Portiere Flamboyan Itu Bernama Walter Zenga
Transformasi anak gawang yang mencuri umur hingga jadi sosok flamboyan di masa jaya. Kini Walter Zenga melipir di pinggiran Jakarta.
SATU lagi pesepakbola legendaris dunia mampir ke tanah air. Dialah Walter Zenga, kiper Inter Milan dan timnas Italia yang masa keemasannya era 1980-an. Kedatangannya bukan sekadar untuk tampil di laga fun football apalagi jadi duta brand atau perusahaan tertentu, melainkan terjun langsung membimbing klub Liga 1 Indonesia Persita Tangerang.
Zenga hadir bersamaan peluncuran jersey dan skuad Persita jelang kompetisi Liga 1 musim 2023/2024 di Serpong, Tangerang, Senin (26/6/2023). Presiden Persita Ahmed Rully Zulfikar memperkenalkan Zenga yang akan memanggul jabatan Director of Institutional and Infrastructure Development dengan tugas utama membangun fondasi klub sekaligus jadi penasihat pengembangan infrastruktur, termasuk stadion yang jadi kandang klub di pinggiran ibukota itu.
“Karier saya sebagai pemain sangat luar biasa tapi itu masa lalu. Saya akan memanfaatkan masa lalu untuk mengangkat momen saat ini. Ada peluang besar di sini dan saya di sini untuk membantu tim, untuk mendukung semuanya. Saya berharap musim ini berjalan dengan baik untuk kita semua,” kata Zenga, dikutip laman resmi klub, Selasa (27/6/2023).
Meski masa kejayaannya sebagai pemain lebih sering di negeri sendiri bersama Inter Milan (1978-1994), Zenga punya portfolio membangun tim lintas benua saat jadi pelatih dan direktur teknik. Dia menangani New England Revolution di Amerika Serikat (1998-1999), Naţional Bucureşti di Rumania (2002-2003), Gaziantepspor di Turki (2006), Al Ain FC di Uni Emirat Arab (2007), Al Nassr di Arab Saudi (2010), hingga Wolverhampton Wanderers di Inggris (2016).
Baca juga: Ronald Koeman Pahlawan Katalan dari Zaandam
Portiere Flamboyan
Putra kelahiran kota Milan pada 28 April 1960 itu begitu lekat dengan sepakbola. Sang ayahnya, Alfonso Zenga, memperkenalkan permainan itu kepada Zenga dan adiknya, Alberto.
“Dia (Walter Zenga) tumbuh di lingkungan Viale Ungheria, di mana keluarganya tinggal sebelum orangtuanya bercerai. Ayahnya, Alfonso merupakan kiper yang membela tim Pro Lissano dan kemudian Legnano,” tulis Andrea Ramazzotti dalam Le Leggende dell’Inter: I Fuoriclasse della Storia Nerazzurra.
Alfonso mengajari sepakbola pada Walter dan Alberto di lingkungan rumah. Ketika Zenga berusia sembilan tahun, sang ayah membawanya ke klub muda amatir Macallesi 1927. Itupun Zenga bisa mulai mengasah bakatnya dengan cara culas, yakni mencuri umur. Alfonso memalsukan tahun kelahiran Zenga dari tahun 1960 ke tahun 1959.
“Untuk bisa (masuk) ke sana, saya memalsukan tanggal kelahiran yang dituliskan lahir tahun 1959 bukannya 1960. Karena jika tidak begitu dan usia Anda belum 10 tahun, Anda tak bisa bermain sepakbola kompetitif. Ayah saya yang mengurus semuanya,” kenang Zenga dalam artikel “Zenga Walter: l’uomo ragno non muore mai” di kolom Storie di Calcio.
Baca juga: Balada Klub Antah Berantah Como 1907
Di Macallesi itu pula Zenga mulai beralih jadi portiere (kiper). Sebelumnya, Zenga dilatih ayahnya sebagai penyerang.
“Ayah saya selalu menemani saya di banyak pertandingan. Dia selalu ingin merepotkan diri mengatur perjalanan. Tapi ketika pertandingan sudah berjalan, dia hanya akan berdiri di tepi lapangan dalam diam sepanjang waktu,” imbuhnya.
Sembari mengasah skill di Macallesi, Zenga tak pernah berhenti berkhayal bisa membela klub idolanya, Inter Milan. Preferensi Zenga berbeda dari ayahnya yang fans Juventus, sebagaimana kelak putra Zenga.
“Ayah penggemar Juventus. Ketika ada pertandingan Inter-Juve, pasti akan terjadi masalah: jika kami kalah, saya marah dan menangis. Bahkan putra pertama saya Jacopo penggemar hitam-putih. Kami keluarga yang aneh memang tapi empat anak saya yang lain berpihak kepada saya (Inter),” kenang Zenga dalam kesempatan berbeda, dikutip Corriere dela Serra, 12 Februari 2023.
Baca juga: Di Balik Derbi Sengit di Milan
Keputusan Zenga beralih posisi dari attaccante (penyerang) ke bawah mistar itu tak keliru. Baru dua tahun menggali keterampilan di Macallesi, Zenga sudah dilirik Inter Milan.
“Pada usia 11 tahun ia dipilih Italo Galbiati, pencari bakat (Inter) Milan. Galbiati tak sekalipun ragu saat melihatnya tampil di lapangan Richard Ginori bersama anak-anak sebayanya. Tebusannya kepada Macallesi saat itu bernilai hampir satu juta lira untuk dua pemain sekaligus, Zenga dan temannya, Claudio Ambu,” sambung Ramazzotti.
Zenga pun masuk tim muda Nerazzurri (julukan Inter Milan) pada 1971. Bergabungnya Zenga dengan Nerazzurri membawanya dari yang sekadar fans di “Curva Nord” atau sektor tribun utara menjadi anak gawang di tepi lapangan Stadio San Siro.
Kendati begitu, butuh waktu panjang bagi Zenga bisa promosi ke tim senior Inter. Zenga baru mendapat kontrak profesional pertamanya di Inter pada 1978. Itupun ia langsung dipinjamkan ke klub Serie C1 Salernitana untuk musim 1978-1979, Savona di musim 1979-1980, dan Sambedenettese pada musim 1980-1982.
Zenga baru kembali ke skuad Inter pada 1982 dan lagi-lagi belum mendapat kepercayaan penuh. Khusus di Serie A, allenatore (pelatih) Rino Marchesi masih mempercayakan spot di bawah mistar kepada Ivano Bordon kendati Zenga terus mendapat kans tampil di kancah Coppa Italia. Pun ketika mulai di panggil ke timnas Italia yang berangkat ke Piala Dunia 1982.
Kerja keras dan kesabaran Zenga akhirnya berbuah manis. Mulai musim 1983-1984 seiring kepindahan Bordon ke Sampdoria, ia mulai jadi kiper utama. Pun sesudah Zoff pensiun pada 1983, Zenga pula yang jadi penerusnya.
Baca juga: Sejarah Panjang Nerazzurri dalam Inter 110
Penampilan Zenga begitu mudah jadi sorotan publik apalagi fans Inter. Di bawah mistar, Zenga merupakan sosok yang agresif, eksplosif, cakap dalam penempatan posisi, berani, dan punya keluwesan apik untuk menahan serangan lawan dari segala penjuru mata angin. Zenga juga dikenal sebagai kiper yang ditakuti setiap eksekutor penalti.
Tak ayal Zenga mulai mendapat beberapa julukan dari publik. Mulai dari “Deltaplano” atau “hang-glider” karena kemampuannya terbang ke sana-sini menghentikan tembakan-tembakan keras, hingga “L’Uomo Ragno” atau “Spider-Man”. Julukan ini tak terkait dengan permainannya, melainkan karena kegemaran Zenga yang acap mendengarkan tembang “Hanno ucciso l’Uomo Ragno” (“Someone killed Spider-Man”) yang dipopulerkan band pop 883.
“Sang Spider-Man, Walter Zenga muncul jadi simbol bagi para fans Inter lintas generasi, terutama mereka yang mendukung klub sejak 1980-an dan 1990-an, mengingat ia punya rekor luar biasa sebagai seorang kiper,” ungkap Ramazzotti lagi.
Puncak sorotan terhadap Zenga terjadi di Piala Dunia 1990 yang dihelat di negeri sendiri. Zenga mencetak rekor clean-sheet di lima laga yang dimainkan Gli Azzurri (julukan timnas Italia) sejak penyisihan grup hingga semifinal. Rekor tersebut sampai kini belum bisa dilewati kiper-kiper lain di berbagai edisi Piala Dunia selanjutnya.
“Bermain untuk Italia di 1990, Walter Zenga mengukir rekor durasi menit di Piala Dunia tanpa sekalipun kebobolan dalam total 517 menit. Zenga melewati rekor 499 menit tanpa kebobolan yang pernah dicatatkan Peter Shilton dari Inggris pada 1982 dan 1986,” tulis John Snyder dalam Soccer’s Most Wanted.
Tapi saat bertemu Argentina di semifinal, rekor Zenga itu terhenti di menit ke-67. Kendati Italia unggul lebih dulu lewat gol Salvatore Schillaci, pada menit ke-67 Zenga melakukan blunder. Ia salah antisipasi ketika Claudio Caniggia mencuri sundulan dari sebuah umpan lambung, hingga Argentina menyamakan skor 1-1.
Baca juga: Kiper Keblinger Blunder
Laga sengit itu pun berlanjut sampai ke adu penalti. Sayangnya, reputasi Zenga sebagai penakluk penalti berakhir antiklimaks dan Italia kalah 3-4. Zenga mengakui kesalahannya meski ia tetap berusaha tegar dan menanggapinya sebagai pelajaran yang sangat berharga.
“Hanya (Diego) Maradona yang mengerti segalanya karena dia mengerti seluk-beluk sepakbola. Yang terjadi saat itu adalah, Caniggia bermain sangat baik. Dia mampu mengantisipasi balik permainan saya yang awalnya mencoba mengantisipasi permainan dia,” kenang Zenga lagi.
Namun meski gagal meninggalkan catatan manis di timnas, Zenga punya andil penting bersama Inter Milan. Ia sekali membantu klub meraih Scudetto (gelar Liga Italia) musim 1989-1989, Piala Super Italia pada 1989, serta dua kali merebut trofi UEFA Cup (kini UEFA Europa League) pada 1991 dan 1994. Dalam pencapaian individu, tiga kali berturut-turut ia didapuk sebagai kiper terbaik dunia versi IFFHS pada 1989-1991, serta kiper terbaik UEFA 1990.
Seperti kebanyakan pemain, Zenga mulai tersingkir ketika usianya tak lagi muda. Dari Inter, ia hijrah ke Sampdoria pada 1994, Padova pada 1996, dan pindah ke MLS (Liga Amerika) bersama New England Revolution sebelum akhirnya gantung sarung tangan pada 1999.
“Pada 1998 pelatih klub mengundurkan diri. Manajemen pun mengangkat pelatih baru yang tak lain Walter Zenga, di mana ia juga masih jadi kiper. Zenga menjadi pemain merangkap pelatih pertama di sejarah MLS,” ungkap Joanne Mattern dalam New England Revolution.
Ketika pensiun pada 1999, Zenga meneruskan karier barunya sebagai pelatih. Dari Amerika, Zenga melanglang buana ke Rumania, Timur Tengah, Inggris, hingga akhirnya kembali lagi ke Italia kala menukangi Crotone (2017-2018), Venezia (2018-2019), dan Cagliari (2020).
Di luar lapangan, baik semasa jadi pemain hingga beralih jadi pelatih, Zenga tetap jadi sosok flamboyan dan playboy. Sebagaimana dilansir Forza Italian Football, 13 September 2012, Zenga dikenal sebagai figur yang acap berhubungan dengan banyak perempuan, utamanya dari kalangan model dan atlet cabang olahraga lain.
Baca juga: Santo Iker di Bawah Mistar
Pernah satu ketika kehidupan glamornya mendatangkan masalah. Saat dia melatih di Rumania medio 2002, Zenga nyaris jadi korban kriminalisasi atau setidaknya salah tangkap.
“Suatu malam pada November 2002, seorang petenis profesional, Raluca (Şerban) tengah berada di sebuah klub malam di Bucharest bersama pacarnya, Walter Zenga, mantan kiper Italia, yang juga ditemani mantan bek Chelsea Dan Petrescu. Tengah malam polisi menggerebek tempat itu dan langsung mendekati meja mereka dan menemukan dua bungkus kokain, satu di bawah meja dan satu lagi di bawah kursi Zenga,” tulis Jonathan Wilson dalam Behind the Curtain: Football in Eastern Europe.
Tetapi saat diinterogasi, kenang Petrescu sebagaimana dikutip Wilson, Zenga berusaha kooperatif meski ia tampak gugup. Untung kokain itu tak terbukti dibawa atau dimiliki Zenga hingga akhirnya Zenga dan Raluca dibebaskan pagi berikutnya.
Raluca sendiri kemudian jadi istri ketiga Zenga. Sebelumnya, Zenga beristrikan Elvira Carfagna, yang melahirkan putra pertamanya, Jacopo. Istri keduanya, Roberta Termali, memberinya dua putra: Nicolo dan Andrea. Serta bersama Raluca, Zenga memiliki seorang putra lagi, Walter Jr. dan seorang putri bungsu, Samira.
Baca juga: Kiper yang Dilaknat hingga Akhir Hayat
Tambahkan komentar
Belum ada komentar