Agen CIA yang Menuduh Sukarno Bernegosiasi dengan Belanda
Agen CIA ini menyebut Sukarno bersedia memulihkan kedudukan gubernur jenderal Belanda asal dia diangkat menjadi perdana menteri.
Pada 2001, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Sukarno, terbit buku Soekarno, Biografi 1901-1950 karya politisi dan penulis Belanda, Lambert Giebels. Buku ini dianggap telah menyudutkan Sukarno. Pada halaman 398, Giebels mengutip informasi dari Bob Koke, perwira intelijen OSS (Office of Strategic Services), cikal bakal CIA, bahwa Sukarno bersedia memulihkan kedudukan gubernur jenderal Belanda asal dia diangkat menjadi perdana menteri. Percakapan ini konon terjadi setelah November 1945 setelah "Sukarno mungkin sekali kehilangan tempat berpijak".
"Itu memang info baru, tapi sejauh mana Giebels telah mengonfirmasinya, dan karena itu ia tulis di buku ini? Tidakkah itu suatu penghinan –dan demikian kasar? Bila tidak, apa sebenarnya maksud Giebels dengan buku yang bisa dikatakan banyak memanipulasi data dan fakta (belum semua dikemukakan di sini) ini?" demikian kritikan keras dari A.B. Kusuma terhadap buku Giebels, dalam tulisannya, "Giebels, Nederlandsch Onderdaan, Sebuah Gugatan", di majalah Tempo, 24 Juni 2001.
Giebels mengaku pertama kali mengetahui nama Bob Koke ketika dia menerjemahkan buku Revolt in Paradise (Revolusi di Nusa Damai) karya Ktut Tantri ke bahasa Belanda. Peran Koke sebagai agen dia dengar dari seorang Australia, Timothy Lindsey, yang berteman dengan Ktut Tantri, orang Amerika yang membantu perjuangan Indonesia. Timothy menulis biografi Ktut Tantri berjudul The Romance of K’tut Tantri and Indonesia yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 1997.
Di halaman 164-165, Timothy mengungkapkan peran Bob Koke termasuk pertemuannya dengan Sukarno pada halaman 186. "Saya sendiri kurang tahu apakah Timothy Lindsey pernah bertemu dengan Bob Koke," kata Giebels dalam Seri Buku Tempo: Sukarno. Sepertinya komunikasi Timothy Lindsey dengan Koke melalui surat karena dalam bukunya diberi kode LET (letter).
Dalam bukunya (catatan akhir nomor 78 halaman 186), Timothy menyebut bahwa Bob Koke mengklaim dalam wawancaranya, Sukarno mengusulkan poin-poin negosiasi untuk diajukan kepada Belanda, melalui Singapura, sebagai berikut: a. (Memulihkan) gubernur jenderal Belanda; b. Semua holding Belanda (gula, karet, minyak), akan dibagi dengan 51 persen untuk Indonesia; c. Sukarno akan menjadi perdana menteri; d. Legislatif, badan-badan rendah dan tinggi untuk dinegosiasikan tetapi dengan perwakilan Indonesia, tentu saja, mayoritas.
Bob Koke berkomentar bahwa jika Belanda menerima tawaran itu dengan serius, "mereka mungkin masih ada di sana..." dan menyatakan: "Jika saya menjadi seorang mayor jenderal bukannya mayor rendahan, mungkin segalanya akan berjalan berbeda". Bob Koke juga mengklaim bahwa dukungannya terhadap tawaran itu, yang ditolak Belanda, menyebabkannya dipindahkan dari Indonesia.
Giebels menganggap buku karya Timothy Lindsey itu punya otoritas yang bisa diandalkan karena diangkat dari disertasi. "Tapi, apabila pertemuan tersebut betul-betul terjadi dan isinya memang demikian, saya tidak sependapat dengan pernyataan bahwa Sukarno 'menjual' Indonesia," kata Giebels.
Siapakah Bob Koke?
Robert A. Koke lahir di Los Angeles pada 13 Oktober 1910. Dia kuliah di Santa Barbara State University dan University of California di Los Angeles. Dia pernah menjadi pemain tenis profesional dan bekerja di Studio MGM (Metro Goldwyn Mayer) di Hollywood sampai 1936.
Pada 1936, Bob Koke dan Louise Garrett, yang kemudian menjadi istrinya, pergi ke Bali. Awalnya hanya beberapa minggu untuk melukis dan mengambil foto. Namun, mereka menemukan "pantai terindah di dunia": Pantai Kuta. Mereka menyewa tanah dan dalam empat bulan mereka membuka Kuta Beach Hotel.
Baik Bob Koke maupun Louise Garrett tidak berpengalaman dengan cuaca panas, tidak tahu apa-apa tentang Bali, dan kekurangan uang. Namun mereka bertahan. Agen-agen perjalanan Belanda mengolok-olok rumah-rumah jerami dan bambu sederhana itu sebagai "gubuk penduduk yang kotor" –dan tak lama kemudian Bob Koke mengubah orang-orang di sana. Gaya arsitektur yang mereka rintis kemudian berkembang. Bob Koke juga memperkenalkan selancar. Bahkan, dia disebut sebagai peselancar pertama di Bali.
Petualangan Bob Koke di Bali berlangsung sampai Jepang menyapu Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dia dan Louise kembali ke New York pada 1942.
Baca juga: Agen CIA Pertama di Indonesia
Dalam The United States in Asia: A Historical Dictionary, David Shavit menyebut setelah kembali ke Amerika Serikat, Bob Koke menuliskan pengalamannya di majalah Fortune, edisi Mei 1942. Dia kemudian bekerja di Coordinator of War Information, kemudian bergabung dengan OSS. Dia ditempatkan di Ceylon (Srilanka), kemudian bertugas dengan pasukan pendudukan di Singapura.
"Ditempatkan di Ceylon, sekarang Sri Lanka, dia membantu melatih dan mengirim agen intelijen ke pulau-pulau Indonesia yang dikuasai Jepang," tulis washingtonpost.com.
Menurut William J. Rust dalam "Operation ICEBERG: Transitioning into CIA, The Strategic Services Unit in Indonesia", termuat di Studies in Intelligence Vol. 60, No. 1, Maret 2016, selama perang, tanggung jawab Bob Koke termasuk melatih agen OSS dan mengawal mereka dengan kapal selam operasi, salah satunya adalah RIPLEY I. Tujuan utama operasi ini adalah mendaratkan J.F. Mailuku, agen OSS berkode HUMPY, untuk melakukan pengintaian di wilayah Selat Sunda dan Sumatra.
Setelah Jepang menyerah, Bob Koke memimpin tim OSS yang menyertai pasukan Inggris menduduki kembali Singapura. Dia membantu membebaskan dan memulangkan tawanan perang sambil melakukan tugas intelijen. Dia juga menyarankan stasiun OSS di Kuala Lumpur untuk beroperasi dan melakukan banyak kunjungan ke Batavia.
Edmond Taylor, perwira intelijen Detasemen 404 OSS, menilai Bob Koke sebagai salah satu "perencana paling cerdas dan kreatif". Sebuah pujian dalam arsip personalnya menyebut "Bob Koke sangat berhasil mengumpulkan banyak informasi berharga dari tingkat atas kalangan militer dan pemerintah daerah di Jawa".
Bob Koke Bertemu Sukarno
Ironisnya, menurut William J. Rust, Bob Koke sebagai petugas SSU (perubahan dari OSS) terpenting yang beroperasi di Indonesia, bukan anggota tim penuh waktu dalam Operasi ICEBERG pada Oktober 1945. Operasi ICEBERG yang dipimpin Mayor Frederick E. Crockett memiliki dua tujuan utama. Tujuan pertama langsung dan terang-terangan: membantu menyelamatkan tawanan perang Amerika Serikat dari kamp Jepang. Misi kemanusiaan ini sebagai penyamaran untuk tujuan kedua yang jangka panjang: membangun stasiun lapangan untuk spionase di Indonesia.
"Akhirnya, diangkat sebagai kepala stasiun lapangan SSU di Batavia, Bob Koke telah melakukan misi klandestin di Asia Tenggara lebih lama dari hampir semua perwira intelijen Amerika lainnya," tulis William J. Rust. "Sebelum perang, dia telah mengikuti (kuliah) UCLA, bekerja di Studio MGM, dan memiliki sebuah hotel di Bali selama enam tahun. Saat tinggal di sana, dia belajar berbicara bahasa Belanda dan Melayu dan memperkenalkan olahraga selancar ke pulau itu."
Pada 9 Oktober 1945, Bob Koke dan tiga petugas SSU mewawancarai Sukarno dan pejabat pemerintahannya. Mereka memperingatkan orang-orang Amerika bahwa situasinya "cepat memburuk". Selama pertemuan ini, Sukarno dan para menterinya menyuarakan ketakutan mereka tentang Belanda yang menggunakan pendudukan Inggris sebagai kedok untuk menduduki kembali Indonesia. Mereka juga memberi tahu bahwa pasukan Belanda melakukan provokasi. Sejumlah orang Indonesia terbunuh oleh penembakan yang tidak bertanggung jawab. Banyak dari serangan-serangan ini dilakukan dari truk-truk dengan tanda "Amerika Serikat" dan banyak orang Belanda mengenakan seragam Amerika Serikat.
Baca juga: CIA Bikin Film Porno Mirip Sukarno
Bob Koke menjelaskan bahwa truk dan seragamnya adalah persediaan Lend-Lease yang dikeluarkan di Australia. Menurutnya Amerika Serikat tidak bertanggung jawab untuk itu. Lend-Lease merupakan bantuan dari Amerika Serikat untuk negara-negara Sekutu dari Maret 1941 sampai September 1945. Bantuan itu mulai dari makanan hingga alutsista dan persenjataan. Sukarno menjawab bahwa para pemimpin Indonesia mengetahui hal ini. Akan tetapi, masyarakat tidak, dan mereka menyimpulkan bahwa "Amerika Serikat menyetujui serangan ini."
Bob Koke menjabat komandan stasiun SSU di Batavia dari 2 Desember 1945 hingga Maret 1946. Dia kembali sebentar ke Amerika Serikat. Setelah itu, dia ditugaskan sebagai kepala stasiun SSU di Shanghai, China. Setelah kembali ke Amerika Serikat, dia bekerja di Direktorat Operasi CIA sampai pensiun pada pertengahan tahun 1970.
"Selama bertahun-tahun di CIA, dia menjadikannya (Direktorat Operasi, red.) kantor pemantau, yang mengamati operasi-operasi intelijen dan krisis-krisis yang pecah di seluruh dunia," tulis washingtonpost.com.
Setelah pensiun dari CIA, Bob Koke mengisi hari-harinya dengan menanam bunga di rumahnya di McLean, termasuk lebih dari 4.000 spesies bakung. Istrinya telah lebih dulu meninggal dunia pada 1992. Dia menyusul pada 26 Juli 1996 di Rumah Sakit Fairfax karena sepsis atau komplikasi berbahaya akibat infeksi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar