Lintasan Sejarah Hidupnya Tak Semulus Lintasan Atletik
Salah satu pelari terbaik Indonesia ini hidupnya nelangsa hingga tutup usia.
BILA Jamaika punya Usain Bolt dan Amerika Serikat punya pelari legendaris Jesse Owens, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia punya legenda atletik dengan kisah hidup tak kalah menguras emosi dari kedua nama tadi. Gurnam Singh nama legenda itu.
Pria Punjab tulen itu lahir di Sogada, Pakistan pada 17 Agustus 1933. Ketika berusia delapan tahun, Gurnam merantau ke Medan dan menetap di sana bersama komunitas Sikh. Untuk menyambung hidup, dia bekerja serabutan mulai dari jadi pembantu juru masak, penjaja susu sapi, sais pedati, tukang reparasi dinamo, hingga kuli aspal.
Dengan modal tabungan yang dimilikinya, Gurnam akhirnya merintis bisnis tekstil dan membuka toko olahraga Gurnam Sport di Pasar Peringgan pada 1966. Kedua usaha itu membuat dia sukses secara ekonomi.
Namun, kesibukan berlatih atletik menjelang PON III (20-27 September 1953) di Medan membuatnya tak fokus menanangi bisnis. Neraca keuangan tokonya mulai carut-marut hingga akhirnya bangkrut. Tapi Gurnam kemudian membangun lagi bisnisnya dengan toko yang sama di Jalan Gajah Mada, Medan.
“Nasibnya sama karena saya terus sibuk mengikuti latihan di Jakarta,” ujarnya, sebagaimana dilansir Kompas, 14 September 1996.
Beruntung, prestasi Gurnam di olahraga tak sama dengan prestasinya di bisnis. Gurnam pernah didaulat sebagai manusia tercepat Asia dengan rekor waktu tercepat untuk kategori lari 5000 dan 10.000 meter.
“Ayah 4 anak ini di masa jayanya pemegang rekor lari 5 ribu meter dengan kecepatan 14 menit 24 detik dan 10 ribu meter dengan kecepatan 30 menit 47,2 detik. Sedangkan jarak maraton 42 kilometer ditempuhnya dalam tempo 2 jam 27 menit 21 detik,” tulis buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982.
Gurnam lalu terpilih masuk timnas atletik Indonesia untuk Asian Games IV di Jakarta. Sayang, dia tak seberuntung rekannya, Mohammad Sarengat, yang berhasil menyumbang emas melalui cabang lari 100 meter putra dan lari gawang 110 meter putra. Gurnam kalah dari Finai Teruo asal Jepang yang menggondol perak dan Tarlok Singh dari India yang mengantongi emas.
Toh,Gurnam tetap jadi salah satu atlet yang diundang Presiden Sukarno sebagai tamu kehormatan. Gurnam juga mendapatkan hadiah tanah seluas tujuh hektar dan uang 700 ribu rupiah.
Namun kehidupannya berubah 180 derajat seiring dengan pergantian rezim di Indonesia. Kehidupannya yang sudah tertatih-tatih akibat bisnisnya seret berlanjut dengan bangkrutnya toko Gurnam Sport. Gurnam mencoba bangkit dengan membuka toko kerajinan gitar di Medan. Tapi usaha itu hanya bertahan setahun. Perlahan, dia mulai melego harta-bendanya.
Kesulitan Gurnam bertambah ketika istrinya mulai sakit-sakitan. Keempat anak Gurnam akhirnya putus sekolah lantaran tak ada biaya. Dalam kondisi seperti itu, Pemerintah Kota Medan menggusur rumah Gurnam di Gang Sauh, Jalan Padang Bulan, Medan pada 1972 tanpa memberi ganti-rugi karena Gurnam dianggap tak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Gurnam akhirnya hidup menggelandang dan terpisah dari keluarganya. Dia kerja serabutan untuk menyambung hidup, mulai dari penjual air sampai satpam.
Saat menjadi satpam, dia sempat tersandung masalah hukum. Medio Oktober 1976, Gurnam ditahan dan diajukan ke meja hijau. Pengadilan Negeri Medan menyidang dia dengan tuduhan mencuri barang-barang perabotan toko tempatnya bekerja.
“Gurnam (dituduh) mencuri kayu, alat-alat perabot, paku dan lain-lain dari toko perabot di Jalan Gedeh, Medan. Jumlahnya ditaksir ratusan ribu rupiah,” tulis Kompas, 16 Januari 1977.
Begitu lepas dari kasus hukum, Gurnam melanjutkan hidup seorang diri dalam kondisi melarat. Perhatian kepadanya baru berdatangan, dari mulai wartawan olahraga hingga Mensesneg Moerdiono, pada 1990-an.
“Mensesneg menyinggung pekerjaan Gurnam yang kini penjual air, ketika menjelaskan rencana pemberian penghargaan kepada atlet peraih emas, perak dan perunggu di Olimpiade Barcelona (1992),” tulis Kompas, 19 Agustus 1992.
Bantuan dan sumbangan mulai mengalir kepada Gurnam. Namun, Gurnam menolak. “Bantuan yang saya inginkan hanyalah agar rumah saya di Gang Sauh, Jalan Padang Bulan yang dibongkar Pemda Medan dibangun kembali,” ujarnya. Itu sebabnya dia enggan menerima bantuan seorang pengusaha asal Purwokerto yang ingin menjamin hidupnya dengan syarat Gurnam bersedia pindah dari Medan.
Keadaan sulit akhirnya membuat Gurnam tak kuasa menolak bantuan. Pada 25 Juni 1996, dia menerima hadiah sebuah rumah sederhana di Pancurbatu, Deli Serdang dari Kodam Bukit Barisan. Di rumah itu dia tinggal hingga sekira satu dekade. Pada 7 Desember 2006, Gurnam menghembuskan nafas terakhir di RS Sumber Waras, Grogol, Jakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar