Tendangan dari Bauru
Tentang kerja keras Pele di arena sepakbola dunia. Kurang utuh menggambarkan sang legenda.
Dico atau Edson Arantes do Nascimento, lebih dikenal dengan Pele (diperankan Kevin de Paula Rosa), senewen sampai sakit perut. Ribuan pasang mata ada di tempatnya kini berada. Lensa kamera juruwarta tersebar di berbagai sudut dekatnya. Dia belum percaya beberapa saat ke depan bakal menjadi salah satu perhatian utama ribuan pasang mata tadi. Jutaan rakyat Brazil di negerinya juga bakal memperhatikannya.
Hari itu, 15 Juni 1958, Piala Dunia Swedia menggelar pertandingan antara Brazil, negeri asal Dico, menghadapi pemegang medali emas sepakbola Olimpiade Melbourne 1956 Uni Soviet. Meski keterpilihannya dalam starting lineup lebih karena striker Jose Altafini Mazzola (Diego Bonita) cedera, Dico belum yakin akhirnya bisa merumput di event olahraga terakbar sejagat itu.
Dalam sekejap, semua bisa terjadi dan berubah. Adegan pembuka film itu pun berganti scene suasana kota Bauru, Brazil pada 16 Juli 1950 (flashback). Penduduk kota, yang mayoritas miskin, antusias menunggu datangnya siaran radio yang akan menyiarkan pertandingan tersebut. Hari itu, kesebelasan negeri mereka selaku tuan rumah Piala Dunia 1950 mesti mengalahkan Uruguay untuk bisa merebut trofi Jules Rimet. Euforia terjadi merebak ke seantero kota.
Dico kecil (Leonardo Lima Carvalho) dan beberapa temannya yang sedang asik menjajakan dagangan bahkan larut dalam euforia. Mereka langsung berlarian memainkan si kulit bundar di tanah lapang hingga gang-gang sempit di lingkungan tempat tinggal mereka. Saat malam tiba, pria dewasa berkerumun di sebuah bar untuk mengikuti siaran radio pertandingan final, anak-anak ikut nimbrung secara sembunyi-sembunyi.
Sewaktu para pria dewasa menangis lantaran tim kesayangan mereka kalah, Dico ikut menangis. Dia berpapasan dengan sang ayah, Dondinho (Seu Jorge), di perjalanan pulang. Kesedihan menjalari keduanya. “Aku akan menangkan Piala Dunia untuk Brasil, Ayah. Aku janji,” kata Dico menghibur ayahnya.
Sejak itu, Dico makin keras berusaha untuk mewujudkan mimpinya. Ayahnya dengan sabar terus membimbing. Celeste (Mariana Nunes) ibunya terus mendorong. Kemiskinan tak menyurutkan semangatnya, pun perlakuan diskriminatif dari anak-anak kulit putih klub The Kings.
Sutradara amat baik menghadirkan kontradiksi sosial dalam berbagai scene di film. Di sebuah turnamen lokal, Dico dan teman-temannya dari kawasan kumuh, yang bahkan tak mampu membeli sepatu, berhasil membuktikan diri bisa berprestasi. Dico membuktikan diri sebagai pemain berbakat, motor tim apik, dan membawa timnya ke final melawan The Kings. Meski akhirnya kalah, Dico menyumbang mayoritas gol timnya. Dia mempertontonkan permainan cantik sekaligus melestarikan style ginga Brazil yang kala itu mulai ditinggalkan lantaran dianggap primitif.
Pemain legendaris Waldemar de Brito (Milton Goncalves), yang kepincut permainan cantik Dico, menawarkannya bergabung ke klub Santos. Dari sanalah bintang Dico kian benderang kendati dia sempat ingin kabur lantaran tak kuat. Dico tak pernah menyangka bakal terpilih ke dalam squad pro klub itu dalam waktu singkat. Yang jauh lebih tak disangkanya, dia terpilih menjadi bagian squad timnas Brazil ke Piala Dunia 1958.
Scene-scene keikutsertaan Brazil di Piala Dunia 1958 bergantian dengan suasana batin Dico dan ketegangan rakyat Brazil, yang terus mengikuti perkembangan turnamen dari radio, memenuhi bagian akhir film. Dramatisasi apik dari sutradara mencapai klimak. Hal itu tergambar jelas dari figur Dico.
Dico menjadi sentral lantaran usianya paling muda dalam kejuaraan itu. Demam panggung membuat bebannya kian berat. Lebih dramatis lagi, dia datang masih dengan cedera lutut. Debutnya dia lewati dengan tampil buruk, membuatnya hampir frustrasi. Beruntung orang-orang di sekelilingnya memberinya dukungan, terutama Pelatih Vincente Feola (Vincent D’Onofrio) dan Mazzola. Mereka berhasil membangkitkan kepercayaan diri Dico sehingga bisa “berkata” lain. Bintang bernama Pele pun lahir.
Dramatisasi Satu Sisi
Sutradara Jeff dan Michael Zimbalist menghadirkan banyak kontradiksi dalam drama perjalanan sang bintang. Nama Pele, salah satunya. Sang bintang tak pernah tahu apa arti kata “Pele”. Panggilan itu mulanya merupakan ejekan dari para pemain klub The Kings terhadapnya karena salah menyebut nama kiper Vasco da Gamma Bile’ menjadi Pele. Baru setelah Brazil menjuarai Piala Dunia 1958, ketika orang-orang terdekatnya menyarankan agar dia menggunakan nama Pele, dia mulai tak tersinggung bila disapa Pele.
Kontradiksi lain tampak pada kondisi sosial penduduk kota Bauru, provinsi Sao Paolo. Pele dan anak-anak kulit hitam lain amat miskin. Mereka memainkan sepakbola mulai dari tanah lapang hingga gang-gang sempit di antara rerumahan kumuh, dengan bola yang seringkali menggunakan apa saja. Turnamen lokal yang diikuti Pele dan teman-temannya menggambarkan dengan jelas kontradiksi itu. Selain dari penampilan fisik, kontradiksi tersirat dari keteguhan Pele memainkan sepakbola dengan style ginga –terinspirasi dari capoeira. Itu merupakan sebuah perlawanan. Sejak kekalahan Brazil di final Piala Dunia 1950, ginga ditinggalkan karena dianggap sebagai biang kekalahan. Terutama kelas menengah ke atas, menganggap ginga sebagai primitif. Mereka lebih memilih style konservatif ala Eropa.
Bagi sebagian orang, terutama Waldemar, pemilihan style konservatif justru merupakan biang kemunduran Brazil. Gaya itu tak cocok dipaksakan kepada orang-orang Brazil. Jatidiri sepakbola Brazil adalah ginga. Hal itu menjadi salah satu pesan penting yang hendak disampaikan sutradara.
Pele menjadi bagian dari penganut ginga. Melalui karakternya, sutradara tak hanya hendak menyampaikan pesan perjuangan bocah berkulit hitam semata, tapi juga pesan bahwa bocah tanggung itulah yang menjaga kelestarian jatidiri sepakbola Brazil dan memenangkan pertandingan melawan gaya konservatif yang diimpor dari Eropa.
Sutradara Zimbalist bersaudara amat mahir membuat dramatisasi. Kontradiksi-kontradiksi kehidupan sosial-ekonomi Pele dan keluarganya beserta orang-orang miskin lain di Bauru yang hadir dalam banyak scene, amat menyentuh dan sesekali menggugah semangat perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Perjuangan keras Pele, dengan dukungan kedua orangtuanya dan teman-teman di lingkungannya, berhasil memainkan perasaan penonton.
Hal lain yang patut diacungi jempol, Zimbalist bersaudara apik membumbui alur cerita dengan humor-humor menggelitik. Suasana jadi terasa lebih hidup. Kameo Pele hanya salah satu dari sekian banyak humor yang ada. Zimbalist bersaudara juga tak ingin utuh mengacu pada fakta yang ada. Dramatisasi suasana, yang membuat cerita menjadi lebih “greng”, terjadi terutama pada adegan-adegan dalam pertandingan-pertandingan yang dimainkan Pele.
Namun, Zimbalist terlalu mendewakan Pele. Kehadiran sang bintang dari sisi positifnya semata membuat para kritikus mengategorikan biopic ini cenderung menjadi hagiografis. Sisi-sisi kelam Pele, kecuali kemiskinan, tak sedikit pun hadir. Kekurangan lain terjadi pada scene-scene di tiap pertandingan yang dimainkan Pele. Alih-alih menghadirkan pertandingan sealamiah mungkin, sehingga kepiawaian Pele bisa terlihat utuh, Zimbalist justru menghadirkan adegan-adegan pertandingan kaku dan kartun. Pele dan rekan-rekannya laiknya kesebelasan dalam film kartun Kapten Tsubatsa, yang dalam tiap permainannya bak dewa. Dramatisasi dari pertandingan-pertandingan itu justru hadir dari suasana hati dan tingkah-polah penonton dan orang-orang yang bukan pemain.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar