Menepuk Dada Menyapu Luka
Trauma itu tak pernah hilang. Namun Kroasia tetap menatap ke depan hingga bisa berbangga dengan prestasi di Piala Dunia.
SAKIT namun tak berdarah. Tinggal sejengkal lagi menggamit trofi Piala Dunia, Luka Modrić dan rekan-rekan setim Kroasia malah digilas Prancis 4-2 di final yang dimainkan di Stadion Luzhniki, Minggu (15/7/2018). Menyesakkan!
Pun begitu, mereka layak menepuk dada dan pulang dengan kepala tegak karena berhasil melejit hingga ke partai puncak Piala Dunia 2018. Bagi Modrić sang kapten, kebahagiaan bertambah karena dia dianugerahi Golden Ball Award, penghargaan untuk pemain terbaik sepanjang turnamen.
“Tentu saya bangga. Terimakasih juga kepada semua rekan tim karena tanpa mereka, saya takkan menerima award ini. Kami sudah berjuang, mengerahkan segalanya untuk menang, namun kami belum beruntung,” cetus Modrić, di laman FIFA, Senin (15/7/2018).
Kroasia pulang juga dengan hadiah 28 juta dolar Amerika sebagai finalis. Wajar sekembalinya ke Zagreb skuad Kroasia disambut begitu semarak. Pesawat tim langsung dikawal sepasang jet tempur MiG-21 hingga mendarat saat memasuki wilayah negerinya. Tim juga diarak dengan bus beratap terbuka sampai ke Alun-Alun Ban Jelačić.
Mereka patut berbangga. Prestasi terbaik yang pernah dimiliki timnas Kroasia, juara tiga Piala Dunia 1998, berhasil mereka lewati. Kisah keberhasilan mereka akan jadi pembicaraan dunia sepakbola sampai bertahun-tahun mendatang.
Menyapu Kepedihan Masa Lalu
Kroasia dengan populasi sekitar 4,2 juta jiwa merupakan sebuah negeri pecahan Yugoslavia yang baru 27 tahun merdeka. Negeri pemilik situs warisan dunia Kota Tua Dubrovnik itu pernah luluh lantak oleh Perang Kemerdekaan Kroasia (1991-1995). Di perang itu, Kroasia menghadapi Serbia yang juga bagian dari Yugoslavia.
Data Institute for War and Peace Reporting (IWPR) menyebutkan, perang itu menewaskan sekira 15 ribu orang Kroasia. “Namun ahli demografi Kroasia Dražen Živić menyatakan lebih dari 22 ribu jiwa yang tewas,” tulis Blanka Matkovich dalam Croatia and Slovenia at the End and After the Second World War.
Sementara, 200 ribu rakyat Kroasia kehilangan tempat tinggal. Mayoritas dari mereka mengungsi ke luar negeri, seperti yang dialami keluarga Modrić, kapten Kroasia yang kini jadi andalan Real Madrid. Saat perang berkecamuk, Modrić masih berusia enam tahun. Setelah rumahnya dibakar serdadu Serbia, keluarganya mengungsi sampai ke Zadar di pesisir Laut Adriatic.
Ayahnya, Stipe Modrić, harus ikut berjuang di Angkatan Darat Kroasia, sementara kakeknya dibunuh serdadu paramiliter Serbia. Memori tentang kenangan getir itu masih tersimpan di sudut ingatan Modric hingga sempat diutarakannya di konferensi pers jelang final.
“Saya tak suka kembali mengungkit soal itu. Semuanya sudah jadi masa lalu. Meski tentu saja semua hal itu memengaruhi Anda,” singkapnya, disitat Associated Press, 14 Juli 2018.
Nasib getir turut menimpa Ivan Rakitić, rekan setim Modrić. Keluarga Rakitic bahkan mengungsi sampai ke Swiss. Namun, Rakitić tak melihat kepahitan perang di negerinya dengan mata kepala sendiri. Orangtuanya sudah lebih dulu mengungsi saat Krisis Balkan baru mulai.
Rakitić sendiri lahir di Rheinfelden, Swiss pada 10 Maret 1988. “Masa lalu Kroasia yang saya kenal hanya dari TV dan foto-foto yang pernah ditunjukkan orangtua saya,” tutur Rakitić dalam “The Best Shirt in the World” yang dimuat laman theplayerstribune.com, 21 Juni 2018.
Meski tak mengalaminya, hati Rakitić kecil ikut bergolak jika mendengar orangtuanya berbicara sambil menangis dengan keluarga yang masih tinggal di Kroasia. “Sebagai anak kecil dahulu kala, sulit memahami apa yang terjadi di Balkan. Orangtua saya tak pernah bicara soal perang dan bisa dimengerti kenapa mereka tak ingin mengungkitnya,” lanjut bintang klub Barcelona itu.
Rakitić turut merasakan orangtuanya banyak kehilangan orang-orang terdekat, entah itu sahabat atau kerabat dekat. “Pertamakali saya paham tentang perang, ketika umur lima tahun kala melihat tayangan TV. Saya melihat foto-foto dan video tentang perang dan saya bertanya-tanya: ‘Ini mustahil. Bagaimana ini bisa terjadi?’,” tandasnya.
Meski kisah masa lalu Modrić dan Rakitić hanya seujung kuku dari pengalaman pahit yang dialami para pilar timnas Kroasia semasa Perang Kemerdekaan, mereka berhasil bangkit. “Kenangan itu membuat kami jadi orang-orang yang gigih sebagai sebuah bangsa,” kata Modrić.
Baca juga:
Perang Sepakbola dan Kemerdekaan Kroasia
Aroma Dendam Konflik Balkan
Di Balik Sepakbola di Lapangan Merah
Final Piala Dunia Berujung Gempita dan Prahara
Tambahkan komentar
Belum ada komentar