membeli air bersih sedangkan tarif listriknya sangat terjangkau.
Untuk lebih menyederhanakan persoalan, Hatta mencontohkan pengalaman dirinya. Pada bulan Mei, Hatta menerima gaji pensiun sebesar Rp 5.762,75. Sementara itu, tagihan rekening listrik yang mesti dibayar pada saat yang sama berjumlah Rp 3.935,50. Dalam tagihan listrik itu termasuk biaya abonemen sejumlah Rp 1.170 yang mesti tetap dibayar sekalipun tidak ada pemakaian listrik. Itu berarti hampir 70 persen dari gaji pensiunnya hanya untuk membayar tagihan listrik. Keadaan demikian, kata Hatta seperti menghisap darah orang.
Lebih celaka lagi, Hatta menyoroti perilaku catut dan korup dari aparatur negara. Gaji yang jauh dari cukup – hanya cukup untuk seminggu, paling lama sepuluh hari – menuntun mereka menggadaikan integritas. Para pembantu Sukarno menurut Hatta lepas tangan untuk memperbaiki keadaan. Sehingga Hatta mengalamatkan kritiknya kepada Sukarno sebagai yang paling bertanggung jawab.
Baca juga:
Hatta menutup suratnya kepada Sukarno dengan pertanyaan retoris. “Inikah jalan ke sosialisme? Apakah sosialisme bukan menjadi lip service saja seperti juga dengan Pancasila? Ada baiknya Paduka Yang Mulia renungkan masalah ini.”
Pada kenyataannya, keadaan perekonomian tidak kunjung membaik. Firman Lubis dalam memoarnya Jakarta 1960-an menyaksikan harga-harga kebutuhan terus merayap naik. Inflasi meningkat tajam, bahkan hingga beberapa ratus persen. Berbagai bahan kebutuhan pokok masyarakat semakin sulit didapat.
Situasi politik semakin bergejolak terutama setelah pecah peristiwa Gerakan 30 September. Pada akhir 1965, Indonesia mengalami hiperinflasi yang mencapai 650 persen. Harga kebutuhan pokok melambung drastis. Nilai tukar rupiah merosot. Keadaan carut ekonomi kemudian mendorong gelombang demonstrasi masyarakat menentang kepemimpinan Sukarno. Presiden Sukarno tidak dapat mengatasi keadaan itu hingga berujung pada lengsernya dari kekuasaan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar