Potret Apresiasi Terhadap Pahlawan Olahraga Dulu dan Kini
Apresiasi kepada pahlawan olahraga Indonesia antara dulu dan kini ibarat langit dan bumi.
PRESTASI dan prestasi. Itulah target yang diharapkan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada para atlet Indonesia ke depan. Hal itu diungkapan di Hari Olahraga Nasional (Haornas) ke-38 yang jatuh hari ini, Kamis (9/9/2021).
Ironisnya, perhatian khusus yang rutin kepada para pahlawan olahraga masih amat minim. Terakhir, Kemenpora sekadar menggelar Anugerah Legenda Olahraga pada 2017 yang sayangnya tak berkelanjutan.
“Dulu mah enggak ada bonus apa-apa. Makanya perbedaannya jauh. Dulu cuma nama bangsa dan merah putih saja yang kita bawa di dada. Soal penghargaan pemerintah, baru (2017) kemarin saja dari Kemenpora,” kata Robby Darwis, mantan bek timnas Indonesia, kepada Historia.
Baca juga: Robby Darwis yang Legendaris
Padahal, banyak olahragawan kita yang dulu menorehkan prestasi yang mengharumkan nama Indonesia namun kehidupan mereka memilukan di masa senja. Mereka nihil apresiasi dari pemerintahan, bahkan sampai sekarang.
Ibarat langit dan bumi jika membandingkan mereka dengan para atlet sekarang. Para atlet sekarang yang juara atau meraih emas di berbagai pentas diganjar bonus miliaran rupiah. Mereka juga mendapat perhatian besar masyarakat di media sosial.
Ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu, contohnya. Mereka pulang dari Olimpiade Tokyo 2020 pada Agustus lalu disambut meriah karena dianggap mencetak sejarah meski medali emas dari cabang bulutangkis bukan hal aneh buat kontingen Indonesia. Pasangan itu diberi bonus Rp.5,5 miliar oleh Kemenpora. Jumlah itu di luar bonus rumah, paket umrah, paket liburan dari Kementerian Pariwisata dan ratusan juta rupiah lain yang diberikan berbagai pihak. Bahkan, mereka dihadiahi perawatan kecantikan sampai dua franchise bakso dari seorang Youtuber.
Baca juga: Uber Cup Demi Ibu Pertiwi
Bonus tersebut agaknya sejalan dengan program Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang diluncurkan Kemenpora pada Haornas tahun ini.
“Dengan desain besar olahraga nasional ini kita mempunyai kepastian, mempunyai jaminan bahwa itu terstruktur dan terencana dengan baik dan jangka panjang. Jadi misalnya ditingkat (atlet) elite nasional itu pasti kita siapkan lapisannya kedua, ketiga dan berikutnya. Itu namanya terdesain,” kata Menpora Zainudin Amali, dikutip laman Kemenpora, Rabu (8/9/2021).
Pahlawan Olahraga Luput Perhatian
Desain tentang pembinaan demi memastikan kontinuitas prestasi ke depan tentu penting. Namun, alangkah baiknya jika pemerintah juga mau menoleh ke belakang, memperhatikan banyak olahragawan legendaris kita yang tak kalah dalam soal mencetak prestasi tapi hidup mereka merana di masa senja.
Gurnam Singh, salah satunya. Di era 1960-an, Gurnam merupakan pelari andalan Indonesia di nomor-nomor jarak jauh. Ia bahkan pernah dinobatkan sebagai manusia tercepat di Asia.
“Ayah 4 anak ini di masa jayanya, pemegang rekor lari 5 ribu meter dengan kecepatan 14 menit 24 detik dan 10 ribu meter dengan kecepatan 30 menit 47,2 detik. Sedangkan jarak maraton 42 km ditempuhnya dalam 2 jam 27 menit 21 detik,” ungkap buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982.
Baca juga: Lintasan Kehidupan Gurnam Singh
Mirisnya, setelah dia pensiun dan bisnis toko olahraganya bangkrut, rumahnya digusur Pemkot Medan tanpa ganti-rugi. Gurnam sampai hidup menggelandang.
Barulah setelah kabar Gurnam hidup menggelandang tersiar, beberapa pihak tergerak hati. Bantuan untuk Gurnam berdatangan, termasuk dari pemerintah.
“Mensesneg (Moerdiono, red.) menyinggung pekerjaan Gurnam yang kini jadi penjual air, ketika menjelaskan rencana pemberian penghargaan kepada atlet peraih emas, perak, dan perunggu di Olimpiade Barcelona,” tulis Kompas, 19 Agustus 1992.
Baca juga: Muda Melegenda, Tua di Panti Wreda
Tapi, bantuan pemerintah pusat itu tak pernah terwujud. Bantuan berupa rumah sederhana di Deli Serdang yang diterima Gurnam pada 1996 bukan dari pemerintah pusat, melainkan dari Kodam I/Bukit Barisan.
Selain Gurnam, atlet berprestasi lain yang merana di masa senja adalah Hendrik Brocks. Di masa mudanya, Hendrik memborong tiga emas balap sepeda Asian Games 1962. Mengutip biografi MF Siregar: Matahari Olahraga Indonesia, Hendrik bersama Aming Priatna, Wahju Wahdini, dan Hasjim Roesli mendapat emas di nomor Team Trial 100 km. Ketiganya, ditambah Frans Tupang dan Henry Hargini, memetik emas di nomor Open Road Race 180 km. Emas ketiga Hendrik didapat dari nomor serupa kategori individu.
