Larbi Benbarek, Bintang Sepakbola Prancis yang Dilupakan
Berjuluk “Kaki Tuhan” dan disebut Pelé sebagai dewanya sepakbola, nama Larbi Benbarek tenggelam seiring pergantian zaman.
SUATU hari yang cerah di bulan September 1992. Abdelkader Larbi Ben M’barek alias Larbi Benbarek (diperankan Mohamed Khashla) baru selesai mendirikan salat di kediamannya. Tak lama kemudian, Hassan (Abdelhamid Qarqouri) sahabatnya mengajaknya ke Stade Mohammed V di Kasablanka, Maroko untuk menyaksikan laga timnas Maroko.
Namun sesampainya di tujuan, Larbi ditolak masuk. Ia tetap dilarang masuk ke stadion ketika menunjukkan selembar kartu pas berlogo FIFA.
Penolakan itu jadi kali terakhir Larbi menengok stadion terbesar Maroko itu lantaran seminggu kemudian, pada 16 September 1992, Larbi mengembuskan nafas terakhirnya.
Prolog film Larbi: Ou le destin d’un grand footballeur (2011) garapan sineas Driss Mrini itu dengan gamblang menggambarkan figur seberpengaruh Larbi Benbarek begitu cepat dilupakan. Tidak hanya dalam ingatan publik Prancis, negeri tempat Benbarek berkarier hingga bersinar di masa muda, namun juga di negeri kelahirannya, Maroko.
Baca juga: Karier Sepakbola Erdogan Penuh Tanda Tanya
Nama Larbi Benbarek memang terbilang asing bagi penikmat sepakbola era modern. Maklum, pesepakbola muslim yang pernah menjadi bagian dari timnas Prancis itu melanglang buana di Eropa pada 1930-an hingga 1950-an. Namanya tenggelam oleh sederet nama bintang yang terus bermunculan di era-era setelahnya. Terlebih setelah era Zinedine Zidane pada 1990-an dan Paul Pogba pada masa kini, yang sama-sama mempersembahkan trofi Piala Dunia kepada Prancis.
Padahal, Zidane, Pogba, Karim Benzema, hingga Adil Rami merupakan penyambung tongkat estafet dari peran yang dimainkan Benbarek. Meski prestasi yang ditorehkan Benbarek tak sebaik bintang-bintang penerusnya, Benbarek peletak fondasi kiprah peranakan Afrika Utara sebagai tulang punggung di timnas Prancis yang diakui dunia.
Bermain dengan Sandal
Sejatinya, sejak 1936 timnas Prancis sudah punya anggota pesepakbola muslim imigran seperti Ali Benouna dan Benbarek. Namun, bintang yang paling kondang saat itu ialah Benbarek.
Benbarek lahir di Casablanca pada 16 Juni 1914. Saat dia lahir, Maroko masih terbagi dua, antara di bawah kolonialisme Prancis dan protektorat Spanyol. Casablanca bersama Marrakesh jadi kota besar yang dikuasai Prancis.
Benbarek yang datang dari keluarga miskin di pinggiran Casablanca sudah menjadi yatim sejak kecil. Satu-satunya kesenangan yang bisa dirasakannya ialah main sepakbola di jalan dengan bertelanjang kaki sebagaimana anak-anak sebayanya di lingkungannya. Sepatu bola masih jadi barang mewah bagi si yatim itu.
Baca juga: Ring Kehidupan Legenda Tinju Max Schmeling
Benbarek berkawan baik dengan Marcel Cerdan yang kelak jadi petinju besar Prancis. Diungkapkan C. R. Pennell dalam Morocco Since 1830: A History, Banbarek bahkan nyaris menggeluti tinju yang tengah ditekuni Cerdan.
“Tinju jadi alternatif (selain sepakbola) untuk melarikan diri dari kemiskinan. Sahabat Benbarek muda adalah Marcel Cerdan, putra dari seorang tukang daging di Casablanca. Pada 1939, Cerdan menjadi juara dunia kelas menengah,” tulis Pennell.
Di usia 16 tahun, Benbarek memilih sepakbola sebagai jalan hidupnya. Seraya bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah perusahaan minyak, Benbarek mulai merajut peruntungan di lapangan bersama klub amatir FC Ouatane de Casablanca. Pada 1930, ia akhirnya main di klub profesional L’Idéal Club de Casablanca.
“Larbi Benbarek tak pernah mengenakan sepatu sepakbola, jadi dia memainkan laga profesional perdananya mengenakan sandal. Saat itu (debutnya) melawan klub raksasa US Marocaine, tiga kali juara Piala Afrika Utara. Benbarek mencetak dua gol,” ungkap Matt Rendell dalam Olympic Gangster.
Baca juga: Enam Muslim Pionir di Sepakbola Prancis
Perlahan tapi pasti Benbarek mulai ditakuti banyak pemain bertahan. Bermodal stamina prima, driblling apik, gaya permainan ala Brasil, dan postur tinggi, Benbarek dikenal sebagai gelandang serang yang trengginas. Pasca-mengantarkan L’Idéal menjadi finalis Coupe du Maroc de Football 1935, Benbarek direkrut US Marocaine.
Di tahun itu juga Benbarek mulai sering dipanggil tim Maroko IX, pendahulu timnas Maroko. Saat itu Maroko masih jadi jajahan Prancis dan belum punya timnas. Tiga kali Benbarek mengumpulkan caps di laga-laga persahabatan antara tim-tim serupa di Aljazair dan Tunisia.
Titik balik kariernya terjadi usai membawa US Marocaine menjuarai Liga Maroko dan kampiun Championnat d’Afrique du Nord de Football (Piala Afrika Utara) 1937. Kecemerlangannya menarik minat klub Prancis Olympique Marseille yang kemudian meminangnya dengan mahar 44 ribu franc alias 50 kali lipat gajinya kala jadi petugas kebersihan.
Dewa Sepakbola
Benbarek langsung membuktikan diri sebagai pemain paling menonjol di antara pemain-pemain dalam gelombang pertama imigran muslim di sepakbola Prancis, 1930-an.
“Benbarek langsung memberi kesan luar biasa di Prancis. Dia mencetak dua gol pada debutnya di Liga Prancis dan dalam empat bulan berikutnya, sebagai warga Prancis, ia terpilih mewakili Les Bleus (julukan Timnas Prancis),” tulis sejarawan International Centre for Sports History & Culture De Monfort University Matt Taylor, di laman lcfc.com, 20 April 2020.
Debut Benbarek di timnas Prancis terjadi pada laga persahabatan kontra Italia di Napoli, 4 Desember 1938. Sayangnya, Prancis kalah 0-1. Namun dalam laga persahabatan kontra Polandia, 22 Januari 1939, Benbareck mencetak hattrick pertamanya dan Prancis menang 4-0.
Kiprah manis Benbarek namun harus terhenti hingga 1945 karena Perang Dunia II pecah. Benbarek pun pulang ke Maroko selama perang. Ia kembali ke Prancis usai perang untuk memperkuat Stade Français yang ditukangi Helenio Herrera.
Baca juga: Warisan Masa Lalu Atletico Madrid
Tiga tahun berselang kala Herrera pindah ke klub Spanyol Atlético Madrid, Benbarek turut dibawa Herrera sehingga menjadi pemain kulit hitam pertama di Liga Spanyol. Kepindahan Benbarek menggegerkan publik Prancis yang tak rela ditinggal pergi Benbarek.
“Para jurnalis di media-medianya mengecam dalam suratkabar-suratkabar: ‘Jual (monumen) Arc de Triomphe atau jual Menara Eiffel, tetapi jangan jual Benbarek!’” sambung Rendell.
Namun angka 17 juta franc, seperti diungkapkan Mickael Grall dalam Red Card!: 20 Broken Destinies of Legendary Footballers, (sumber lain menyebut 8 juta franc) sebagai rekor mahar Atlético untuk Stade Français terlalu mubazir untuk ditolak. Jadilah Benbarek melebarkan sayapnya ke Semenanjung Iberia sebagai pemain bintang berkulit hitam pertama di Liga Spanyol. Jika kelak legenda Argentina Diego Maradona dijuluki “Si Tangan Tuhan”, Benbarek lebih dulu disematkan julukan Pie de Dio alias “Kaki Tuhan” oleh publik Madrid, mengingat keunggulan postur di bagian kakinya yang jenjang.
Keputusan Herrera mendatangkan Benbarek ke klub rival sekota Real Madrid itu tak keliru meski harus mengeluarkan mahar 17 juta franc –sumber lain menyebut 8 juta franc– sehingga kepindahan Benbarek mencetak rekor. Sepanjang sepakterjangnya di 113 laga bersama Atlético (1948-1953), Benbarek menorehkan 56 gol. Ia jadi pahlawan kala Atletico menyabet dua gelar liga berturut-turut (1950 dan 1951) dan satu titel Copa Eva Duarte (kini Supercopa de España) pada 1950.
Baca juga: Adiós Lorenzo Sanz!
Namun, kebintangan Benbarek gagal diuji di Piala Dunia. Prancis mundur dari keikutsertaan di Piala Dunia 1950. Sementara di Piala Dunia 1954, penampilan Benbarek mulai menurun seiring bertambahnya usia. Benbarek memainkan laga terakhirnya bersama timnas Prancis di laga persahabatan kontra Jerman Barat di Hannover, 16 Oktober 1954.
Benbarek kembali ke Prancis pada 1953 dan bermain untuk Marseille. Senjakala kariernya dihabiskan Benbarek di USM Bel-Abbes (Aljazair) sebagai pemain-pelatih pada 1955 dan Rabat FUS pada 1957. Di tahun yang sama usai pensiun, ia dipercaya menukangi timnas Maroko yang lahir tak lama setelah merdeka dari Prancis.
Baca juga: Sepakbola, Puasa, dan Corona
Sejak saat itulah nama Benbarek mulai dilupakan. Namun, ia tidak pernah dilupakan oleh Pelé, bintang legendaris asal Brasil. Dalam sebuah pertemuan di tahun 1957, Pelé, yang baru mulai mendaki kebintangannya, mengungkapkan kekagumannya pada Benbarek.
“Bagi banyak pemain yang pernah melawannya, Larbi Benbarek tak sekadar pesepakbola Afrika hebat pertama: dialah yang terhebat. Pelé disebutkan sampai menyembahnya: ‘Jika saya raja sepakbola, maka dia dewanya.’ Tetapi di awal 1990-an hidupnya terisolasi dan terlupakan, bahkan di Maroko, di mana jasadnya saja baru ditemukan seminggu setelah ia meninggal (16 September 1992),” tulis Rendell.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar