Badminton is Coming Home!
Olahraga lintas peradaban yang bentuk modernnya dipopulerkan di India. Lama jadi penggembira, India kini menjawarainya.
INDIA mencetak sejarah dalam olahraga bulutangkis. Kendati bukan unggulan, tim putra India untuk kali pertama sukses membawa pulang Thomas Cup usai memecundangi tim Indonesia di partai puncak dengan angka mencolok, 3-0, yang dilangsungkan di Impact Arena Nonthaburi, Thailand pada Minggu, 15 Mei 2022.
Publik India pun geger. Negeri yang lebih kondang dengan olahraga kriket itu sekian lama telah menanti gelar perdana turnamen beregu. Disebutkan, grup WhatsApp tim Thomas India berganti nama grup menjadi “It’s coming home” –mengacu pada tempat kelahiran bulutangkis modern; sebagaimana semboyan Inggris ketika mendambakan kembali Piala Dunia.
“Srikanth (Kidambi) dan saya sejak awal memutuskan untuk membuat pertemuan para pemain di mana kami semua berkesempatan bicara. Beberapa pemain kami pendiam dan dalam olahraga individu, ego bisa cepat memperburuk keadaan. Tetapi itu sudah jadi masa lalu. (Di Thomas Cup) tidak ada poin ranking, hadiah uang, hanya ada rasa lapar akan gelar. Itu yang ingin dicapai oleh semua dan itulah yang mendorong semangat kami,” kata pebulutangkis senior tim India Prannoy Haseena Sunil kepada BBC, Selasa (17/5/2022).
Baca juga: Thomas Cup, Piala Dunia-nya Bulutangkis
Oleh karenanya, juara Thomas Cup 2022 jadi gelar turnamen bergengsi beregu pertama India. Ia sekaligus jadi momen pendobrak dominasi Indonesia dan China.
Sebagai tempat kelahiran olahraga bulutangkis modern, India bukan tak pernah mengecap gelar. Hanya saja India mencetak prestasi itu melulu lewat turnamen-turnamen individu. Semisal yang dilakukan Prakash Padukone, pebulutangkis India pertama yang menyandang rangking nomor satu dunia pada 1980, kala menjuarai All England 1980. Pemain tunggal putra yang acap bikin repot Rudy Hartono, Liem Swie King, hingga Icuk Sugiarto itu juga punya gelar juara Piala Dunia BWF 1981 dan lima gelar turnamen terbuka lain di era 1980-an. Pullela Gopichand, salah satu anak asuh Padukone, mengikutinya jadi pemain tunggal putra India yang menjawarai All England 2001.
Di sektor putri pun India tak kehabisan bakat. Saina Nehwal melesat jadi pebulutangkis tunggal putri India pertama yang memijak ranking satu dunia pada 2015. Diikuti Pusarla Venkata Sindhu yang menempati nomor dua dunia pada 2017 dengan aneka medali di berbagai turnamen terbuka.
Baca juga: Indonesia dan Kejayaan All England
Namun, seperti yang diungkapkan Prannoy, ego lebih sering mendominasi para pemain India jika bicara turnamen beregu di masa lampau. Di Thomas Cup, sejak debutnya pada 1952, capaian tertinggi India hanya putaran final (sejenis semifinal) Thomas Cup 1955 yang baru diikuti lima negara peserta.
Di turnamen Uber Cup, sejatinya India sudah berpartisipasi di gelaran perdananya pada 1957. Capaian terbaiknya yakni perempat final Uber Cup 2010 dan selebihnya acap jadi “bulan-bulanan” China, India, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan Denmark.
Di Sudirman Cup pun setali tiga uang. Sejak debutnya pada 1991, India melulu jadi “tim penggembira”. Prestasi terbaiknya hanya memijak perempat final pada 2011 dan 2017.
Baca juga: Sudirman Bukan Sembarang Piala
Tepok Bulu Segala Penjuru
Sebelum disempurnakan dan populer di India, beberapa bukti muasal bulutangkis ditemukan di berbagai penjuru peradaban. Selain di peradaban China, ia ditemukan di Yunani hingga Amerika Utara sejak dua milenium lampau. Namun, versinya berbeda-beda dan bentuk permainannya baru sekadar permainan tepok bulu dengan kaki atau tangan telanjang hingga sudah menggunakan alat semacam raket di abad ke-17.
Semua bermula dari benda berbentuk kerucut dari gabus atau benda pemberat lain yang berhias bulu unggas yang sekarang dikenal sebagai shuttlecock atau kok sebagai pusat permainannya. Hingga kini, belum ada catatan kapan dan di mana kok tercipta.
“Beberapa sejarawan hanya meyakini shuttlecock sudah eksis hampir 2000 tahun sebelum olahraga bulutangkis diciptakan. Benda berbentuk mirip kok sudah digunakan sebagai permainan di Asia dan Eropa menjelang milenium modern pertama,” tulis sejarawan cum jurnalis David Asa Schwartz dalam Modern Sports Around the World: History, Geography, and Sociology.
Baca juga: Menguber Uber Cup
Lewat serial dokumenter Badminton Unlimited: Discovering Badminton’s Origins, pada Oktober 2019 Federasi Bulutangkis Dunia BWF menyajikan versinya sendiri. Menurutnya, permainan menggunakan mainan mirip kok sudah eksis di antara kalangan anak-anak di China pada 2.500 tahun lalu. Permainannya disebut ti jianzi, diambil dari kata ti yang artinya tendang dan jianzi yang artinya kok kecil.
Ti jianzi diyakini merupakan evolusi dari cùjú yang merupakan cikal-bakal sepakbola. Oleh karenanya, permainan ti jianzi sejak abad ke-5 SM (beberapa sumber menyebut abad ke-1 SM) dimainkan dengan kaki atau tangan yang men-juggling kok dengan tujuan jangan sampai menyentuh tanah.
Baca juga: Permainan Kabaddi India dalam Lorong Zaman
Permainan itu menyebar dan populer di Jepang, India, Siam (kini Thailand), hingga Sumeria dan Yunani. Dalam peradaban Yunani Kuno, permainan tepok bulu itu sudah tercatat menggunakan tongkat pemukul dari kayu.
“Kebanyakan sejarawan percaya permainannya dimulai di Yunani Kuno sekitar 2000 tahun lalu. Dimainkan mirip ‘battledore and shuttlecock’, di mana para pemainnya memukul kok dengan tongkat pemukul dan memastikan koknya bertahan di udara selama mungkin. Beberapa sejarawan lain juga mengklaim permainan itu eksis di (peradaban) Mesir Kuno,” ungkap Pranav Prakash dalam Badminton: Shuttling Across the Net.
Pada sekitar abad ke-3, permainan serupa juga ditemukan di Amerika Utara. Mengutip Jean-Yves Giullain dalm Badminton: An Illustrated History From Ancient Pastime to Olympic Sport, suku pribumi Anasazi yang mendiami sebuah wilayah yang kini mencakup Negara Bagian New Mexico dan Arizona, Amerika Serikat semasa tahun 200-1300 M, memainkannya dengan tangan setiap pesta panen jagung.
“Suku Pima di Arizona menyebutnya kwaitusikiwut. Permainan dengan kok yang terbuat dari bonggol jagung dengan tiga helai bulu. Suku Zuni di wilayah New Mexico juga memainkannya yang disebut po-ke-an. Meski mirip dengan permainan di Eropa, kaum Zuni mengklaim permainan kok itu berkembang dari tradisi di antara suku-suku pribumi Amerika,” tulis C. Richard King dalam Native Americans in Sports.
Baca juga: Kabaddi di Panggung Olimpiade Nazi
Permainan tepok bulu kemudian berkembang dengan raket pada Abad Pertengahan dan mulai populer di kalangan bangsawan Eropa Barat, terutama Prancis dan Inggris. Orang Prancis menyebutnya jeu de volant, sementara lidah orang Inggris menyebutnya battledor and shuttlecock.
“Di Prancis pada zaman Renaissance tercatat Raja François I (1515-1547) terampil memainkannya, walau ia menyebut permainannya dengan coquantin, merujuk dua helai bulu di koknya. Pun di beberapa wilayah lain punya sebutan berbeda, seperti pilvotiau di Campenois, grièche di Anjou, dan picandeau di Lyon,” sambung Guillain.
Permainan itu sudah dimainkan Pangeran Henry di Inggris pada 1603. Hingga abad ke-18, permainan battledore and shuttlecock baru sebagai permainan rekreasi. Karena cuaca dingin, lazimnya permainan itupun hanya dimainkan indoor sehingga jadi salah satu alasan mengapa kaum proletar sedikit yang mengenalnya lantaran hanya bangsawan yang punya bangunan indoor untuk tempat main battledore and shuttlecock.
Pada pertengahan abad ke-19, permainan battledore and shuttlecock mulai menemukan bentuk baku di samping juga mendapat nama baru menjadi “badminton”. Dokumentasi awalnya yakni buklet terbitan pengusaha mainan Isaac Spratt pada 1860, Badminton Battledore, A New Game, dan dalam jurnal The Cornhill Magazine edisi Desember 1863 dengan tajuk “Life in the Country House”.
Baca juga: All England dari Masa ke Masa
Dalam buklet dan jurnal tersebut, permainannya sudah diidentifikasi dengan nama “Badminton”, yang merujuk pada bangunan tempat rekreasi milik Duke of Beaufort, yakni Badminton House di Gloucestershire. Dalam dua catatan itu juga disebutkan bahwa permainan badminton sudah diperlengkap dengan penggunaan garis-garis permainan di lapangan dan net setinggi lima kaki (152 cm) sebagai pemisah masing-masing pemain.
“Faktanya permainan ini memang dimulai di Badminton House tahun 1863 tetapi tidak begitu populer sampai 10 tahun kemudian. Nyaris tidak berkembang sama sekali dan permainan ini dibawa para perwira (Inggris) ke India, di mana di sana malah menjadi sangat populer di antara militer dan pegawai (kolonial),” ujar Geoff Hinder, sejarawan National Badminton Museum Inggris, dalam dokumenter BWF.
Dari India ke Seluruh Dunia
Di kalangan perwira militer dan pegawai British India, permainan badminton sudah terdokumentasi dalam sejumlah arsip dan foto. Para pemainnya, baik lelaki maupun perempuan, tampak sudah memainkannya dengan raket yang terbuat dari rangka bambu dan benang, serta sudah menggunakan garis bidang permainan di atas lapangan rumput. Dokumentasi itu antara lain tersua di sebuah foto di Simla pada 1864 dan 1867, dan di Peshawar pada 1874.
Di era yang sama, kepopuleran badminton meningkat pesat setelah dimainkan para perwira tinggi kulit putih hingga perwira menengah dan rendah dari kaum bumiputera di Poona Sport Club dan barak militer Khadki di kota Poona –membuat badminton di India hingga kini kondang disebut poona.
“Permainannya bermula di India (Poona) dan dibawa kembali ke Inggris, dimodifikasi, dan sekarang jadi salah satu olahraga paling populer di Inggris,” kata Padukone di dokumenter BWF.
Baca juga: Cricket Ala Hitler
Poona dibawa oleh para perwira militer dan pegawai kolonial yang kembali ke Inggris. Poona atau bulutangkis menyebar lebih pesat dari satu dasawarsa sebelumnya di wilayah selatan Inggris. Pasalnya wilayah itu lebih hangat, hingga bisa lebih sering dimainkan di luar ruangan.
Sebermula dari olahraga rekreasi, bulutangkis berevolusi jadi olahraga kompetitif pada 1873. Evolusi itu juga dilengkapi baik dari soal peralatan maupun peraturan-peraturan dan sistem poinnya.
Peraturan baku itu tersebar luas di Inggris via pamflet bertajuk “Pastimes: The Game of Badminton” terbitan 11 Oktober 1873. Apa yang tertulis di pamflet itu merupakan salinan pamflet serupa yang lebih dulu terbit di Kalkuta, India. Aturan-aturan itu disusun perwira Inggris Mayor S.C. Forbes dalam pamflet bertajuk “A Handbook of Badminton, with Rules for Playing the Game” yang diterbitkan Great Eastern Hotel Company Calcutta.
Dalam pamflet tersebut, peraturan bulutangkis sudah disempurnakan dengan aturan garis bidang permainan yang panjangnya 39 kaki dan lebar 20 kaki. Lalu, net ditetapkan setinggi 13 kaki. Adapun permainannya bisa dilakoni dua atau bahkan lebih dari enam pemain.
“Di dalam masing-masing bidang permainan ada garis netral berukuran 20x8 kaki. Shuttlecock-nya tidak boleh jatuh di zona netral ini. Tim pertama yang mencapai 15 poin jadi pemenang. Jika angkanya imbang 13-13, tim bisa memainkan tie-break, di mana tim yang mendulang lima poin pertama jadi pemenangnya,” lanjut Guillain.
Baca juga: Masalah Sepatu Gagalkan India ke Piala Dunia
Aturan baku pertama itu kondang dikenal dengan “Peraturan Kalkuta”. Bulutangkis dengan aturan pertama inilah yang lantas menyebar ke segala penjuru dunia sebagai olahraga kompetitif, meski di seiring perubahan zaman aturan-aturannya mengalami perubahan.
Seperti halnya sepakbola atau olahraga-olahraga modern lain, para kolonialislah yang menyebarkannya ke seantero Afrika, Amerika Selatan, dan Asia, termasuk Indonesia.
Kendati bulutangkis modern berangkat dari India, olahraga tersebut baru mendapat perhatian pada abad berikutnya, yakni dengan diadakannya turnamen resmi.
“India memang pionir dalam perkembangan olahraganya. Akan tetapi turnamen (resmi) pertamanya baru digelar pada 1929 di Punjab. Asosiasi Bulutangkis India (BAI) baru dibentuk kemudian pada 1934 (laman IOC menyebut tahun 1899) dan sebagai pemegang otoritas bulutangkis, BAI mulai memprakarsai turnamen berskala nasional pada 1936,” tulis Jørgen Bagger Kjær dalam “Badminton” yang terhimpun dalam buku Routledge Handbook of Global Sport.
Dua tahun selepas berdirinya federasi yang bermarkas di Kalkuta, BAI masuk ke dalam IBF (Federasi Badminton Internasional/pendahulu BWF). BAI jadi anggota pertama di luar sembilan negara pendiri IBF: Inggris, Kanada, Irlandia, Skotlandia, Wales, Selandia Baru, Belanda, Denmark, dan Prancis.
Baca juga: Public Enemy Bernama Scheele
Menariknya, Kejurnas India sejak gelaran pertamanya hingga 1960 mempersilakan pemain asing untuk turut ambil bagian. Banyak dari pemain asing itu bahkan menggondol gelar juaranya. Selain Chee Choon Keng dari British Malay yang menjuarai tunggal putra pada 1940, ada S.A. Durai (tunggal putra/British Malaya), A.S. Samuel/Chan Kon Leong (ganda putra/British Malaya), Tonny Kristine Ahm (tunggal putri/Denmark), dan Tage Madsen/Suman Deodhar (ganda campuran/Denmark dan India) pada 1947; Erland Kops (tunggal putra/Denmark), dan Cecilia Samuel/Tan Gaik Bee (ganda putri/Malaysia) pada 1959.
Namun, sejak 1960-an bulutangkis India seperti tertinggal dari negara-negara yang lebih “junior”. Aneka prestasi bergengsi justru didominasi China, Malaysia, dan Indonesia.
Bulutangkis India baru menemukan ikonnya tahun 1980-an pada diri Padukone. Di era 1990-an sempat pula muncul idola baru di India, Deepankar Battacharya, Vimal Kumar, dan Madhumita Bisht. Ketiganya jadi bagian dari tim India pertama yang mentas di Olimpiade Barcelona 1992 yang untuk pertamakali mempertandingkan cabang bulutangkis, kendati ketiganya nirgelar.
Maka setelah era Padukone, Gopichand, Nehwal, dan Sindhu, India patut berbangga lantaran pada akhirnya Thomas Cup 2022 sukses dibawa pulang, sekaligus mengukir tinta emas sejarah baru. Tak hanya para atlet India lintas cabang, Perdana Menteri India Narendra Modi pun mengaku terharu atas capaian Prannoy cs.
“Tim bulutangkis India telah mengukir sejarah! Seluruh negeri bersuka cita atas kemenangan India di Thomas Cup! Ucapan selamat dan harapan terbaik bagi tim di masa mendatang. Kemenangan ini akan memotivasi para atlet lainnya di ajang-ajang bergengsi,” kicau Modi di akun Twitter-nya, @narendramodi, Minggu (15/5/2022).
Baca juga: Boikot All England
Tambahkan komentar
Belum ada komentar