Piala Asia Tanpa Israel
Pernah jadi tuan rumah dan menang di edisi ketiga, Israel tak pernah lagi diajak sejak 1972 atas nama solidaritas negara-negara Asia terhadap Palestina.
UNTUK sejenak, kemeriahan upacara pembukaan AFC Cup atau Piala Asia 2023 di Stadion Lusail, Qatar pada Jumat (12/1/2024) berganti atmosfer penuh persaudaraan. Penonton kompak memberi aplaus penghormatan saat dua sosok kapten mengambil tempat di panggung utama: kapten tim tuan rumah Qatar Hassan al-Haydos dan kapten tim nasional Palestina Musab al-Battat.
Sebagaimana sudah jadi kebiasaan, di sela pesta pembukaan, kapten timnas tuan rumah melantangkan “sumpah pemain”. Akan tetapi atas nama solidaritas terhadap Palestina yang mengalami krisis kemanusiaan dan genosida oleh Israel selama 100 hari terakhir, Al-Haydos memberikan kesempatan itu kepada kolega di sampingnya yang mengenakan keffiyeh itu agar menyuarakan sumpah pemain.
“Menjadi kehormatan buat saya menjadi kapten dari tim tuan rumah dan menjadi kehormatan pula buat saya untuk menyampaikan sumpah. Tetapi saya meminta izin kepada Anda untuk memberikan hak itu kepada rekan saya, Musab al-Battat, kapten (timnas) Palestina,” ujar Al-Haydos, dilansir Sportstar, Jumat (12/1/2024).
Baca juga: Qatar di Gelanggang Sepakbola
Al-Haydos kemudian mengoper mikrofonnya dan menjabat tangan Al-Battat. Seisi stadion merespons dengan aplaus simpatik.
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan atas nama rekan-rekan saya, saya bersumpah Demi Allah yang Maha Besar, Tuhan yang memberi terang dalam kegelapan, saya bersumpah akan mematuhi peraturan kompetisi yang adil, dan saya akan menyampaikan kepada Anda apa cerminan karakter yang kuat dan Tuhan menjadi saksinya,” tukas Al-Battat.
Piala Asia ke-18 ini menjadi kali ketiga tim berjuluk “Singa Kanaan” itu lolos ke putaran final. Kali ini, timnas Palestina tergabung di Grup C bersama Iran, Uni Emirat Arab, dan Hong Kong.
“Kami bagian dari rakyat Palestina dengan penderitaan yang disaksikan semua orang, di mana setiap menit bisa saja dibunuh atau terluka. Keluarga para pemain masih ada di Gaza dan sebisanya kai mendukung mereka. Para pemain punya pesan untuk dibagikan kepada dunia: Palestina tidaklah berbeda dari negara lain dan punya hak untuk berpartisipasi dan hadir di turnamen manapun,” tutur Al-Battat dalam kesempatan berbeda kepada South China Morning Post, Minggu (14/1/2024).
Israel? Kendati tim zionis itu tercatat pernah jadi tuan rumah dan juara pada 1964, sejak 1970-an tak pernah lagi “diajak” ikut serta segala perhelatan di bawah naungan AFC. Solidaritas bangsa-bangsa Asia membuat Israel disingkirkan hingga akhirnya mendapat suaka di badan sepakbola Eropa, UEFA.
Baca juga: Sepakbola Palestina Merentang Masa
Wadah Kompetisi Pan-Asia
Berkembangnya sepakbola modern di Asia tak lepas dari para kolonialis Eropa yang mengimpornya ke negara jajahan masing-masing sejak abad ke-19. Cho Youngchan dalam Football in Asia: History, Culture and Business menguraikan, sepakbola berkembang tak hanya sebagai inspirasi namun juga jadi “jembatan” yang mempersatukan masyarakat Asia yang beragam.
“Mungkin hanya sepakbola yang bisa mengklaim menjadi fenonema olahraga Pan-Asia. Terlepas dari banyaknya perbedaan dan tradisi dalam budaya olahraga Asia, hanya sepakbola yang saling menghubungkan Asia. Sejak diperkenalkan satu setengah abad lalu, sepakbola menjadi simbol penemuan modern, alat menentang kaum imperialis, serta menjadi katalis identitas lokal, nasional, dan regional,” tulis Cho.
Periode pasca-Perang Dunia II pun menjadi periode krusial bagi bangsa-bangsa Asia untuk mempromosikan nasionalisme masing-masing lewat sepakbola. Maka, lanjut Cho, beberapa negeri yang sudah lebih dulu merdeka sudah punya turnamen untuk menegaskan nasionalismenya kepada masyarakatnya. Di antaranya lewat Piala Asia (sejak 1956), Pestabola/Turnamen Merdeka (sejak 1957), dan King’s Cup (sejak 1968).
Piala Asia digelar tak lepas dari lahirnya konfederasi yang mewadahi semua negara Asia pada 1954 di Manila, Filipina. Menariknya, salah satu penggagasnya orang Eropa, John M. Cleland.
“Langkah awal menuju sebuah konfederasi untuk sepakbola Asia baru hadir pada 1952 saat perwakilan negara-negara Asia berkumpul untuk membicarakan perlunya badan administratif. Sosok yang paling menonjol menginisiasikannya adalah John M. Cleland, seorang Skotlandia yang mewakili Filipina. Ia juga yang berupaya keras menyatukan setiap anggota di balik gagasan mendirikan sebuah konfederasi,” ungkap Ben Weinberg dalam Asia and the Future of Football: The Role of the Asian Football Confederation.
Butuh tiga kali pertemuan sampai akhirnya ditetapkan pembentukan konfederasinya, Asian Football Confederation (AFC), yang diresmikan di Manila pada 8 Mei 1954. Ke-12 anggota pendirinya, tambah Weinberg, adalah Afghanistan, Burma (kini Myanmar), Republik China (Taiwan), Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, dan Vietnam.
Lo Man-kam dari Hong Kong terpilih sebagai presiden AFC pertama, sementara Cleland menjadi wakilnya. Pada 21 Juni 1954, dalam Kongres FIFA di Bern, Swiss, AFC menerima pengakuan dan mendapat satu kursi perwakilannya di komite eksekutif FIFA.
Dua tahun berselang, Piala Asia pertama pun dihelat di Hong Kong pada 1-15 September 1956. Putaran finalnya hanya diikuti empat peserta. Selain tuan rumah Hong Kong, tiga lainnya adalah pemenang babak kualifikasi: Korea Selatan (Zona Timur), Vietnam Selatan (Zona Tengah), dan Israel (Zona Barat).
Israel lolos bukan karena murni kemenangan di babak kualifikasi Zona Barat, melainkan tidak ada satu pun lawan yang mau satu lapangan dengan mereka lantaran kebrutalan Israel yang mencaplok tanah Palestina sejak berdirinya negara zionis itu pada 1948. Baik Pakistan di fase pertama maupun Afghanistan di fase kedua yang menjadi lawan Israel, memilih mundur.
“Saat menyadari kebencian tetangga-tetangga Arab dan pendukungnya, Israel masih mencoba bertahan menjadi bagian dari sepakbola Asia, dari mulai penyelenggaraan pertamanya (Piala Asia) pada tahun 1956 hingga 1968 di Iran. Pada Piala Asia 1964 Israel bahkan bertindak sebagai tuan rumah. Dalam empat kali partisipasinya, prestasi Israel empat kali semifinalis dengan satu di antaranya menjadi juara. Namun bersamaan dengan itu, Israel terus menjadi duri dalam daging perkembangan sepakbola Asia,” tulis Owen A. McBall dalam Football Villains.
Baca juga: Mimpi Indonesia di Piala Dunia Terganjal Israel
Pun dalam kualifikasi Piala Dunia 1958 Zona AFC, Israel senantiasa dikucilkan. Namun bedanya, di Piala Dunia FIFA tak mengizinkan ada tim yang lolos tanpa bermain satu menit pun.
“Berdasarkan undian, Israel sedianya menghadapi Turki. (Tetapi) solidaritas Turki untuk rakyat Palestina yang negerinya dirampas Israel, membuat Turki mundur dari kualifikasi. Di putaran kedua, Israel bertemu dengan Indonesia, Mesir, dan Suriah. Lagi-lagi tak ada satu pertandingan pun dilakoni Israel,” lanjutnya.
Di Asian Games 1962 yang dihelat di Jakarta pun serupa. Tuan rumah Indonesia menolak memberikan visa hanya kepada Taiwan dan Israel sekaligus. Bak bola salju, perkara Israel ditambah persoalan China-Taiwan makin lama makin runyam hingga menjadi perhatian FIFA.
“Israel secara tidak langsung juga menjadi salah satu faktor mundurnya China dari keanggotaan FIFA. China mundur setelah permintaannya agar musuh politik mereka, Taiwan, dikeluarkan dari AFC ditolak FIFA. Alasan FIFA karena mereka tidak mungkin menolak keanggotaan negara yang eksistensinya diakui PBB, sebagaimana alasan FIFA menolak permintaan negara-negara Arab untuk mengusir Israel dari AFC. Dan Taiwan tidak mau hengkang dari zona Asia jika Israel tidak dikeluarkan juga,” tambah McBall.
Pasca-Piala Dunia 1974, perubahan di FIFA pun terjadi. Presiden FIFA yang kaku, Stanley Rous, diganti João Havelange yang lebih menyadari aspirasi negara-negara Afrika dan Asia.
Di sisi lain AFC pada kongresnya tahun 1974 memutuskan untuk mencabut keanggotaan Israel dan Taiwan. Keputusannya dipertegas lagi pada Kongres AFC tahun 1977 setelah mendapat restu FIFA.
“Pada 1974 AFC mendepak Taiwan agar China masuk ke konfederasinya, sebagaimana FIFA kemudian menentukan nasib Israel yang juga didepak AFC, untuk dipindah ke Oseania,” ungkap Jim Riordan dalam The International Politics of Sport in Twentieth Century.
Sejak saat itu, Israel otomatis tak pernah lagi “diajak” berpartisipasi dalam Piala Asia. Mereka “diasingkan” jauh ke Pasifik hingga 1990 ketika Israel akhirnya ditampung UEFA.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar