Aneka Maskot Copa América (Bagian II – Habis)
Negara tuan rumah seringkali menghadirkan maskotnya untuk mengglobalkan tradisi budayanya. Mengadopsi fauna liar khasnya hingga tanaman pangan.
PERHELATAN Copa América sudah bergulir sejak 1916. Akan tetapi eksistensi maskot yang melengkapi turnamen akbar itu baru hadir tujuh dekade kemudian, yakni dalam Copa América edisi ke-33.
Tercatat sudah ada 15 maskot unik semenjak Copa América 1987 di Argentina hingga 2024 dengan tuan rumah Amerika Serikat –dengan pengecualian Copa América Centenario 2016 yang sekadar jadi turnamen formalitas peringatan 100 tahun. Mulai dari maskot elang bernama Capitán pada Copa América 2024 ini hingga alien bernama Amériko di Copa América 2001.
Umumnya, negara-negara tuan rumah menghadirkan maskot sebagai momen untuk mengenalkan kekhasan tradisi, budaya, dan kekayaan alam masing-masing. Dari penggambaran fauna-fauna liar hingga yang terinspirasi dari tanaman pangan. Berikut lanjutan maskot-maskot itu:
Baca juga: Aneka Maskot Copa América (Bagian I)
Taguá (1999)
Kadang disebut javelina, tak jarang pula pakar fauna menyebut pekari atau babi sigung (Catagonus wagneri) untuk mengidentifikasi mamalia berkuku seperti babi berukuran sedang dari famili Tayassuidae. Fauna unik yang berhabitat di kawasan Gran Chaco itulah yang diangkat Paraguay sebagai maskotnya sebagai tuan rumah Copa América 1999.
Menukil laman resmi Copa América, 7 April 2019, maskot itu dinamai Taguá, berasal dari bahasa lokal masyarakat kawasan Gran Chaco di perbatasan Paraguay, Bolivia, dan Argentina. Fauna liar itu dijadikan maskot oleh penyelenggara sebagai pengingat bahwa fauna itu pernah dinyatakan punah kendati pada 1970 pekari Chaco ditemukan lagi di wilayah Gran Chaco yang masuk dalam wilayah Paraguay.
Maskot Taguá dihadirkan lewat ilustrasi kartun dengan wajah tersenyum. Pakaian yang dikenakannya bermotif bendera Paraguay sebagai identitas tuan rumah. Tangan kiri Taguá melambaikan salam, tangan kanannya menggenggam segelas tereré sebagai minuman khas penduduk Guaraní, dan kaki kirinya memainkan bola sebagai simbol kebahagiaan dalam turnamen akbar sepakbola se-Amerika Selatan itu.
Baca juga: Hajatan Copa América yang Sarat Sejarah
Tatú (1997)
Walaupun trenggiling bergaris sembilan atau trenggiling hidung-panjang (Dasypus novemcinctus) juga ditemukan di Amerika Utara dan Amerika Tengah, mamalia nocturnal itu dijadikan salah satu fauna liar khas Bolivia. Oleh karenanya penggambaran fauna ini dengan ilustrasi kartun dihadirkan Bolivia saat jadi tuan rumah Copa América 1997.
Maskotnya dinamai Tatú, sesuai penyebutan masyarakat Isoseño-Guaraní di Bolivia. Sejak berabad-abad lampau, masyarakat tersebut mendomestikasi fauna liar itu untuk melestarikan sekaligus mengambil manfaat.
“Misalnya untuk obat-obatan, di mana masyarakat Isoseño-Guaraní di Bolivia menggunakan lemak trenggiling (bergaris sembilan) ini untuk mengobati beberapa penyakit, termasuk asma, bronchitis, diare, iritasi mata, dan gigitan ular. Walaupun dalam beberapa waktu fauna ini juga diperjual-belikan, baik hidup atau mati yang utamanya untuk diambil dagingnya,” ungkap W. J. Loughry dan Colleen M. McDonough dalam The Nine-Banded Armadillo: A Natural History.
Bolivia selaku tuan rumah menjadikan Tatú sebagai maskot Copa América 1997 dengan identitas Bolivia. Tatu digambarkan sebagai maskot ceria dengan wajah tersenyum, mengenakan jersey timnas Bolivia di balik cangkangnya, dan memainkan bola dengan kaki kirinya.
Baca juga: Si Gundul dalam Memori
Torito (1995)
Tahun 1995 bukan hanya tahun perayaan buat Uruguay dalam hal sepakbola tapi juga ketahanan pangan. Oleh karenanya saat jadi tuan rumah Copa América 1995, Uruguay menghadirkan sosok banteng ternak (Bos taurus), salah satu ternak unggulannya, sebagai maskotnya.
Torito, begitu maskotnya itu dinamakan, merujuk pada bahasa setempat yang artinya banteng kecil. Ia dihadirkan dengan mengenakan jersey biru timnas Uruguay sebagai awareness dan makna penting dari komoditas ternak di Uruguay sebagai salah satu penyumbang pasokan ternak Amerika Latin pada dunia baik saat produksinya anjlok maupun bangkit.
“Produksi pertumbuhan ternak yang kuat dicapai oleh (negara-negara) Amerika Latin dan Karibia yang merepresentasikan pemulihan sejak situasi anjlok pada 1993. Ekspansi pada 1994 secara signifikan meningkatkan produksinya hingga mencapai pertumbuhan yang luar biasa pada 1995,” ungkap FAO (badan pangan PBB) dalam Agricultural Trade: Entering a New Era? The State of Food and Agriculture.
Baca juga: Nasib Nelangsa Maskot Pertama
Choclito (1993)
Cochlito yang jadi maskot Copa América 1993 di Ekuador bukan sejenis cokelat. Namanya mengadopsi makanan lokal yang berasal dari tanaman pangan khas di negeri tuan rumah, choclo alias jagung manis (Zea mays convar. saccharata var. rugosa).
“Di Ekuador jagung manisnya berbeda dari negara lain karena bulir jagungnya lebih besar dan rasanya lebih manis. Di wilayah utara Ekuador populer disajikan dalam satu choclo (tongkol jagung) utuh atau dijadikan kamcha (jagung yang dikeringkan). Di selatan Ekuador lazimnya disajikan dengan bulir-bulirnya saja untuk diolah menjadi humitas (tamales jagung) atau tostadas de maiz (panekuk jagung),” tulis Tony Perrottet dan Andrew Eames dalam Insight Guide to Ecuador.
Panitia penyelenggara Copa América 1993 ingin berbagi kekhasan budaya kuliner Ekuador dengan menampilkannya sebagai maskot. Mengutip laman resmi Copa América, 7 April 2019, Choclito digambarkan sebagai setongkol jagung utuh sedang mengontrol bola dengan bulir-bulir jagungnya bermotif bendera Ekuador.
Baca juga: Macan Jawa di Final Piala Dunia
Guaso (1991)
Chile sebagai tuan rumah Copa América 1991 benar-benar ingin memanfaatkan momentumnya sebagai penyelenggara yang sukses di mata dunia, terutama FIFA. Pasalnya akibat insiden El Maracanazo, di mana pada 3 September 1989 kiper Roberto Rojas merekayasa cedera akibat lemparan flare dalam laga kualifikasi Piala Dunia 1994 kontra Brasil di Stadion Maracana, Chile disanksi larangan mengikuti lanjutan kualifikasinya.
Oleh karenanya, penyelenggara Copa América 1991 menghadirkan visualisasi karakter tangguh dan kuat koboi penggembala khas Chile sebagai maskotnya. Figurnya digambarkan sedang men-dribble bola dengan desain berteknik arsir dan warna khas bendera Chile.
Maskot itu dinamai Guaso. Namanya merupakan penggabungan sebutan gaucho dalam bahasa Spanyol dan huaso dengan arti serupa dalam dialek masyarakat di Chile Tengah.
“Gaucho lazim dikenal di kawasan Argentina, Uruguay, serta Chile Tengah dan Chile Selatan. Bedanya huaso dengan gaucho adalah huaso biasanya juga terlibat dalam beternak dan bertani. Huaso jadi bagian dari kultur lokal Chile dan menjadi bagian vital dalam parade, pesta, hingga perayaan hari-hari besar,” ungkap Jedrel Mularski dalam Music, Politics, and Nationalism in Latin America: Chile During the Cold War Era.
Baca juga: Skandal Memalukan Chile demi Piala Dunia
Tico (1989)
Khusus untuk merayakan momen keempat kalinya jadi tuan rumah pada Copa América 1989, Brasil ingin memperkenalkan salah satu fauna liar khasnya, burung zorzal sabiá (Turdus leucomelas), sebagai maskot ikoniknya. Maskot yang dinamai Tico itu –sederhananya berarti “Si Kecil”– merujuk pada ukuran kecil burung pengicau tersebut.
Menurut Helmut Sick dkk. dalam Ornitologia Brasileira, baik jantan maupun betina rata-rata ukuran burung zorzal 25 centimeter panjangnya. Perbedaan fisiknya secara umum terdapat pada rata-rata bobotnya: jantan rata-rata 68 gram dan betina rata-rata 78 gram, serta kaki yang betina lebih pendek ketimbang.
Walaupun burung omnivora itu juga ditemukan di Bolivia, Paraguay, Uruguay, dan wilayah tengah Argentina, habitat terbesarnya ada di hutan tropis bagian timur dan tenggara Maranhão, Brasil. Oleh karenanya ia dijadikan maskot yang digambarkan mengenakan jersey tandang Brasil berwarna biru sedang men-dribbling bola.
Gardelito (1987)
Tango bukan sekadar tarian atau musik khas asal Argentina. Tango sudah jadi kultur tersendiri yang memengaruhi banyak sendi kehidupan masyarakatnya, termasuk sepakbola. Kultur Tango ini pula yang dikemukakan Argentina sebagai maskotnya saat menjadi tuan rumah Copa América 1987.
Maskotnya diberi nama Gardelito. Inspirasinya bukan dari fauna melainkan dari tradisi takbenda yang bersinggungan dengan Tango itu sendiri, Carlos Gardel. Lewat kariernya sebagai aktor dan penyanyi di awal abad ke-20 turut berjasa mengglobalkan Tango ke dunia internasional.
“Kaum pria dan wanita di semua usia mengagumi dan memujanya. Perjalanan hidupnya yang berangkat dari kemiskinan sebagai anak imigran (asal Prancis) dan bermula dari seniman jalanan hingga jadi bintang kaya raya jadi simbol mimpi hampir setiap orang Argentina. Kehidupannya menjadi mitos tersendiri,” tulis Harold Guy Bensusan dalam artikel “Carlos Gardel and the Tango” yang termaktub dalam buku The Human Tradition in Latin America: The Twentieth Century.
Untuk mengenang legenda yang wafat pada 24 Juni 1935 itu, pihak penyelenggara Copa América 1987 mengabadikan figurnya lewat maskot Gardelito alias “Gardel Kecil” yang mengenakan jersey dan syal bermotif biru-putih khas bendera dan jersey timnas Argentina.
Baca juga: Menyingkap Makna Ndas Mangap
Tambahkan komentar
Belum ada komentar