Di Balik Derby della Madonnina
Derby della Madonnina punya akar sejarah panjang. Berhulu dari sebuah simbol yang jadi denyut jantung kota Milan.
COVID-19 (virus corona) lagi-lagi menghantui gelaran Serie A Italia. Pasca-kekusutan laga Juventus kontra Napoli pada 4 Oktober 2020, kini duel bertajuk Derby della Madonnina (duel antara dua tim sekota) antara Inter Milan kontra AC Milan yang akan dimainkan pada 17 Oktober 2020 berpeluang ditunda dengan dalih pandemi COVID-19.
Dalam kasus Juventus kontra Napoli, pihak Juve bersikeras berhak menang WO sehingga mendapat tiga poin karena Napoli tak hadir di Juventus Stadium. Di sisi lain, Napoli batal tiba ke Turin lantaran pemerintah daerahnya melarang siapapun keluar dari kota Napoli.
Dalam kasus derbi kota Milan, bisa jadi bakal ditunda mengingat beberapa anggota masing-masing kubu dikabarkan positif COVID-19. Di skuad Inter, Milan Škriniar, Alessandro Bastoni, Roberto Gagliardini, Ionuţ Radu, dan Radja Nainggolan absen karena corona. Sementara, pasukan Rossoneri (julukan AC Milan) kini masih kehilangan Léo Duarte dan Matteo Gabbia. Pelatih Milan Stefano Pioli sedikit beruntung lantaran pemain bintangnya, Zlatan Ibrahimović, dinyatakan sudah sembuh dari corona.
Badan Perlindungan Kesehatan Kota Milan (ATS) menyatakan, duel Inter vs Milan masih bisa digelar asal disiplin mematuhi protokol kesehatan ketat, sesuai aturan yang diberlakukan Kementerian Kesehatan Italia. FIGC sebagai operator Serie A sangat diharapkan kerjasamanya dengan menggelar uji swab kepada para pemain dan ofisial dan hanya membolehkan pemain yang hasilnya negatif untuk masuk ke Stadion San Siro.
“Syaratnya melakukan isolasi sebelum pertandingan dan melakukan uji swab sebelum masuk stadion. Kemudian dilanjutkan karantina setelah pertandingan. Jika pihak-pihak klub mematuhi aturan-aturan ini, kami takkan mengintervensi. Jika seorang pemain berkontak dengan orang yang positif (corona) tapi hasil tes dia negatif, merujuk protokol dia masih boleh berlatih dan bermain,” demikian pernyataan ATS, dikutip football-italia, Sabtu (10/10/2020).
Jika akhirnya duel itu bisa dihelat, Derby della Madonnina ke-226 (catatan laga resmi) itu akan jadi yang pertama tanpa gempita tifosi Inter di tribun utara dan fans AC Milan di tribun selatan. Laga terakhir keduanya dengan masing-masing ditemani puluhan ribu Interisti dan Milanisti terjadi delapan bulan silam, 9 Februari 2020, yang berakhir 4-2 untuk kedigdayaan Inter.
Jika derbi tetap digulirkan, akan jadi yang pertama tanpa penonton kendati bukan yang pertama Stadion San Siro menggelar laga dengan kursi kosong. Inter pernah menjamu Shahktar Donetsk tanpa penonton di leg kedua semifinal Liga Champions, 25 Agustus 2005. Musababnya, Inter disanksi UEFA akibat ulah suporternya di perempatfinal Liga Champions kontra AC Milan, medio April 2005.
Baca juga: Atmosfer Semu Stadion Tanpa Penonton
Hingga Februari 2020, sudah 225 kali duel tim sekota itu terjadi sejak pertamakali bersua, 10 Januari 1909. Kala itu kompetisinya masih bernama Prima Categoria. Derbi itu terjadi di markas AC Milan, Campo Milan di Porta Monforte, dan dimenangkan sang “saudara tua” AC Milan, 3-2.
Secara statistik, hingga Februari 2020, dari 225 partai di berbagai ajang resmi, Nerazzurri (julukan Inter) 82 kali menang, sementara AC Milan baru 76 kali menang. Sisa 67 duel berakhir imbang.
Madonnina Simbol Denyut Jantung Milan
AC Milan yang didirikan pada 16 Desember 1899, lahir lebih dulu dibanding Internazionale Milano alias Inter (9 Maret 1908). Kelahiran Milan dibidani dua ekspatriat asal Inggris: Alfred Edwards dan Herbert Kilpin. Sedangkan Inter kelahirannya dibidani sejumlah eks pejabat teras Milan: Giorgio Muggiani; Enrico, Arturo, dan Carlo Hintermann; Pietro Dell’Oro; Hugo dan Hans Rietmann; Carlo Ardussi; serta Giovanni Paramithiotti. Nama terakhir terpilih jadi presiden pertama Inter.
Berdirinya Inter Milan sebagai hasil rapat para tokoh di atas di Restoran L’Orologio tak lepas dari kekecewaan Muggiani cs. saat masih di manajemen AC Milan. Pasalnya, klub menetapkan kebijakan larangan terhadap pemain rekrutan non-Italia, tak peduli klub AC Milan didirikan ekspatriat Inggris.
“Malam yang indah ini dinaungi warna kebanggaan kita: hitam dan biru dengan latarbelakang bintang keemasan. Kebanggaan kita yang akan disebut sebagai Internazionale, karena di dunia ini kita semua bersaudara,” kata Muggiani, dikutip Matteo Arrigoni dalam The History of Inter.
Baca juga: Geliat Parma Bangkit dari Kubur
Kelahiran Inter pun menyulut persaingan, maka lahirlah Derby della Madonnina. Kendati begitu, tak ada catatan sejarah mengenai kapan tajuk duel sekota itu dimulai dan siapa pencetusnya.
Derby della Madonnina merujuk pada patung tembaga berlapis emas Madonnina (Perawan Maria) di pucuk menara Duomo di Milano atau Katedral Milan. Menukil laman resmi katedral, duomomilano.it, desain patungnya dibuat seniman Giuseppe Perego pada 1769 dan pengerjaannya digarap pematung Giuseppe Antignati. Patung yang dalam dialek Milan disebut “Madunina” itu tak hanya jadi simbol kemegahan dan keindahan kota Milan, namun juga jadi simbol perlawanan.
“Jika Duomo adalah simbol Milan di dunia, (patung) Madonnina yang bertengger di titik tertinggi menara katedral merepresentasikan jantung dan jiwa dari kota (Milan),” demikian pernyataan Veneranda Fabbrica del Duomo di Milano, pengelola katedral, di lamannya.
Sejak pertengahan abad ke-18 hingga 1958, patung Madonnina jadi lambang dan titik tertinggi di kota Milan (108,5 meter di atas permukaan tanah). Ketinggiannya baru dikalahkan pada 1958 oleh Menara Pirelli (127 meter) yang dibangun sebagai simbol kebangkitan ekonomi Italia pasca-Perang Dunia II. Lantaran tradisi ratusan tahun di mana tak boleh ada bangunan lebih tinggi dari patung klasik itu, replika patung Madonnina pun ditempatkan di puncak Menara Pirelli.
Baca juga: Hagia Sophia, dari Katedral menjadi Masjid
Kebanggaan warga kota Milan terhadap patung Madonnina juga berangkat dari peristiwa Insiden Lima Hari di Milan (Cinque Giornate di Milano) atau pemberontakan pertama menjelang Perang Kemerdekaan Italia I, 18-22 Maret 1848.
Diungkapkan Tim Chapman dalam The Risorgimento: Italy 1815-1871, kota Milan sejak 1815 termasuk dalam wilayah kekuasaan Kekaisaran Austria yang dipegang Dinasti Hapsburg. Konflik antara Kerajaan Lombardo-Veneto, kepanjangan tangan Kekaisaran Austria di kota Milan, dengan warga kota Milan sudah tersemai sejak Januari 1848.
“Di awal 1848 muncul protes-protes dan kampanye anti-Austria di Milan, ibukota wilayah Lombardi sebagai resolusi tahun baru. Warga kota Milan memboikot tembakau dan rumah-rumah judi yang sejak 1815 dimonopoli Austria, di mana total pajak per tahunnya bernilai 5,5 juta lira,” tulis Chapman.
Baca juga: Sejarah AS Roma Menggebrak Eropa
Sejak Januari itupula aksi-aksi protes dan kampanye menyulut kericuhan lantaran warga yang memboikot melakukan penyerangan terhadap orang-orang yang masih membeli atau bermain judi. Austria tak tinggal diam, mengirim sekira 12 ribu pasukan di bawah Jenderal Joseph Radetzky von Radetz.
“Konfrontasi pertama terjadi pada 3 Januari (1848), di mana sekumpulan massa anti-Austria diserang kavaleri pasukan Radetzky. Enam orang tewas dan 60 lainnya luka-luka. Aksi protes itu berakhir. Akan tetapi pada Maret (1848) ketika kabar Revolusi Wina, 13 Maret 1848, ketika Pangeran Metternich-Winneburg zu Beilstein dilengserkan dari jabatan perdana menteri dan kabur ke Inggris, terdengar sampai ke Milan, bara pemberontakan berkobar lagi,” sambung Chapman.
Gejolak bermula lagi pada 18 Maret 1848. Walikota Milan Gabrio Casati menyerukan kepada ribuan warganya untuk turun ke jalan. Mereka lalu membuat 1.700 barikade di segenap titik kota untuk mengepung 12 ribu pasukan Jenderal Radetzky. Sejumlah tokoh dari Dewan Perang pemerintahan sementara kota Milan, seperti Carlo Cattaneo, mencari dukungan pemberontakan sampai ke Raja Sardinia Carlo Alberto I.
Baca juga: Balada Klub Antah Berantah Como 1907
Pada hari ketiga, 20 Maret 1848, Jenderal Radetzky mengungsikan pasukannya ke empat kota benteng di empat penjuru Milan: Verona, Legnano, Mantua, dan Peschiera del Garda. Selepas garnisun pasukan Radetzky, yang sebelumnya menjaga Katedral Milan, ikut melarikan diri, Luigi Torelli dan Scipione Bagaggi naik ke puncak menara untuk mengibarkan bendera triwarna: hijau-putih-merah di patung Madonnina.
“Penampakan bendera (di patung Madonnina) itu, bersama dengan dibunyikannya sejumlah bel gereja, menguatkan semangat seantero kota dan membangkitkan kebanggaan warga kota Milan mengusir pasukan Austria,” lanjutnya.
Semangat itu yang kemudian coba diambil Muggiani dkk. kala mendirikan Inter Milan enam dekade berselang saat nasionalisme pra-Perang Dunia I di Italia tengah merebak. Semangat itu tersua juga dari tempat rapat pendirian klub yang dipilih, Restoran L’Orologio, hanya berjarak sepelemparan batu dari patung Madonnina. Warna kebanggaan Inter, hitam-biru, pun diambil sebagai antitesis warna hitam-merah AC Milan.
Baca juga: Merobohkan Memori San Siro
Meski derbi sudah sejak 1909, penyematan “Madonnina” pada derbi baru populer pada 1935. Utamanya setahun setelah munculnya tembang “Oh Mia Bèla Madunina” (Indonesia: “Madonna Kecilku yang Cantik”) karya Giovanni d’Anzi.
Suporter kedua kubu mulai tumbuh sejak 1960-an, seiring dominasi kedua tim sekota itu di Italia. Lagu itu acapkali dinyanyikan kedua suporter tim yang fanatik. Saking fanatiknya, kedua suporter sempat terlibat sejumlah kerusuhan hebat pada 1980-an.
Berangkat dari keprihatinan terhadap konflik suporter itu, beberapa petinggi suporter kedua kubu membuat semacam pakta perdamaian pada 1983. Pakta itu juga untuk mengakomodir kepentingan masing-masing mengingat sejak 1947, kedua klub sudah berbagi “rumah” di Stadion San Siro (duel pertamakali di Stadion San Siro terjadi pada 19 September 1926, dimenangkan Inter 6-3).
Dalam kesepakatan perdamaian tak tertulis kedua ultras itu dimuat keputusan, setiap pemenang derbi berhak merentangkan spanduk bergambar patung Madonnina yang tersemat lirik lagu karya d’Anzi, “ti te dòminet Milan” (Anda mendominasi Milan), hingga derbi berikutnya dimainkan.
Baca juga: Ketika Timnas Primavera Puasa di Italia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar