Luka Lama Konflik Balkan di Gelanggang Sepakbola Eropa
Sepakbola adalah perang tanpa tembakan, kata George Orwell. Aroma dendam dan luka lama perang masih begitu terasa di antara negara-negara Balkan.
JERMAN sebagai tuan rumah Piala Eropa 2024 mengusung slogan “Bersatu di Jantung Eropa” (Vereint im Herzen Europas). Meski nawaitu-nya mulia, kenyataannya di lapangan sungguh berbeda. Noda-noda dari ulah hooligan Inggris hingga luka lama negara-negara pecahan Yugoslavia akibat konflik Balkan, mengotorinya.
Terlepas dari hooliganisme fans fanatik Inggris yang mendendangkan nyanyian provokatif berbau “Perang Dunia II”, sejumlah dampak dari luka lama di antara negara-negara Balkan mengharuskan UEFA bertindak pasca-ulah provokatif pemain hingga fans Albania, Kroasia, dan Serbia. Ulah provokatif yang terjadi namun tak terbatas pada ketiga negara di atas, tapi kemudian melebar hingga mengaitkan negara lain yang gagal lolos ke Piala Eropa 2024: Kosovo dan Makedonia Utara.
Pada laga penyisihan Grup C antara Inggris kontra Serbia di Arena AufSchalke, Gelsenkirchen, 16 Juni 2024, turut hadir jurnalis Kosovo, Arlind Sadiku, meliput laga. Namun kepada fans Serbia, Ia kemudian melakukan gestur tangan membentuk elang berkepala dua yang merupakan simbol bendera Albania. Alhasil selain mendapat ancaman pembunuhan dari sejumlah warganet Serbia, ia juga dicabut izin peliputan resmi di Piala Eropa-nya oleh UEFA.
“Gestur itu memang tidak mencerminkan profesionalisme jurnalis namun saya merasa itu tidak menyinggung siapapun. Orang-orang tidak tahu perasaan saya saat itu karena saya punya trauma akibat perang,” aku Sadiku kepada Reuters, 20 Juni 2024.
Baca juga: Rasis Tak Kunjung Habis
Perang yang dimaksud Sadikut adalah Perang Kosovo (1998-1999), yang juga bagian dari Perang Yugoslavia (1991-2001). Dalam perang itu, Kosovo yang berusaha memerdekakan diri dari Yugoslavia turut didukung persenjataan dari Albania. Pada 2008, Republik Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya dari Serbia yang jadi pewaris Yugoslavia.
Sejak 2008, Kosovo setidaknya sudah mendapatkan pengakuan kedaulatan dari 104 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun hingga kini Serbia tetap mengakui Kosovo sebagai salah satu provinsi otonomi Kosovo dan Metohija. Maka, di laga Inggris kontra Serbia, beberapa fans Serbia membentangkan bendera negerinya dengan menambahkan wilayah Kosovo di dalamnya hingga dibalas gestur tangan provokatif Sadiku.
UEFA juga menindak Serbia. Komisi Kontrol, Etika, dan Disiplin UEFA mengganjar denda 10 ribu euro (setara Rp175,5 juta) kepada federasi sepakbola Serbia, FSS, atas tindakan provokatif fansnya itu.
Kejadian serupa terjadi di laga penyisihan Grup B antara Kroasia melawan Albania di Volksparkstadion, Hamburg, 19 Juni 2024. Hampir di sepanjang laga yang berakhir imbang 2-2 itu, para ultras Albania dan Kroasia satu suara saat melantangkan sorakan-sorakan anti-Makedonia Utara dan anti-Serbia: “Bunuh orang-orang Serbia!”, “Bunuh orang Makedonia!”
Baca juga: Witan Sulaeman dan Mula Sepakbola Serbia
Pun selepas laga itu, striker timnas Albania Mirlind Daku melebur bersama suporternya dan meneriakkan chant-chant provokatif lain via megaphone: “Persetan dengan Makedonia (Utara)!”, “Persetan dengan Serbia!” Alhasil Daku disanksi UEFA berupa larangan tampil di dua pertandingan dan federasi sepakbola Albania FSHF didenda 47,250 euro (setara Rp829 juta). Adapun tindakan UEFA terhadap federasi sepakbola Kroasia HNS masih akan menunggu investigasi lebih lanjut.
Namun, denda dan sanksi apapun sepertinya takkan serta-merta membuat tim atau negara manapun kapok mencampuradukkan sepakbola dengan politik dan konflik. Betapapun FIFA, UEFA atau konfederasi manapun berusaha menggaungkan sebaliknya. Sebab, kenyataannya sejak lama sepakbola tak pernah bisa lepas dari politik dan konflik. Jurnalis dan novelis Inggris George Orwell pun mengibaratkan sepakbola adalah kelanjutan konflik dan perang di lapangan.
“(Sepakbola) olahraga serius yang tidak ada hubungannya dengan fair play. Sepakbola terikat dengan kebencian, kecemburuan, kesombongan, terlepas dari semua aturan dan kenikmatan sadis saat menyaksikan kekerasan: dalam kata lain sepakbola adalah perang tanpa tembakan,” tulis Orwell dalam esainya di majalah Tribune, 14 Desember 1945, “The Sporting Spirit”.
Warisan Konflik Albania-Serbia di Lapangan
Memasuki dekade terakhir abad ke-20, Perang Dingin memang sudah berakhir. Akan tetapi, situasi di Eropa tetap panas karena gejolak di Balkan.
Yugoslavia di ujung perpecahan seiring etnis-etnisnya (Kroasia, Slovenia, Bosnia, Makedonia, Montenego, hingga Kosovo) ingin memerdekakan diri. Praktis hanya Serbia yang masih ingin mempertahankan Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Albania jadi pengecualian karena sudah merdeka pada 1926 dan berubah dari kerajaan menjadi republik sejak 1946.
Perang Yugoslavia pun pecah dipicu kerusuhan di Stadion Maksimir, Zagreb, 13 Mei 1990, antara aparat dengan suporter Dinamo Zagreb yang beretnis Kroasia dan Red Star Belgrade yang beretnis Serbia. Konfliknya lantas bereskalasi menjadi Perang Yugoslavia yang mencakup Perang Kemerdekaan Kroasia (31 Maret 1991-12 November 1995), Perang Kemerdekaan Slovenia (27 Juni-1 Juli 1991), Perang Bosnia (1992-1995), serta Pemberontakan dan Perang Kosovo (1995-1999). Albania terlibat membantu persenjataan Kosovo lantaran di Kosovo terdapat banyak penduduk yang beretnis Albania.
Baca juga: Perang Sepakbola dan Kemerdekaan Kroasia
Alhasil orang-orang Albania pun punya luka yang masih menganga dari konfliknya dengan Serbia. Bila dalam politik Yugoslavia/Serbia memutus hubungan diplomatiknya dengan Albania sebagai dampaknya, konfliknya juga merambah sampai ke gelanggang sepakbola.
“Tim Yugoslavia tak pernah lagi bertanding melawan Albania sejak terakhir kali bertemu di laga Balkan Cup pada 1977. Dua negara tetangga punya sejarah panjang terkait perang, pembantaian serta balasan pembantaiannya. Perang Kosovo 1999 membuat dua negara itu juga berada di ujung konflik yang membawa permusuhan sampai di era modern,” tulis James Montagues dalam artikel “Standard Bearer: How Ismail Morina and his drone shaped Albania’s Euro qualification” dalam buku The Blizzard: The Football Quarterly.
Serbia dan Albania baru berhadapan di lapangan lagi pada babak penyisihan Grup I kualifikasi Piala Eropa 2016 di Partizan Stadium, Belgrade, 14 Oktober 2014. Laga yang mestinya jadi momen rekonsiliasi itu berakhir kacau.
Sedari sebelum kick-off, fans Serbia meneriakkan “Ubij, ubij Šiptara” (Bunuh, bunuh orang Albania). Lantas, seorang pendukung Albania bernama Ismail Morina membalas dengan menerbangkan drone yang mengibarkan bendera Albania. Drone dan bendera itu dirampas pemain Serbia Stefan Mitrović, tetapi ia dilabrak para pemain Albania sehingga berujung perkelahian.
“Karena drone itu terbang ke lapangan, wasit (Martin Atkinson asal Inggris) menunda pertandingan. Insiden bereskalasi setelah para pemain Albania berusaha merebut balik bendera tersebut. Wasit akhirnya memutuskan laga itu dihentikan tanpa diteruskan karena situasi di stadion membuat para pemain Albania yang banyak dari mereka lahir di Kosovo merasa tak aman meneruskan pertandingan,” ungkap Matthew Guschwan dalam Football Fandom in Italy and Beyond: Community Through Media and Performance.
Baca juga: Aroma Dendam Konflik Balkan
Atas insiden itu, Pengadilan Arbitrase Olahraga, CAS, memberi hukuman pada Serbia dan menghadiahi Albania tiga poin. Morina sendiri berhasil kabur tapi ditangkap aparat Albania, kendati pemerintah Albania menolak ekstradisinya ke Serbia.
Kerusuhan juga terjadi di laga penyisihan Grup I berikutnya pada 10 Juli 2015. Bus tim Serbia ditimpuki fans Albania. Setelah di akhir laga Serbia menang 2-0, kericuhan suporter pun terjadi dan itu jadi kali terakhir Serbia dan Albania berada dalam satu lapangan. Namun warisan konfliknya terus terjadi ketika Serbia berhadapan dengan tim-tim yang berisi beberapa pemain keturunan Kosovo dan Albania.
Di Piala Dunia 2018 saat Serbia menghadapi Swiss di laga Grup E, gelandang Swiss keturunan Albania, Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri, melakukan selebrasi gol dengan gestur mendekapkan tangan membentuk elang berkepala dua. Imbasnya, keduanya diganjar sanksi larangan main dua pertandingan.
“Olahraga menyalurkan insting-insting primitif terkait peperangan: mengenakan warna (kebesaran) etnis/ras, memperjuangkan trofi. Di masa lalu perang memang tidak disertai pendukung. Tetapi di masa kini pendukung duduk di tribun untuk menyaksikan pertarungan yang seringkali disertai stress dan naiknya tensi,” tukas Ronald Giphart dan Mark van Vugt dalam Mismatch: How Our Stone Age Brain Deceives Us Every Day.
Baca juga: Kroasia Menepuk Dada Menyapu Luka
Tambahkan komentar
Belum ada komentar