Lima Penjegal Raksasa Piala Dunia
Dari Korea Utara hingga Maroko. Mereka tim-tim yang disepelekan yang justru jadi batu sandungan bagi para favorit juara.
BELUM rampung putaran penyisihan grup, Piala Dunia 2022 Qatar sudah menyuguhkan banyak kejutan. Terlepas dari sejumlah kontroversi yang mengitarinya, gelaran kali ini meneguhkan bahwa prediksi yang mengunggulkan tim-tim raksasa sama sekali tak bisa jadi acuan.
Arab Saudi, Jepang, dan Maroko membuktikan bahwa pandangan miring terhadap mereka tidak menghalangi ketiganya untuk membuktikan diri sebagai bukan tim penggembira semata. Tim Saudi yang berada di Grup C bersama Argentina, Polandia, dan Meksiko, berhasil memecundangi tim favorit juara Argentina, 2-1, di laga pembuka grup pada 22 November 2022.
“Kami sangat senang jika mereka melupakan kami dan menganggap kami tim terkecil. Di Piala Dunia selalu ada kejutan dan itu mentalitas yang kami miliki,” kata pelatih Saudi yang juga pernah menukangi Maroko (2016-2019), Hervé Renard, kepada Euro Foot, dikutip SBS Sport, 25 November 2022.
Baca juga: Si Kulit Bundar di Tanah Saudi
Walau kemudian dipukul Polandia 2-0 empat hari berselang, Saudi masih berpeluang lolos asalkan menang di laga terakhir kontra Meksiko pada 30 November.
Setelah Saudi, Jepang juga membuat kejutan besar di laga pembuka Grup E. Menghadapi Jerman yang gencar mengkritik penyelenggara terkait isu LGBTQ+, “Samurai Biru” (julukan Timnas Jepang) berhasil “menghukum” Jerman 2-1 di Khalifa International Stadium, 23 November 2022.
Kendati senasib dengan Saudi, Jepang keok 0-1 dari Kosta Rika di laga kedua lima hari berselang, kans Jepang masih terbuka lebar untuk lolos ke perdelapan final asalkan menang pada laga atas Spanyol pada 1 Desember 2022 mendatang. Atau, Jepang imbang namun di partai lain Jerman kalah atau imbang saat meladeni Kosta Rika.
Terakhir, Maroko juga menjegal jalan Belgia di laga kedua Grup F. Di laga pembuka grup, Hakim Ziyech cs. memang harus puas berbagi poin usai hasil imbang 0-0 dengan Kroasia pada 23 November. Namun di laga kedua di Al Thumama Stadium, Maroko sukses jadi batu sandungan Belgia dengan skuad generasi emasnya usai menang 2-0. Maroko sangat berpeluang lolos jika di laga terakhir sanggup mengulang perolehan poin sempurna kontra Kanada pada 1 Desember.
Baca juga: Maroko Dulu Menjegal, Kini Gagal
Jika begitu skemanya, Maroko akan mengulang cerita indah mereka lebih dari tiga dekade silam di Piala Dunia 1986. Maroko tampil nothing to lose kala terundi di Grup F bersama tim kuat Inggris, Portugal, dan Polandia. Namun tanpa diduga, Maroko menjungkir-balikkan prediksi banyak orang dengan keluar sebagai juara grup dan lolos ke babak berikutnya. Usai menahan imbang Inggris dan Polandia dengan skor masing-masing 0-0, di laga terakhir Maroko membekap Portugal 3-1. Sayang perjalanan Maroko berakhir di babak 16 besar setelah kalah 0-1 dari Jerman Barat.
Itu membuktikan bahwa tim-tim besar macam Argentina, Brasil, Inggris, Spanyol, Jerman, Italia, Belanda, dan Prancis tak selamanya bisa melenggang dengan mudah. Skuad bertabur bintang kerap jadi rujukan di atas kertas. Namun kemudian mereka juga tak jarang terjegal oleh tim-tim underdog yang jadi batu sandungan.
Sebelum Saudi, Jepang, dan Maroko di Piala Dunia 2022, setidaknya ada lima tim di empat perhelatan Piala Dunia yang berhasil membuat kejutan besar dari yang mulanya dipandang sebelah mata. Berikut rangkumannya:
Piala Dunia 1966: Korea Utara
Perang Dingin sedang panas-panasnya pada 1960-an. Politik menjalar sampai ke dunia olahraga. Gara-gara Timnas Korea Utara (Korut) ikut pesta olahraga Ganefo (Games of the New Emerging Forces) 1963 di Jakarta, mereka dicoret dari kualifikasi cabang sepakbola Olimpiade 1964 oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC). Padahal, Chollima (julukan Timnas Korut) yang dilatih Kim Gun-nam sedang on fire di Asia.
“Korea Utara yang belum pernah bertemu Korea Selatan (Korsel) di panggung internasional, merupakan kekuatan sepakbola Asia baru yang punya rekor 29 kemenangan dengan hanya satu kali kalah di arena internasional sebelum Piala Dunia,” tulis Gwang Ok dan Park Kyong-ho dalam “Cultural Evolution and Idelogy in Korean Soccer: Sport and Nationalism” yang termaktub dalam buku Sport and Nationalism in Asia: Power, Politics and Identity.
Akan tetapi, Korut membayar kekecewaan itu di putaran final Piala Dunia 1966. Korut memang diuntungkan oleh tim-tim Afrika –kecuali Afrika Selatan (Afsel) yang dikucilkan negara-negara Afrika lain gegara sistem apartheid– yang memboikot event-nya. Para anggota CAF (Konfederasi Sepakbola Afrika) menuntut satu spot dari FIFA ketimbang ikut playoff lagi dan diadu dengan tim dari Zona Asia atau Oseania.
Baca juga: Medan Laga Korea Utara dalam Sepakbola
Meski begitu, bukan berarti Korut lolos tanpa berpeluh keringat. Di babak playoff, Korut mesti meladeni Australia, Afsel, dan Korsel. Namun lantaran Korsel mundur karena masalah dana dan Afsel dicoret karena akhirnya disanksi FIFA, Korut tinggal menghadapi Australia. Korut sukses dua kali menang, 6-1 dan 3-1. Modal utama Pak Doo-ik dkk. yakni kekuatan fisik ala militer para pemainnya.
“Tak seperti saudara mereka di Seoul (Korsel) yang fokus pada kerjasama tim dan skill, sepakbola Pyongyang (Korut) mengandalkan kekuatan fisik yang sudah dibangun sejak lama,” sambung Gwang dan Park.
Di Piala Dunia 1966, Korut tergabung bersama tim-tim kuat di Grup 4: Chile, Italia, dan Uni Soviet. Di laga perdana, Korut memang dilibas 0-3 oleh Soviet. Namun Korut bangkit di laga kedua dengan menahan Chile 1-1, dan menutup fase grup dengan kemenangan mengejutkan 1-0 atas Italia lewat gol Doo-ik.
Baca juga: Kegagalan Italia Lolos ke Piala Dunia
Bukan hanya mengubah anggapan warga Inggris dan Barat pada umumnya tentang Korut, kemenangan itu mengejutkan dunia sepakbola internasional. Pasalnya, Italia sang dua kali juara dunia (1934 dan 1938) yang diperkuat bintangbintang seperti Giacinto Facchetti, Sandro Mazzola, dan Gianni Rivera dibuat mati kutu oleh Korut dan pulang lebih awal di fase grup.
Korut pun mencatatkan sejarah sebagai tim Asia pertama yang mampu lolos fase grup. Namun, kemudian langkah Korut dihentikan Portugal dengan Eusébio-nya lewat laga sengit perempatfinal yang berakhir 5-3.
“Pak Doo-ik yang berusia 31 tahun dan merupakan dokter gigi dan hanya bermain sepakbola di waktu luangnya, membawa Korea Utara ke babak kedua, di mana belum ada tim Asia manapun yang mampu mencapainya. Walau kemudian Portugal yang melangkah ke semifinal dengan skor kemenangan 5-3. Setidaknya tim Korea bisa pulang ke Pyongyang dengan kejayaan. Hingga hari ini skuad itu dipuja sebagai para pahlawan terhebat dalam sejarah Korea Utara,” tulis Fernando Fiore dalam The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World.
Piala Dunia 1982: Aljazair
Seperti halnya tim-tim Asia yang acap diremehkan, tim-tim dari Afrika setali tiga uang. Termasuk Aljazair saat mentas di Piala Dunia 1982. Tetapi nyaris tiada yang menduga, Aljazair nyatanya mampu bikin tim favorit Jerman Barat dengan skuad menterengnya –seperti Paul Breitner, Karl-Heinz Rummenigge, Uli Stielike, dan Lothar Matthäus– menelan pil getir kekalahan.
Aljazair yang kala itu ditukangi duet pelatih lokal, Mahieddine Khalef dan Rachid Mekhloufi, membawa skuad dengan mayoritas dari klub-klub lokal. Hanya tujuh pemain yang berkarier di klub papan tengah Eropa, di antaranya Nourredinne Kourichi (Girondins Bordeaux), Djamel Zidane (KV Kortrijk), Mustapha Dahleb (Paris Saint-Germain), Faouzi Mansouri (Montpellier HSC), dan Djamel Tlemçani (Stade de Reims).
Baca juga: Bintang Sepakbola Maroko-Prancis yang Dilupakan
Aljazair lolos ke Piala Dunia 1982 di Spanyol sebagai debutan dan bersama Kamerun sebagai dua wakil CAF. Di Piala Afrika 1982 atau dua bulan jelang Piala Dunia, Aljazair tampil mengecewakan dengan gagal mengulang atau mencatatkan hasil lebih baik dari runner-up Piala Afrika 1980. Peluangnya untuk lolos fase grup di Piala Dunia 1982 pun kecil lantaran tergabung di Grup 2 bersama Jerman Barat, Austria, dan Chile. Namun, tim berjuluk “Rubah Gurun Sahara” itu punya motivasi lebih untuk memberi kebanggaan pada negerinya yang baru dua dekade merdeka.
“Selain musik, sepakbola menjadi aspek yang fundamental bagi generasi mudanya. Gairah terhadap sepakbola yang memuncak pada Piala Dunia 1982 menjadi bukti seberapa jauh sepakbola menjadi bagian integral dari kultur yang baru. Pasca-1962, pemerintah mengatur sistem sepakbola di mana setiap kota punya timnya sendiri hingga akhirnya sepakbola menyebar sampai dimainkan di jalan-jalan dan menjadi obsesi nasional, diikuti sorotan besar oleh pers radio dan televisi,” ungkap Martin Evans dan John Phillips dalam Algeria: Anger of the Dispossessed.
Motivasi itu dibawa Dahleb dkk. saat melakoni laga pembuka grup kontra Jerman Barat. Jelas Jerman Barat –yang jadi jawara Piala Dunia 1954 dan 1974– lebih difavoritkan. Pelatih Jerman Barat Jupp Derwell bahkan sampai sesumbar: “Jika kami tak mengalahkan Aljazair, kami akan pulang dengan keretaapi berikutnya. Bila kami kalah, saya akan melemparkan diri saya ke Laut Mediterania.”
Baca juga: Maroko dan Piala Dunia
Toh, Aljazair tak gentar. Memanfaatkan keangkuhan lawan, Aljazair tampil bak kesetanan dengan memberi perlawanan sengit. Estadio El Molinón di kota Gijón pun jadi saksi bisu bagaimana dua gol yang disarangkan Rabah Madjer di menit ke-54 dan Lakhdar Belloumi di menit ke-68 mengunci skor kemenangan 2-1 atas Jerman Barat yang hanya mampu membalas sebutir gol lewat Rummenigge di menit ke-67.
“Pertandingan seru yang disiarkan secara langsung di Aljazair itu meletupkan euforia. Ribuan massa tumpah-ruah di jalan-jalan melakukan selebrasi dengan mengibarkan bendera dan membunyikan klakson mobil sampai dini hari. Meski beberapa hari kemudian euforia mereka dilukai Austria dan Jerman Barat,” lanjut Evans dan Phillips.
Di laga berikutnya, Aljazair keok 0-2 dari Austria tapi mampu bangkit lagi dengan menang tipis atas Chile, 3-2. Dari tiga laga, Aljazair berpeluang lolos dengan perolehan empat poin, sama dengan Austria, hanya berbeda selisih gol. Namun sial baginya, Austria dan Jerman Barat yang berhadapan di laga terakhir bermain mata.
Di situlah terjadi “Disgrace of Gijón” kata media-media Inggris alias “Pakta Non-Agresi Gijón” kata media Jerman dan Austria. Kedua tim bertetangga itu “main sabun”. Sangat kuat dugaan, keduanya bersepakat agar setidaknya Jerman menang dengan tidak lebih dari dua gol. Hasilnya, di Estadion El Molinón, Jerman sekadar mencetak sebiji gol lewat Horst Hrubesch.
Aljazair yang kalah selisih gol pun harus merelakan diri sebagai runner-up grup di bawah Austria. Publik Aljazair mengecam keras dan memprotes pada FIFA, sementara pihak Jerman tutup telinga. “Kami lolos dan itu yang paling penting,” tandas playmaker Matthäus.
Piala Dunia 1990: Kamerun
Sebagai juara bertahan, Argentina datang ke Piala Dunia 1990 di Italia dengan kepercayaan diri tinggi. Tim yang dibesut Carlos Bilardo itu dihimpun dari para maestro lapangan hijau macam Claudio Caniggia, Jorge Burruchaga, Oscar Rugeri, Abel Balbo, dan sang megabintang Diego Armando Maradona.
“Maradona kembali untuk yang ketiga kalinya di Piala Dunia dan tengah menikmati masa kejayaannya. Mereka favorit juara bersama Jerman Barat, Inggris, Belanda, dan Brasil,” tulis Fiore.
Maka, tim macam Kamerun seolah bukan tandingan Tim Tango. Kamerun yang diasuh pelatih asal Uni Soviet Valery Nepomnyashchy datang dengan sejumlah pemain mudanya. Pemain veteran Roger Milla yang sudah memasuki karier senjanya pun ikut diberangkatkan hanya karena permintaan pemerintah.
“Tuan (Menpora, Joseph) Fofé menyambangi kamp dan bilang bahwa Presiden meminta saya mengikutsertakan Milla di skuad untuk mencegah gejolak besar di dalam negeri. Katanya, tuntutannya juga datang dari rakyat Kamerun,” kenang Nepomnyashchy di laman FIFA, 23 November 2015.
Baca juga: Anomali Kamerun yang Menggegerkan Dunia
Kamerun tergabung di Grup B bersama Argentina, Rumania, dan Uni Soviet. Andy Mitten dalam The Rough Guide to Cult Football mencatat, tiada satu pun yang memprediksi Kamerun bakal lolos ke babak 16 besar. Bandar taruhan bahkan hanya memberi peluang Kamerun 500-1 dan bakal jadi tim pelengkap belaka.
Namun, di lapangan Kamerun berhasil menyingkirkan anggapan miring terhadapnya. Kamerun menumbangkan kejumawaan Argentina di Stadion San Siro, 8 Juni 1990.
“Pada latihan terakhir pra-pertandingan, kami memiliki video latihan Argentina berdurasi 15 menit. Para pemain kami melihat bahwa Maradona dan para pemain bintang lainnya sangat santai dan bercanda. Para pemain kami menganggap hal itu sebagai penghinaan. Bahwa Argentina tak menghormati mereka. Jadi kami memutuskan memaksimalkan kondisi fisik sebaik mungkin,” kata kiper Kamerun Thomas N’Kono, dikutip Mikhail Yokhin dalam “The Indomitability of Lions” yang tertuang dalam buku The Blizzard: The Football Quarterly.
Baca juga: Diego Maradona dalam Kenangan
Kerja keras N’Kono dan para pemain bertahannya tak sia-sia. Barisan tengah dan depan Kamerun sukses bikin Maradona dkk. gigit jari. Memanfaatkan umpan tendangan bebas Emmanuel Kundé di menit ke-67, tandukan François Omam-Biyik sukses merobek gawang Argentina yang dikawal Nery Alberto Pumpido. Skor 1-0 itu lestari di papan skor tanpa bisa diubah para pemain Argentina hingga laga berakhir.
Di laga kedua pun Kamerun mempertahankan kegemilangannya dengan mengalahkan Rumania 2-1 meski kemudian dibantai 0-4 oleh Uni Soviet. Kamerun tetap lolos sebagai juara Grup B. Pun di babak 16 besar, Kamerun masih digdaya mengalahkan Kolombia, 2-1.
Di perempatfinal, Kamerun membuat Inggris kewalahan. Saling jebol gawang lawan terjadi hingga akhirnya gawang Kamerun dijebol striker Gary Lineker yang mengunci skor 3-2 untuk Inggris.
Piala Dunia 2002: Senegal dan Korea Selatan
Senegal dan Korea Selatan (Korsel) mencuri perhatian publik sepakbola dunia di Piala Dunia 2002 yang merupakan Piala Dunia pertama di Asia dan pertama yang menampilkan dua tuan rumah: Jepang dan Korsel. Baik Senegal yang debutan dari Afrika maupun tim “Negeri Ginseng” menorehkan kejutan sekaligus mencetak sejarah besarnya masing-masing.
Senegal yang diasuh Bruno Metsu asal Prancis datang sebagai runner-up Piala Afrika 2002. Skuadnya berisi mayoritas pemain berkarier di Liga Prancis, seperti Aliou Cissé (Montpellier HSC), Khalilou Fadiga (AJ Auxerre), serta Papa Bouba Diop dan El Hadji Diouf (RC Lens). Meski demikian, Senegal yang berada di Grup A bersama Uruguay, Denmark, dan sang juara bertahan Prancis tetap dimarjinalkan.
“Semua menjagokan Prancis yang timnya diperkuat para bintang seperti Thierry Henry, David Trezeguet, dan Liliam Thuram. Belum lagi mereka punya lini pertahanan terbaik. Meski superstar Zinedine Zidane duduk di bangku cadangan karena cedera paha, sang juara bertahan itu tetap jadi tim yang paling difavoritkan di antara 32 peserta,” tulis Les Krantz dalam Dark Horses & Underdogs: The Greatest Sports Upsets of All Time.
Namun, Senegal yang dipertemukan dengan Prancis yang dibesut Roger Lemerre di laga pembuka grup, tampil agresif. Permainan Senegal sama sekali tak mencerminkan tim inferior. Bahkan, di menit ke-30 Senegal mencetak gol ke gawang Prancis yang dikawal Fabien Barthez lewat serangan balik cepat Bouba Diop. Skor 1-0 itu bertahan hingga laga bubar.
“Dengan mengonsentrasikan lima pemain di lini tengah, kolega saya Metsu menciptakan sebuah rencana yang bagus. Secara individu dan kolektif kami tak mampu menghasilkan solusi apapun. Senegal bermain lebih baik dari kami,” kenang Lemerre, dilansir The Guardian, 16 Oktober 2013.
Berkebalikan dari Prancis yang kehilangan muka lantaran mesti angkat koper duluan, Senegal lolos ke 16 besar setelah di laga kedua dan ketiga mengimbangi Denmark (1-1) dan Uruguay (3-3). Senegal terus melaju, di perdelapan final sukses memulangkan Swedia, 3-2. Langkahnya baru berhenti di perempatfinal ketika Turki mengalahkannya dengan skor 1-0.
Baca juga: Sepakbola Jepang dan Indonesia
Korsel sang tuan rumah tak kalah menyita perhatian. Skuad Korsel yang dibesut Guus Hiddink asal Belanda diperkuat oleh mayoritas pemain asal klub-klub lokal. Hanya dua pemain yang merantau di klub Eropa, yakni Seol Ki-hyeon (SC Anderlecht/Belgia) dan Ahn Jung-hwan (AC Perugia/Italia). Label mereka boleh saja tuan rumah, tapi sama sekali tak diunggulkan kala terundi di Grup D bersama Amerika Serikat (AS), Polandia, dan Portugal.
Walau begitu, dukungan penuh publik Korsel rupanya jadi kekuatan tersendiri. Stadion tak pernah lengang saat Korsel tampil, suntikan semangat publik sendiri sangat berarti buat tim Korsel yang menang 2-0 di laga pembuka grup kontra Polandia, menahan imbang AS dengan skor 1-1, hingga sukses menjungkalkan Portugal 1-0 di laga terakhir untuk lolos ke babak 16 besar sebagai juara grup.
Kegemilangan Korsel di fase grup belum tiba pada puncaknya. Makin demam sepakbola publiknya, makin menggila penampilan timnasnya. Di perdelapan final, Korsel sukses memecundangi salah satu favorit juara, Italia, dengan skor 2-1. Saking marahnya publik Italia, klub Perugia sampai memutus kontrak Ahn Jung-hwan yang jadi biang keladi kekalahan Gli Azzurri.
“Saya tidak sudi membayar gaji buat seseorang yang menghancurkan sepakbola Italia,” kata Presiden Perugia, Luciano Gaucci, dikutip David Arscott dalam The World Cup: A Very Peculiar History.
Baca juga: Kala Arab Saudi Memesona di Piala Dunia
Bukan hanya Italia, Spanyol yang juga raksasa langganan Piala Dunia juga jadi korban Korsel. Di perempatfinal, duel keduanya alot. Dua kali waktu normal dan dua kali babak tambahan bertahan tanpa gol. “Dewi Fortuna” memainkan perannya kala Korsel memasuki babak adu penalti. Kemenangan 5-3 menjadi tiket Korsel ke semifinal.
Kegemilangan Korsel baru terhenti di semifinal di tangan Jerman. Striker Michael Ballack mencetak gol yang tak mampu dibalas Korsel sampai pengujung laga. Korsel harus puas jadi semifinalis setelah kalah tipis, 0-1.
Capaian itu patut dibanggakan publik Korsel maupun Asia. Pasalnya, tim dari Asia pun mampu bicara banyak di event yang sebelumnya didominasi para raksasa Amerika Latin dan Eropa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar