All England dari Masa ke Masa
Meski prestisius dan tertua plus selalu melahirkan bintang, All England acapkali disebut-sebut kejuaraan dunia “bayangan”.
PUJIAN tinggi patut dilayangkan untuk Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon. Pasangan ganda putra Indonesia yang menyandang peringkat satu dunia ini berhasil mempertahankan gelar All England pada Minggu, 18 Maret 2018, di Arena Birmingham, Inggris. Kevin/Marcus menang 21-18 dan 21-17 atas pasangan Denmark Mathias Boe/Carsten Mogensen.
All England merupakan turnamen bulutangkis perorangan. Turnamen ini merupakan turnamen resmi tertua di dunia sebagaiana FA Cup (Inggris) di cabang olahraga sepakbola. Berikut fakta-fakta All England dalam angka yang dinukil dari berbagai sumber:
10 Maret 1898
All England dihelat untuk pertamakalinya sebagai turnamen eksebisi, terinspirasi dari sebuah turnamen yang diprakarsai Percy Buckley, sekretaris Guildford Badminton Club, pada 10 Maret 1989 di Guildford Drill Hall. Hajatan nan sukses itu mendorong Badminton Association of England (BAE) – federasi bulutangkis pertama dunia yang berdiri 1893, menggelar event yang lebih akbar setahun setelahnya.
4 April 1899
BAE untuk kali pertama menggelar The Open English Championships di London Scottish Regiment Drill Hall. Semua pesertanya pebulutangkis Inggris. Mereka masih mengenakan busana kasual era itu karena belum ada pakaian olahraga. Para peserta putra mengenakan celana panjang dan peserta putri mengenakan rok panjang.
Di edisi perdana ini, All England mempertandingkan tiga nomor: ganda putra (dimenangi D. Oakes/Stewart Massey), ganda putri (Meriel Lucas/Mary Graeme), dan ganda campuran (D. Oakes/Daisey St. John). All England masih merupakan turnamen kejuaraan dunia “tak resmi”. “Oleh karenanya pemenangnya boleh dikatakan sebagai juara dunia,” tulis Don Paup dalam Skills, Drills & Strategies for Badminton.
1900
Pada edisi kedua, jumlah nomor yang dipertandingkan di All England bertambah dengan masuknya nomor tunggal putra dan putri. Sydney H. Smith menjadi juara tunggal putra pertama, sementara Ethel B. Thompson jadi kampiun pertama tunggal putri. Ethel mengulanginya di edisi 1901.
1902
Di tahun ini, The Open English Championships berganti nama menjadi The All England Championships dan bertahan hingga kini. Venue-nya juga berpindah dari London Scottish Regiment Drill Hall ke Crystal Palace Central Transept. Situs allenglandbadminton.com mencatat bahwa pada edisi 1902, lapangannya diubah dari yang berbentuk mirip jam pasir menjadi persegi panjang yang bertahan sampai sekarang.
1903-1909
All England kembali berpindah lokasi. Dari edisi keempat hingga 1909, All England dimainkan di London’s Rifle Brigades City Headquarters. Di tahun 1903 pula atlet serbabisa George Alan Thomas mengukir prestasi pertamanya di nomor ganda campuran. Hingga 25 tahun berikutnya, Thomas meraih total 21 gelar di berbagai nomor (4 tunggal putra, 9 ganda putra, 8 ganda campuran). Hingga zaman now, Thomas masih memegang rekor pemain tersukses di All England.
1910-1939
Lagi-lagi, All England pindah venue. Dari 1910 sampai 1939, All England dimainkan di The Royal Horticultural Hall, London. Di tahun 1910 juga untuk pertamakalinya muncul juara dari luar Inggris. Adalah Guy Sautter (Swiss), yang berpasangan dengan Dorothy Cundall (Inggris), berhasil menjuarai nomor ganda campuran. Setahun berselang, dan juga di edisi 1913-1914, Guy menjuarai nomor tunggal putra.
Pada edisi 1924, sebuah rekor baru tercipta ketika Kathleen McKane Godfree menyapu bersih gelar di tiga nomor yang diikutinya: tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran. Sedangkan pada edisi 1931, fashion pebulutangkis mulai beralih. Raymond “Bill” White menginspirasi para pebulutangkis lain untuk mengubah gaya busana dari celana panjang ke celana pendek. Adapun di edisi 1938, popularitas All England kian meluas lantaran mulai disiarkan via radio.
1947
All England kembali bergulir setelah terhenti sejak 1939 akibat Perang Dunia II. Tempat penyelenggaraan pun berpindah lagi, kali ini ke Harringay Arena, London Utara. Di tahun ini juga, Herbert Scheele memulai kariernya sebagai wasit hingga kelak jadi wasit kehormatan dan tokoh bulutangkis dunia (Baca: Public Enemy Bernama Scheele).
1949
Malaya mempelopori keikutsertaan negara dari Asia Tenggara di All England. Bahkan, pasangan ganda putranya, Ooi Teik Hock/Teoh Seng Khoon, sukses menjadi juara. Di edisi ini pula Amerika Serikat menorehkan sejarah pertama kesuksesan All England-nya lewat keberhasilan David G. Freeman menjuarai nomor tunggal putra.
1950-1951
Setelah kembali berpindah lokasi ke Empress Hall, Earls Court, London pada 1950, All England untuk kali pertama ditayangkan via siaran televisi pada 1951.
1957-1968
Pada 1957, All England mulai dihelat di Wembley Pool (kini Wembley Arena), London yang terus bertahan hingga 36 tahun berikutnya. Di edisi 1959, Indonesia menorehkan tinta emas pertamanya lewat nomor tunggal putra.
“Tan Joe Hok juara All England 1959, sekaligus mengukuhkan diri sebagai orang Indonesia pertama yang juara pada turnamen yang disebut-sebut kejuaraan dunia bulutangkis,” ujar Broto Happy dalam Baktiku Bagi Indonesia. Di partai puncak bertajuk “All Indonesian Final”, Tan Joe Hok mengalahkan Feerry Sonneville 15-8, 10-15 dan 15-3.
Indonesia kembali membuat rekor di edisi 1968. Rudy Hartono mendunia sebagai juara termuda di usia 18 tahun 7 bulan.
1977-1982
John Player & Son, perusahaan tembakau dan rokok berbasis di Nottingham, Inggris, mempelopori perusahaan yang mensponsori All England (1977). Sedangkan di edisi 1982, China menjalani debutnya dengan menurunkan tujuh pemain. Mereka pulang dengan membawa dua gelar: tunggal putri (Zhang Ailing) dan ganda putri (Lin Ying/Wu Dixi).
Baca juga:
Sepuluh Keluarga di Arena Bulutangkis (Bagian I)
Sepuluh Keluarga di Arena Bulutangkis (Bagian II – Habis)
1984
Yonex, produsen alat olahraga asal Jepang, memulai debutnya sebagai sponsor utama. Posisi itu bertahan hingga 32 tahun berikutnya, menjadikan rekor kerjasama terlama dalam berbagai sejarah olahraga. Rekor ini kembali dipertegas dengan perpanjangan kerjasama baru pada 2015 hingga 2021. “All England adalah turnamen tertua dan paling prestisius di dunia dan kami senang bisa tetap menjadi bagian dari mereka,” cetus Presiden Yonex Ben Yoneyama di situs resmi Yonex, 7 Maret 2014.
1994-2018
Mulai 1994, venue All England pindah dari London ke Birmingham, tepatnya di National Indoor Arena, dan bertahan hingga sekarang. Tragisnya, wakil-wakil Inggris mulai kesulitan juara di “rumah sendiri”. Terakhir wakil mereka juara pada 2005 lewat kemenangan Nathan Robertson/Gail Emms di ganda campuran. Salah satu staf pelatih Inggris kala itu adalah mantan pebulutangkis Indonesia Rexy Mainaky.
Pada 2007, turnamen ini disematkan status “Superseries” oleh BWF (Federasi Bulutangkis Dunia). Empat tahun kemudian, All England naik kelas dengan status “Superseries Premier”. Bagi Indonesia, All England lumbung gelar. Hingga sekarang, Indonesia nyaris tak pernah pulang tanpa gelar. Pada 2016, gelar dipersembahkan ganda campuran Praveen Jordan/Debby Susanto. Sementara pada 2017-2018, ganda putra Marcus/Kevin masih digdaya mempertahankan gelar.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar