Aneka Cerita Menembak Sasaran di Olimpiade
Kisah-kisah unik cabang menembak di Olimpiade. Dari menembak merpati sampai duel ala Koboi.
SEJAK karpet merah Olimpiade Tokyo digelar pada 23 Juli 2021, kontingen Indonesia sudah mengoleksi dua medali dari cabang olahraga (cabor) angkat besi. Sekeping perunggu didapat dari lifter putri Windy Cantika Aisah dan sekeping perak dari lifter putra Eko Yuli. Potensi bertambahnya medali masih terbuka dari beberapa cabor yang diikuti putra-putri terbaik tanah air. Salah satunya dari cabang menembak.
Tak seperti cabor bulutangkis, atletik, panahan, angkat besi, dayung, dan renang yang diikuti banyak perwakilan, cabor menembak hanya diwakili Vidya Rafika Rahmatan Toyyiba. Penembak putri berusia 20 tahun itu turun di dua nomor: 10 meter Air Rifle dan 50 meter Rifle 3 Positions.
Namun, di nomor pertama, atlet yang biasa disapa Fika itu masih nirmedali. Ia gagal menembus delapan besar putaran final. Fika hanya bertengger di urutan ke-35 di fase kualifikasi, Sabtu (24/7/2021). Tinggallah asa tersisa di nomor kedua, 50 Meter Rifle 3 Positions, yang akan diikutinya pada Sabtu (31/7/2021) besok.
“Ini adalah Olimpiade pertama saya dan saya masih belajar akan pengalaman berharga. Semuanya berawal dari nol lagi karena sekali lagi, ini event (10 Meter Air Rifle) pertama saya di Olimpiade,” kata Fika, dikutip laman resmi Komite Olimpiade Indonesia, Sabtu (24/7/2021).
Baca juga: Olimpiade Tokyo Punya Cerita
Indonesia sendiri sudah mengikuti cabor menembak sejak 1956, tepatnya di Olimpiade Melbourne. Kala itu Indonesia diwakili Lukman Saketi, penembak pertama Indonesia. Namun mesti diakui, hingga kini belum satupun medali bisa disumbangkan dari cabor menembak.
Olahraga menembak sendiri sudah diikutkan sejak Olimpiade modern dihelat pada 1896 di Athena, Yunani, kendati ISSF atau induk olahraga menembak dunia baru lahir pada 1907. Menariknya, dalam Olimpiade di masa lampau, cabang menembak tak hanya mempertandingkan kategori mainstream seperti sekarang. Beberapa kategori yang dipertandingkan bisa dibilang “aneh bin ajaib”.
Pigeon Shooting
Jika pada Olimpiade Athena 1896 menembak hanya mempertandingkan berbagai kategori menembak sasaran, di Olimpiade Paris 1900 kategori cabor menembak ditambah eksebisi Live Pigeon Shooting (menembak burung merpati). Namun, pertandingan menembak merpati hidup itu hanyalah kontes yang merupakan salah satu agenda dalam L’Exposition Universelle de Paris, di mana Olimpiade 1900 itu sendiri juga digelar dalam rangka pameran dunia tersebut.
“Menembak merpati hidup ikut dipertandingkan di Olimpiade Paris 1900. Objek kompetisinya adalah menembak dan membunuh merpati sebanyak mungkin. Seorang kontestan akan tereliminasi jika ia meleset dua kali berturut-turut. Hampir 300 ekor merpati yang dilepaskan untuk pertandingan ini,” ungkap Floyd Conner dalam The Olympic’s Most Wanted.
Kontes menembak merpati itu sendiri dibagi menjadi tiga nomor yang diikuti 166 penembak: Running Game Target, Live Pigeon 20 Franc Entrance, dan Live Pigeon 200 France Entrance. Selain memperebutkan medali emas, perak, dan perunggu, ratusan penembak peserta juga membidik hadiah uang 5.000 franc (juara I), 2.500 franc (juara II), 1.500 franc (juara III), dan 1.000 franc (juara IV).
Baca juga: Membidik Sejarah Olahraga Menembak
Di nomor Running Game Target, tiga medalinya disapu bersih para penembak tuan rumah: Louis Debray, Pierre Nivet (20 ekor), dan Comte de Lambert (19 ekor). Adapun di nomor Live Pigeon Shooting 200 Franc Entrance, dimenangkan Léon de Lunden dari Belgia (21 ekor), Maurice Fauré dari Prancis (20 ekor), dan Donald Mackintosh dari Australia dan Crittenden Robinson dari Amerika Serikat (18 ekor). Mackintosh yang juga ikut di kategori Live Pigeon Shooting 20 Franc Entrance keluar sebagai pemenangnya dengan 22 ekor, disusul Pedro Pidal, 1st Marquess of Villaviciosa asal Spanyol (21 ekor); dan Edgar Murphy asal Amerika Serikat (19 ekor).
“Kontes akbar menembak merpati dimenangkan Mackintosh, Australia, dengan 22 kali mengenai sasaran; Marquis Villavicosa, Spanyol, di tempat kedua; dan Edgar Murphy, Amerika, ketiga dengan 20 (ekor). Ted Sloan sempat ikut tapi ia sudah meleset pada dua burung pertama. Mereka pun berbagi hadiah pada kontes penting Grand Prix du Centenaire yang diadakan di Cercle du Bois de Buologne,” tulis suratkabar Sporting Life, 30 Juni 1900.
Kontes itu kemudian memicu gelombang protes para aktivis dan kaum perempuan. Kategori menembak fauna hidup pun tak pernah lagi eksis di olimpiade-olimpiade berikutnya.
“Kampanye tentang olahraga (menembak merpati) itu mulai digencarkan. Kaum perempuan yang menentangnya mengenakan topi dengan hiasan bulu burung sebagai bentuk fesyen dan protesnya. Kemudian Amerika melarang menembak fauna hidup pada 1902 dan sasaran untuk menembak dialihkan pada sasaran burung yang terbuat dari tanah liat,” singkap Tim Harris dalam Sport: Almost Everything You Ever Wanted to Know.
Pistol Duelling
Olimpiade Athena 1906 –kadang disebut Intercalated Games 1906– menyimpan cerita menarik cabor menembak. Tentu tidak ada lagi nomor menembak sasaran fauna hidup lantaran sudah dilarang sejak 1902. Dari 16 nomor, terselip dua nomor unik, yakni 20 Meter Duelling Pistol dan 30 Meter Duelling Pistol.
Dua nomor itu mengingatkan pada adegan-adegan film koboi di Amerika yang kondang dengan duel pistol. Namun, sasaran dua nomor itu bukanlah orang, tapi hanya dada manekin yang dipakaikan mantel laiknya seorang pria betulan.
“Para peserta menembakkan pistol mereka dari jarak 20 atau 30 meter terhadap target yang dikenakan mantel. Walau sasaran manekinnya tak menembak balik, event ini memelihara daya tarik dan sensasi menegangkan dan kemuliaan dalam duel pistol sesungguhnya,” ungkap John Leigh dalam Touché: The Duel in Literature.
Baca juga: Mula Api dan Pawai Obor Olimpiade
Di Olimpiade Athena 1906 itu, penembak Prancis Léon Moreaux merebut medali emas kategori 20 meter, diikuti Cesare Liverziani (Italia) dengan perak, dan Maurice Lecoq (Prancis) dengan perunggu. Sedangkan di nomor 30 meter, medali emasnya jadi milik Konstantinos Skarlatos (Yunani), dan perak serta perunggunya diraih Johan Hübner van Holst dan Vilhelm Carlberg dari Swedia.
Duel pistol à la koboi ekstrem baru sungguh-sungguh terjadi di Olimpiade London 1908 walau nomor duel itu dimasukkan sebagai event eksebisi. Mengutip Jonathan Gottschall dalam The Professor in the Cage: Why Men Fight and Why We Like to Watch, tujuan eventnya untuk saling membidik dan menembak dan pemenangnya ditentukan siapa yang paling tepat menembak bidang sasaran di tubuh masing-masing.
“Di Olimpiade London 1908, duel (pistol) dengan peluru yang terbuat dari lilin menjadi olahraga eksebisi, di mana para kompetitor yang saling berhadapan mengenakan mantel besar berlapis kanvas berat, topeng wajah, dan pelindung pelatuk pistol untuk melindungi tangan mereka,” tulis Gottschall.
Karena hanya bertajuk demonstrasi, event tersebut hanya diikuti Inggris dan Prancis yang bertanding sebagai tim. Tim Prancis yang terdiri dari Jacques Rouvcanachi, Gustave Voulquin, Joseph Marais, dan Walter Winans keluar sebagai pemenangnya walau tiada medali yang dibagikan.
Running Deer
Dari Olimpiade London 1908 pula hadir tiga nomor baru cabor menembak, yakni Single-shot Running Deer, Double-shot Running Deer, dan Team Single-shot Running Deer. Adanya larangan menembak sasaran hidup membuat rusa berlari yang dijadikan target pun sekadar terbuat dari kertas tebal.
Disebutkan Conner, rusa yang dijadikan target itu bisa digerakkan dengan kecepatan 75 kaki atau 23 meter per empat detik. Sementara para penembak diharuskan bisa membidik pada tiga sasaran lingkaran yang terkonsentrasi dari jarak 110 yard (100,5 meter). Nomor ini jadi salah satu tontonan favorit hingga terus dipertandingkan sampai Olimpiade London 1948.
Baca juga: Kabaddi di Panggung Olimpiade Nazi
“Oscar Swahn yang berusia 60 tahun memenangkan medali emas di (nomor) team running deer shooting dan nomor single-shot. Dua belas tahun kemudian, penembak Swedia berjanggut itu memenangkan perak di nomor team running deer, dan double-shot. Putranya, Alfred, juga turut dalam nomor tim yang memenangkan medali,” tulis Conner.
Pada debut nomor menembak rusa di Olimpiade 1908 itu Swahn total mengoleksi dua emas dan satu perunggu. Jika dua emasnya didapat dari nomor single-shot dan team single-shot, perunggunya didapat dari nomor double-shot. Ia kalah dari Walter Winans (Amerika Serikat) yang mendapat emas, dan Ted Ranken (Inggris) yang mengalungi perak.
Modern Pentathlon
Nomor modern pentathlon atau pancalomba modern pertamakali dipertandingkan di Olimpiade Stockholm 1912. Nomor ini menggabungkan olahraga menembak untuk kategori putra dan putri dengan anggar, renang, equestrian, dan lari cross country. Jenderal Amerika George S. Patton yang kelak kondang di Perang Dunia II, ikut berpartisipasi dalam debut event-nya di Stockholm 1912.
“Pancalomba modern digagas Presiden Komite Olimpiade Internasional Baron Pierre de Coubertin sebagai latihan militer. Cabor ini juga punya latarbelakang ideologis walau banyak menuai kritik,” tulis Sandra Heck dalam “Modern Pentathlon at the London 2012 Olympics: Between Traditional Heritage and Modern Changes for Survival” yang termaktub dalam London, Europe, and the Olympic Games: European Perspectives.
Baca juga: Etalase Nazi di Olimpiade
Prinsipnya, lanjut Heck, Pancalomba Modern adalah modernisasi dari Pancalomba Kuno yang meliputi lari, lompat jauh, lempar lembing, lempar cakram, dan gulat. Setelah pancalomba kuno ditiadakan pada 1924 dan diperluas jadi saptalomba, Pancalomba Modern terus menggapai popularitas sampai sekarang.
Pada debutnya di Olimpiade 1912, olahraga menembak di dalam Pancalomba Modern masih membolehkan para peserta membawa beragam jenis pistol pribadi untuk menembak sasaran dari jaram 10 meter. Perubahan alat baru terjadi pada 2009, di mana yang digunakan adalah pistol angin.
Pada 1912, juara pertama sampai ketiga nomor menembaknya disapu bersih atlet Swedia: Karl ‘Gösta’ Âsbrink, George de Laval, dan Gustaf ‘Gösta’ Lilliehöök. Sedangkan George Patton yang kemudian sohor hanya mampu bertengger di urutan ke-20.
Baca juga: Asa yang Kandas di Olimpiade Negeri Sakura
Tambahkan komentar
Belum ada komentar