“Kita memang diundang ke Istana Negara tapi ya presiden dulu hanya bilang terima kasih, disuruh semangat lagi latihannya. Habis itu dia balik kanan. Kita hanya lihat punggungnya saja,” aku Hendrik.
Setelah itu, Hendrik kembali menyumbang masing-masing sekeping emas dan perak di Ganefo 1963, serta satu emas, satu perak, dan dua perunggu di Ganefo Asia 1966.
Prestasi Hendrik itu berbanding terbalik dengan kehidupan di masa tuanya. Saat Historia menyambanginya tahun 2019, ia hidup di rumah sederhana di Sukabumi. Rumah itu dibeli dari hasil menjual rumah warisan orangtuanya ditambah bantuan tetangga. Hendrik sendiri penglihatannya mulai terenggut akibat glukoma yang dideritanya sejak 2007.
Baca juga: Roda Kehidupan Legenda Balap Sepeda
Kondisi kehidupan Hendrik yang memprihatinkan membuat teman-temannya dan KONI Kabupaten Sukabumi memberikan bantuan perawatan kesehatan pada Hendrik. Pada 2007, Menpora Adhyaksa Dault menjanjikan dana pensiun pada Hendrik, namun tak kunjung ditepati. Pun surat Hendrik kepada (mantan) Ketua KOI Erick Thohir tahun 2019 juga tak kunjung mendapat jawaban.
“Enggak pernah ada bonus! Enggak kayak sekarang, bonus…bonus…bonus. Enggak pernah saya merasakan bonus. Waktu pemusatan latihan saja dulu enggak dapat uang saku. Uang saku hanya dapat jika tanding kejuaraan di luar negeri. Untuk beli oleh-oleh saja tidak cukup. (Tunjangan) pensiun juga tidak ada. Kalau sekarang jangankan PON, Porda saja pegawai negeri sudah pasti di tangan kalau berprestasi,” ujarnya.
Para atlet bulutangkis sebelum era 1990-an juga mengalami keadaan serupa. Regina Masli, spesialis ganda putri era 1970-an, berkisah pemerintah pusat sama sekali tak pernah memberi bonus melimpah. Regina tergabung dalam tim putri Indonesia kala pertamakali memenangkan Uber Cup (1975). Usai meraih prestasi itu, tim putri diberi penghargaan alakadar dengan diundang ke Bina Graha bertemu Presiden Soeharto.
“Ibu Tien memberi sambutan, antara lain bahwa kita sebagai wanita Indonesia harus hidup sederhana. Setelah itu kita semua diberikan bahan kain brokat buatan dalam negeri. Pak Sudirman (Ketum PBSI, red.) berkata pada kita, jangan minta apa-apa ke Presiden Soeharto. Padahal waktu itu kita semua tidak ada seorangpun yang punya rumah. Begitulah bedanya pemain dulu dan sekarang,” aku Regina dalam percakapannya dengan Historia lewat media sosial.
Baca juga: Raihan Uber Cup Seharga Kain Brokat
Bonus Tim Uber Cup 1975 justru datang dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, berupa deposito Rp.300 ribu. Kendati Regina tidak merana di masa senjanya karena bekerja di Loma Linda University Behavioral Medicine Center, rekan-rekannya tidak seberuntung dirinya. Tati Sumirah, misalnya, sampai wafat pada 20 Februari 2020 hidup merana sebatang kara.
“Dia sakit darah tinggi dan gula. Memang kehidupannya memprihatinkan. Sepertinya habis tidak main lagi, tidak ada yang peduli. Dia juga tidak berkeluarga. Hidupnya selalu untuk merawat dan memperhatikan ibu dan adik-adiknya,” kata Regina yang bersama Tati sempat dibina PB Tangkas.
Tak hanya dialami atlet, kondisi memilukan juga dialami para mantan perangkat pertandingan. Seperti yang dialami Kosasih Kartadiredja, wasit Indonesia pertama yang berlisensi FIFA. Wasit yang dikenal paling tegas dan anti-suap di pentas internasional maupun domestik itu mengatakan, perhatian yang diberikan pemerintah hanya sekali didapatnya pada 2007, yakni berupa santunan sebesar 10 juta rupiah. Itupun didapatnya setelah tetangganya mengirim surat kepada Menpora Adhyaksa Dault.
Kehidupan Kosasih semakin berat sejak 2012 karena ia terserang stroke. Lantaran tak bisa segera dioperasi akibat terkendala biaya, Kosasih pun mengalami kelumpuhan sementara. Ia berjuang sendiri tanpa perhatian dari penguasa.
“Ini kaki saya yang kiri sudah ngaplek begini. Tidak bisa operasi karena mahal. Tidak ada bantuan dari mana-mana. Lupa begitu saja. Ya PSSI, ya pemda,” katanya pada Historia dua tahun lalu.
Baca juga: Wasit Berlisensi FIFA Pertama yang Terlupa
Tambahkan komentar
Belum ada komentar