Gempa Gagal Halangi Chile Jadi Tuan Rumah Piala Dunia
Meski diluluhlantakkan gempa dahsyat, Chile berhasil menghelat turnamen olahraga terpopuler sejagat.
RAKYAT Chile bahagia. Kongres FIFA di Lisbon, Portugal pada 10 Juni 1956 memutuskan Chile menjadi tuan rumah Piala Dunia 1962.
Dalam kongres itu, banyak delegasi meragukan kemampuan Chile yang dipimpin Carlos Dittborn (petinggi induk organisasi sepakbola Chile) sebenarnya. Sebagai negara dunia ketiga, Chile tak hanya masih lamban dalam laju perekonomian tapi juga minim modal. “Faktanya, Chile masih miskin, belum berkembang, kekurangan teknologi komunikasi dan fasilitas olahraganya masih minim,” ungkap Fernando Fiore dalam The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World. Dibandingkan Argentina sebagai pesaing kuat, infrastruktur olahraga Chile kalah jauh.
Namun, Dittborn tetap optimis. “Karena kami tak memiliki apa-apa, kami akan melakukan segalanya,” ujar Dittborn kala meyakinkan para delegasi lain, sebagaimana dikutip David Goldblatt dalam The Ball is Round. Chile akhirnya menjadi pemenang dengan 32 suara mengalahkan Argentina yang kebagian 11 suara. Empat belas suara lainnya abstain.
Berkah sekaligus tantangan besar itu disambut suka cita dan rasa tanggung jawab pemerintah dan rakyat Chile. Segala upaya mereka lakukan demi mewujudkan mimpi.
Namun belum lagi hasil upaya itu terlihat bentuknya, gempa dahsyat menghantam negeri itu pada 22 Mei 1960. “Gran Terremoto de Valdivia”, sebutan rakyat Chile untuk gempa berkekuatan 9,6 Skala Richter itu, guncangannya menjangkau hingga Filipina yang terpisah Samudra Pasifik. Gempa itu juga memicu erupsi Gunung Puyehue-Cordon Caulle di Rio Bueno dan memicu tanah longsor di selatan Pegunungan Andes serta menimbulkan tsunami hingga ke Filipina. Di Chile, tsunami mencapai ketinggian 25 meter.
Total korban tewas di berbagai negara nyaris mencapai 6000 orang, dua juta orang di Chile langsung menjadi tunawisma. Kerugian materil ditaksir mencapai enam milyar dolar Amerika. Terlepas dari kehancuran berbagai infrastruktur, empat dari delapan stadion yang dipersiapkan Chile sejak 1956 ikut luluh-lantak. “Sebagian besar wilayah Chile menjadi reruntuhan. Penetapan Chile (sebagai tuan rumah Piala Dunia 1962) terancam dibatalkan. Namun FIFA memutuskan Chile tetap jadi tuan rumah di tengah kehancuran,” tulis Clemente A Lisi dalam A History of World Cup: 1930-2014.
Meski amat terpukul oleh bencana itu, rakyat Chile pantang menyerah. “Kami akan melakukan segalanya semampu kami untuk membangun kembali,” kata Dittborn kepada segenap elemen masyarakat.
Pembangunan kembali sejumlah stadion berjalan siang-malam. Dananya datang dari berbagai pihak, termasuk swasta. Braden Copper Company, perusahaan tambang tembaga Amerika Serikat yang beroperasi di Chile sejak awal abad ke-20, bahkan mempersilakan stadionnya di Rancagua dijadikan salah satu venue Piala Dunia.
Dari delapan stadion yang direncakan bakal dijadikan venue, hanya empat stadion yang akhirnya bisa digunakan: Estadio Nacional, Estado Sausalito, Estadio Rancagua, dan Estadio Arica. Publik Chile juga kembali dirundung musibah. “Pada April 1962, sebulan sebelum turnamen (Piala Dunia –red.) dimulai, Dittborn meninggal karena serangan jantung di usia 38 tahun. Segenap Chile berduka. Stadion di Arica dekat perbatasan Chile-Peru, (lalu) menggunakan namanya sebagai penghormatan,” tulis Lisi.
Bak keajaiban, Chile mampu menyiapkan empat stadion dan beragam infrastruktur penunjang untuk Piala Dunia sebelum waktunya terlepas dari berbagai kekurangan di sana-sini.
Namun, lagi-lagi rintangan menghampiri Chile. Dua wartawan Italia, Antonio Ghiredelli dan Corrado Pizzinelli, yang datang dua bulan jelang Piala Dunia membuat rakyat Chile meradang lewat tulisan-tulisan mereka. Ghirelli menulis bahwa FIFA salah memberi kepercayaan kepada Chile sebagai tuan rumah. Dalam artikel yang ditulis di Corriere della Sera itu Ghirelli juga menyertakan penggambaran keburukan fasilitas komunikasi hingga transportasi. Sedangkan Pizzinelli, lewat tulisannya di La Nazione, menyerang sisi sosial-ekonomi Chile dengan memasukkan masalah prostitusi, kekurangan gizi, dan kemiskinan di Chile.
Artikel-artikel itu lantas diterjemahkan dan diterbitkan oleh suratkabar lokal El Mercurio dan Clarin de Santiago. Sontak, publik Chile berang. Gelombang anti-Italia pun muncul. Seorang wartawan Argentina kena getahnya ketika sedang di bar. Dia dipukuli gegara dikira orang Italia. Sementara, Ghirelli dan Pizzinelli buru-buru angkat kaki dari Chile.
Saat Piala Dunia berjalan, para pemain timnas Chile melampiaskan kemarahan mereka dengan mengintimidasi pemain-pemain Italia. Kedua negara bertemu dalam pertandingan penyisihan Grup 2 pada 2 Juni 1962 di Estadio Nacional. Alih-alih menampilkan permainan cantik, pertandingan yang oleh publik Chile dijuluki sebagai “Battle of Santiago” itu justru lebih tepat disebut pertempuran. Pelanggaran kasar dan brutal para pemain Chile bertebaran.
Hal itu menimbulkan perlawanan brutal dari para pemain Gli Azzuri (julukan timnas Italia). Alhasil, wasit Ken Aston asal Inggris mengkartumerah dua pemain Italia, Mario David dan Giorgio Ferrini. Namun, anehnya Aston tak mengeluarkan satu pun kartu kepada para pemain Chile. Keributan pun pecah, sampai petugas keamanan turun tangan membantu wasit melerai para pemain. “Saya bukan menjadi wasit pertandingan. Saya justru menjadi pengadil dalam manuver-manuver militer,” kenang Aston sebagaimana dikutip Johnny Morgan dalam For the Love of Football: A Companion.
Meski menang 2-0, Chile akhirnya tak berhasil mencapai puncak turnamen itu. Brasil menjadi juara turnamen itu setelah mengalahkan Cekoslowakia 3-1 di final.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar