Jalan Panjang Piala Dunia Kaum Hawa
Piala Dunia Wanita, bentuk pengakuan FIFA terhadap perjuangan puluhan tahun.
PERIODE musim panas dalam sepakbola dunia tahun ini masih diramaikan isu-isu transfer, soal AC Milan yang disanksi financial fair play hingga tak bisa ikut Europa League, atau Copa América yang sudah memasuki fase semifinal. Sayang, isu-isu itu nyaris tak memberi tempat pada pemberitaan tentang Piala Dunia-nya kaum hawa.
Piala Dunia Wanita FIFA tahun ini yang dihelat di Prancis, 7 Juni-7 Juli 2019, sudah edisi kedelapan. Pekan ini juga sudah masuk ke babak semifinal. Nama-nama bidadari lapangan hijau seperti Valentina Giacinti, Megan Rapinoe, Steph Houghton, Sakina Karchaoui tetap masih asing di telinga.
Kalau pemain sekaliber mereka masih asing di telinga, apalagi srikandi-srikandi lapangan hijau tanah air. Padahal, sepakbola di tanah air sempat digemari para kaum hawa sejak akhir 1960-an. Putri Priangan menjadi klub sepakbola wanita pertama di Indonesia. Namun, dari masa ke masa sepakbola putri Indonesia justru berjalan mundur dan di era “4.0”, para remaja putri lebih kenal dan suka futsal ketimbang sepakbola wanita.
“Kita kan memang di (budaya, red.) Timur, pasti ada pro dan kontranya. Padahal seragam (tim bola) enggak ketat juga sebenarnya. Hanya celana pendek. Namanya juga main bola. Dulu saya sih tak peduli orang mau bilang apa. Apa salahnya aktivitas olahraga,” kata eks kiper timnas putri 1980-an Mutia Datau kepada Historia.
Perhatian di era milenial sebatas berdirinya Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASBWI) yang baru lahir Desember 2017, dengan ketuanya Papat Yunisal, legenda sepakbola putri 1980-an. Timnas putri sempat berlaga di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang. Hasilnya, babak belur.
Baca juga: Ikon Sepakbola Putri Indonesia
“Sepakbola wanita ini lebih banyak kendalanya, baik di dalam maupun di luar lapangan. Ya karena sebelumnya tidak ada kejelasan agenda PSSI melalui Asprov. Apalagi kalau ganti kepemimpinan (PSSI). Perhatian dan kebijakan soal sepakbola wanita ikut terganti,” tutur Papat saat berbincang dengan Historia pada 2017 sebelum jadi ketua ASBWI.
Lika-liku Piala Dunia Wanita
Sejatinya, kaum hawa sudah terlibat aktivitas tendang bola seiring dengan sejarah sepakbola itu sendiri. Mengutip situs FIFA, permainan Cuju (Ts’u-chü) di China diakui sebagai “leluhurnya” sepakbola dan wanita tercatat sudah ikut memainkan olahraga yang awalnya hanya untuk prajurit itu sejak era Dinasti Han (25-220 Masehi).
Klub pertama wanita berasal dari Inggris, bernama Mrs Graham’s XI. Tim Tate dalam Girls with Balls: The Secret History of Women’s Football mengungkap, tim yang lahir pada 1881 itu turut mewakili Skotlandia melawan sekumpulan wanita Inggris di Stadion Easter Road, Edinburgh, Skotlandia pada 9 Mei 1881. Laga itu disebut-sebut sebagai laga internasional pertama sepakbola wanita.
Seiring zaman, sepakbola modern yang dimainkan kaum hawa menyebar ke pojok-pojok Eropa, sampai ke Asia, Oseania, Amerika, hingga Afrika. Turnamen-turnamen regional tumbuh bak jamur di musim hujan. Namun, baru pada 1991 FIFA menyediakan wadah setara dengan sepakbola kaum Adam yang sudah punya Piala Dunia semenjak 1930. Pada 1991 itulah Piala Dunia Wanita dihelat untuk pertamakalinya di China.
Baca juga: Totalitas Srikandi Lapangan Hijau
Eksistensi Piala Dunia Wanita itupun buah dari tekanan sana-sini sekaligus respon terhadap dicabutnya sanksi larangan para wanita bermain bola di sejumlah negara macam Australia (1960), Jerman (1970), Inggris (1971), Belanda (1971), dan Brasil (1979). Betapapun terlambat, perhelatan itu merupakan bentuk pengakuan.
Sebelum Piala Dunia Wanita 1991, sudah lebih dulu digelar turnamen sejenis yang dihelat pihak-pihak yang lebih perhatian. Coppa del Mondo/Martini Rosso Cup di Italia pada 6-15 Juli 1970, misalnya. Menurut C. D. Fisher dalam tulisannya, “The Face of Football Bodies: ‘Resisting Market Enclosure and Imagining Another (Football) Future’” yang terangkum dalam Seven Faces of Women’s Sport, Piala Dunia tak resmi itu digelar Federation of Independent European Female Football (FIEFF).
FIEFF sendiri merupakan badan sepakbola wanita independen Eropa yang berdiri pada 1969 dan berbasis di Italia. Ia semacam UEFA-nya sepakbola wanita. “Pesertanya baru delapan negara yang kebanyakan dari Eropa. Hanya Meksiko yang mewakili Benua Amerika. Denmark keluar jadi pemenangnya setelah mengalahkan Italia 2-0 pada laga final di Stadio Communale, Turin,” tulis Fisher.
Baca juga: Sepakbola Kaum Hawa Merentang Masa
Perwakilan Asia, Afrika, dan Oseania belum menunjukkan batang hidung di gelaran serupa setahun berselang. FIEFF kembali menyokong Piala Dunia Wanita di Meksiko, Campeonato de Fútbol Femenil, 15 Agustus-5 September 1971. Enam tim berpartisipasi dalam turnamen, termasuk Argentina yang jadi peserta tambahan. Denmark kembali jadi “Ratu Sepakbola Wanita Dunia” dengan menghajar Meksiko 3-0 di final.
Dua perhelatan itu jadi bukti bahwa kaum hawa juga butuh diberi wadah oleh FIFA. Namun FIFA bersikeras tak mengakui. FIFA justru mengakui laga persahabatan Prancis vs Belanda di Stade Auguste Damette, Hazerbrouck, 17 April 1971 sebagai laga internasional timnas wanita pertama. Padahal, sebelum itu sudah banyak laga-laga antarnegara. Laga Inggris vs Skotlandia pada 1881 bahkan terjadi jauh sebelum laga Prancis-Belgia itu.
“Kami saat itu masih amatir, bukan pemain profesional. Salah satu kawan kami, pemain sayap Michele Wolf, terpaksa tak bisa ikut. Dia harus tetap bekerja di toko demi bisa cari makan. Dia menolak kehilangan pekerjaan demi pertandingan sepakbola,” kenang Ghislaine Royer-Souef, kiper tim wanita Prancis, saat reuni dengan kawan-kawan setimya di Nice, kepada The New York Times, 25 Juni 2019.
Royer-Souef dkk. juga tampil di Piala Dunia tak resmi Meksiko 1971. Lewat prakarsa Federazione Femminile Italiana Gioco Calcio (FFIGC), keberlanjutan turnamen terus berlangsung setiap tahun di Italia dalam turnamen Mundialito. Empat edisinya masing-masing dimenangi Italia (1984, 1986) dan Inggris (1985, 1988). Gelaran Mundialito juga mulai diikuti tambahan tim-tim dari Asia seperti China dan Jepang, serta Amerika Serikat (AS) mewakili Benua Amerika.
Baca juga: Main Bola Bukan untuk Pamer Paha
Benua Asia juga tergelitik bikin perhelatan serupa. Pada 1978, induk organisasi sepakbola Taiwan (CTFA) menggelar Women’s World Invitation Tournament, memperebutkan Piala Chunghua. Karena tidak diakui FIFA, pesertanya tak hanya timnas, melainkan juga klub.
Digelar tiga tahun sekali, edisi pertamanya dimenangkan klub Reims FF (Prancis) dan HJK (Finlandia) sebagai juara bersama. Klub Jerman Bergisch Gladbach dua kali juara, 1981 dan 1984, dan Taiwan baru bisa juara di edisi terakhir 1987.
Kesuksesan serangkaian turnamen di atas lantas memunculkan banyak desakan dan tekanan untuk FIFA. Badan sepakbola dunia itu baru bisa menjawab dengan merestui turnamen pendahuluan, FIFA Women’s Invitation Tournament pada 1988.
“Pembicaraan soal itu sudah sejak 1983 dan makin intens pada 1984, di mana (Presiden FIFA, João) Havelange sudah bicara soal rencana Piala Dunia Wanita ke media. Pembahasannya makin serius pada Kongres FIFA 1986 hingga diputuskan turnamen invitasi digelar di China pada 1988,” tulis Jean Williams dalam A Beautiful Game: International Perspectives on Women’s Football.
Dua belas tim dari enam konfederasi diundang dalam perhelatan invitasi 1-12 Juni 1988 itu. Thailand selaku wakil Asia Tenggara juga diikutsertakan dalam turnamen itu. Norwegia keluar sebagai juara setelah melibas Swedia 1-0 di final yang dimainkan di Stadion Tianhe, Guangzhou.
Setelah dianggap sukses, barulah FIFA menggelar Piala Dunia Wanita resmi pada 16-30 November 1991. China kembali dipercaya menjadi tuan rumah. Dua belas tim dari enam konfederasi, termasuk Selandia Baru yang mewakili zona Oseania, berpartisipasi dalam turnamen setelah lolos dari tahap kualifikasi yang diikuti 48 tim.
Baca juga: Tendang Bola Bisa Hilang Keperawanan?
Piala Dunia Wanita 1991 itu dimenangi AS usai mengalahkan Norwegia, 2-1 di final. “Kami bermain di (Piala Dunia tak resmi) 1971 dan butuh waktu 20 tahun untuk melihat Piala Dunia yang resmi. Saya senang dengan perubahan yang terjadi. Hanya saja saya masih tak bisa memahami perasaan tentang mengapa butuh waktu begitu lama,” ujar Jocelyne Ratignier, pemain timnas wanita Prancis 1971.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar