Garrincha dari Pabrik Tekstil ke Pentas Dunia
Mustahil memenangi tiga trofi Piala Dunia tanpa Garrincha, kata Pelé.
HARI itu, 28 Oktober 1933, di Pau Grande, sebuah kawasan industri di Negara-bagian Rio de Janeiro, Brasil, Maria Carolina dos Santos melahirkan anak kelimanya di rumahnya yang sangat sederhana. Sang ibu memberinya nama baptis “Manuel” sebagaimana nama kakak iparnya. Sang bayi pun di rumahnya dipanggil Mané, tapi kelak dunia mengenalnya dengan nama “Garrincha”.
Mané lahir dengan keadaan “spesial”. Kaki kanannya membengkok ke depan dan lebih pendek dari kaki kiri. Sementara kaki kirinya juga sedikit membengkok ke arah luar.
“Sang ibulah yang pertama kali memperhatikan kedua kaki bayinya tak normal. Manuel mewariskan kondisi kakinya itu bukan dari ayahnya, Amaro Francisco, melainkan dari Maria Carolina sendiri, meski kondisi kaki ibunya tak seburuk putranya. Mungkin sebuah calliper akan sangat membantu tapi tiada yang terpikirkan hal itu di Pau Grande pada 1933,” tulis Ruy Castro dalam Garrincha: The Triumph and Tragedy of Brazil’s Forgotten Footballing Hero.
Untuk membawa Mané kecil ke spesialis ortopedik jelas tak terpikirkan oleh Maria maupun Amaro. Fasilitas medis di Pau Grande juga tak sebaik di ibukota Rio de Janeiro yang berjarak 64 kilometer. Maklum, hampir semua wilayah di Pau Grande adalah kawasan industri.
“Di sisi lain butuh waktu lama bagi Amaro melengkapi akta kelahiran putranya dan saat mengurusnya pun tidak becus. Saat mengurusnya di kantor catatan sipil di Raiz de Serra pada pekan pertama November, Amaro keliru menuliskan tanggal lahir. Dia menuliskannya 18 Oktober, bukannya 28 Oktober,” imbuhnya.
Baca juga: Pemain Tunadaksa Penentu Juara Piala Dunia
Mané lebih sering diurusi dan bercengkerama dengan keempat kakaknya. Ibunya sibuk bekerja sebagai pelayan. Ayahnya juga bekerja di pabrik.
Namun, ayahnya punya kelakuan buruk gemar main perempuan dan alkoholik. Nahas, dua habit buruk itu kelak diwariskannya kepada Mané.
“Mané tumbuh jadi anak yang manis meski kondisi kaki membuat posturnya kecil. Sekecil seekor burung, seekor garrincha (burung kecil, red.), kata Rosa, kakaknya dan julukan itu melekat selamanya sejak saat itu. Di masa kecil pula Garrincha menghabiskan waktu dengan berburu, memancing, dan bermain sepakbola,” ungkap Alex Bellos dalam, Futebol: The Brazillian Way of Life.
Garrincha mengenal sepakbola dari teman-teman sebayanya. Ia nyaris tak punya kesulitan untuk berbaur dengan sesama anak miskin dan anak buruh pabrik dari golongan bekas budak. Merunut silsilah keluarganya, Garrincha punya darah campuran suku pribumi Fulniô dan cafuza atau blasteran Indian-budak Afrika.
“Karena kakinya yang tidak linear, Garrincha justru mampu bergerak dengan arah yang tak bisa diprediksi. Membuat ia bisa memiliki kemampuan akselerasi sambil membawa bola yang luar biasa. Dengan kombinasi itu, ia mengembangkan sendiri keterampilan dribble bola yang tiada tara dan tak ayal segenap kota mengenalnya karena hal itu,” tambahnya.
Tapi karena Garrincha kemudian memiliki empat adik, ia harus ikut membantu ekonomi keluarga. Ia harus ikut bekerja jadi buruh pada usia 14 tahun di pabrik tekstil Companhia América Fabril.
“Garrincha bekerja disambi dengan memulai karier sepakbola (amatir) di Sport Club Pau Grande, tim yang berada di bawah perusahaan pabrik tekstil itu. Skill-nya juga yang membuatnya bisa terus bekerja di pabrik meski ia terlibat banyak konflik dengan manajemen karena Garrincha buruh yang indisipliner dan sering bolos tetapi tetap ditolelir pemilik pabrik hanya gegara performanya di lapangan,” tulis Fatima Martin Rodrigues Ferreira Antunes dalam tulisannya, “The Early Days of Football in Brazil” yang dimuat dalam buku The Countruyof Football: Politics, Culture & the Beautiful Game in Brazil.
Baca juga: Tendangan dari Bauru
Tandem Maut Pelé
Tak seperti pesepakbola legendaris Brasil kebanyakan, Garrincha termasuk terlambat masuk gelanggang sepakbola profesional. Kemungkinan karena ia masih terguncang oleh kematian ibunya kala Garrincha berusia 16 tahun.
Padahal, kemampuan dribbling Garrincha yang kian sohor sudah menarik perhatian banyak klub pro sejak 1950. Selain Vasco da Gama, ada Fluminense, São Cristóvão, dan Botafogo yang mengundang Garrincha untuk sesi seleksi dan uji coba.
“Banyak yang mengatakan dia adalah pesepakbola pro paling amatir yang pernah ada. Garrincha sering mengabaikan (undangan) sesi latihan hanya untuk bermain di jalan di Pau Grande. Baginya tidak ada bedanya antara amatir dan pro, selama seseorang mengoper bola padanya. Ia hanya ingin bermain,” ungkap Roger Bennett dkk., dalam Men in Blazers Present Gods of Soccer: The Pantheon of the 100 Greatest Soccer Players.
Toh pada akhirnya ia memutuskan meninggalkan pekerjaannya di pabrik dan klub amatirnya demi bayaran dengan membela klub Serrano pada 1951. Keterangan di kontrak pertamanya itu pun sederhana: berdurasi tiga bulan, gaji 30 cruzeiro (setara satu dolar per pertandingan), ditambah makan siang ditanggung klub. Nilai uang itu lumayan baginya jika dibandingkan upah 1,2 cruzeiro per jam sebagai buruh pabrik.
Baca juga: Dinho Oh Dinho...
Namun bolak-balik perjalanan jauh bersama tim membuatnya kelelahan dan jenuh. Ia sampai lupa memperpanjang kontraknya. Kebiasaan buruknya lebih memilih main bola di jalanan juga membuatnya mengabaikan tawaran klub-klub lain.
Ia kembali jadi pemain amatir di klub lamanya, Pau Grande. Bahkan kemudian ia memilih menikahi kekasihnya, Nair, pada 20 Oktober 1952, kendati kemudian Garrincha juga mewarisi tabiat ayahnya yang gemar main dengan perempuan lain.
Hidup Garrincha baru berubah saat bertemu bek veteran Botafogo dan timnas Brasil, Nílton Santos, medio 1953. Ia diajak ke Botafogo oleh pencari bakat, Eurico Salgado, yang terkesima dengan skill Garrincha.
Di Botafogo, Garrincha berkenan menjalani sesi latihan. Dalam suatu momen, Garrincha sukses memperdaya Nílton dengan dribbling bolanya. Nílton yang ketularan kagum, membujuk Botafogo merekrutnya.
“Saya pikir akan jadi hal yang bagus jika (klub) mengontrak pemain ini. Akan lebih baik ia berada di tim kita ketimbang tim lawan,” cetus Nílton, dikutip Bellos.
Menjelang usia 20 tahun, Garrincha pun direkrut Botafogo dengan nilai kontrak 300 cruzeiro plus akomodasi kamar sederhana ketimbang di mess milik klub. Garrincha membuktikan keputusan Botafogo tidaklah keliru. Pada debutnya di laga kontra Bonsucesso pada 19 Juli 1953, Garrincha yang ditempatkan di winger kanan langsung menorehkan hattrick.
Baca juga: Pelé adalah Sepakbola, Sepakbola adalah Pelé
Hingga 1965, Garrincha mencatatkan total 84 gol dalam 238 penampilan di masa jayanya. Tak ketinggalan ia ikut mempersembahkan tiga gelar Campeonato Carioca (1957, 1961, 1962) dan dua kali raihan trofi Torneio Rio-São Paulo (1962, 1964).
Tak ayal timnas Brasil pun sudah memanggilnya sejak 1955. Dua tahun berselang, Garrincha mulai mendapatkan tandem andalannya di skuad Seleção yang tujuh tahun lebih muda, Edson Arantes do Nascimeto alias Pelé.
“Mereka bertandem di Piala Dunia 1958. Selama pertandingan pertama yang dimenangkan atas Uni Soviet, Garrincha sempat menampilkan aksi dribble melewati lima pemain. Seorang jurnalis Prancis yang menyaksikan aksinya mengambarkannya sebagai ‘tiga menit terbaik dalam sejarah sepakbola’. Betapa tidak, Garrincha menggocek bola hingga lawannya kebingungan dan terjatuh sendiri,” sambung Bennet dkk.
Sepanjang bermain di timnas, Garrincha punya catatan gemilang. Total ia punya 50 caps, di mana 42 di antaranya berakhir dengan kemenangan dan tujuh sisanya imbang.
“Puncak karier Garrincha adalah tahun 1962. Ia dan Pelé ibarat (duo rock) Simon dan Garfunkel, di mana Garrincha merepresentasikan kebahagiaan, spontanitas, dan individualisme sepakbola Brasil. Ketika Pelé terpaksa dibangkucadangkan, Garrincha keluar dari bayang-bayangnya dan mengambil tampuk kepemimpinan hingga kemudian meraih trofi Piala Dunia kedua,” lanjutnya.
Baca juga: Brasil dan Hungaria Adu Jotos di Piala Dunia
Selama Garrincha bermain, hanya sekali Brasil kalah. Tepatnya pada laga Grup 3 Piala Dunia 1966, di mana Brasil harus mengakui kekalahan 1-3 dari Hungaria.
“Tanpa Garrincha, mustahil bagi saya menjadi pemenang tiga kali Piala Dunia,” kata Pelé, dikutip Jimmy Greaves dalam Football’s Great Heroes and Entertainers.
Garrincha memang hanya ikut memenangi dua Piala Dunia, yakni di edisi 1958 dan 1962. Namun bagi Pelé, inspirasi Garrincha tetap berjasa baginya kala kembali memenangkan trofi Piala Dunia 1970.
Namun, kebintangan Garrincha mulai memudar pada 1966 gegara kecanduan alkohol dan perempuan. Ia juga acap berganti klub setelah di Botafogo, mulai dari Corinthians (1966), Atlético Junior (1968), Flamengo (1968-1969), hingga Olaria (1972).
“Selain jadi alkoholik, Garrincha juga merupakan ayah dari 13 anak dari dua istri, serta satu anak haram hasil hubungan gelap saat menjalani tur bersama Botafogo selama dua pekan di Swedia. Ia juga orang yang abai terhadap pajak dan sering berurusan dengan debt collector,” tambah Greaves.
Tepat di usianya 40 tahun, Garrincha memutuskan gantung sepatu. Tetapi kebiasaan buruknya sebagai alkoholik tak jua hilang. Kebiasaannya itu memengaruhi kesehatannya, sampai akhirnya Garrincha mengembuskan nafas terakhir karena penyakit sirosis livernya, pada 20 Januari 1983 di Rio de Janeiro.
Namun karena jasanya terhadap persepakbolaan Brazil, kebaikannya tetap dikenang. Satu dari sekian bentuk penghormatan kepadanya adalah dengan mengabadikan namanya menjadi salah satu stadion di ibukota Brasília, Estádio Nacional de Brasília Mané Garrincha (kini Arena BRB Mané Garrincha).
“Garrincha pemain yang luar biasa, salah satu yang terbaik sepanjang sejarah sepakbola. Dia mampu melakukan banyak hal yang tak bisa ditiru pemain lain,” tandas Pelé.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar