Tionghoa Priangan dalam Pusaran Revolusi
Mereka terombang-ambing dalam dilema peperangan. Sebagian berada di pihak Republik, sebagian lagi memilih untuk berada di pihak Belanda.
Yusup Soepardi (96) masih ingat ketika suatu hari dia menyaksikan para lelaki muda Tionghoa di Cianjur tetiba bersenjata. Mereka ditugaskan oleh militer Belanda untuk menjaga berbagai fasilitas ekonomi terutama pabrik-pabrik yang banyak bertebaran di berbagai perkebunan.
Memang orang-orang Tionghoa itu bukan satu-satunya kelompok yang dipersenjatai militer Belanda. Menurut Yusup, ada unit-unit lain yang terdiri dari orang-orang Sunda dan Jawa yang tergabung dalam OW (Onderneming Wacht) dan CP (Civiele Politie).
“Mereka memiliki tugas yang sama dan kerap bekerjasama menghadapi pejuang-pejuang Republik,” ungkap mantan anggota telik sandi dari lasykar Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) Cianjur itu.
Baca juga:
Lantas siapakah orang-orang Tionghoa bersenjata itu? Yusup masih mengingat bahwa mereka menamakan diri sebagai Pao An Tui (Badan Pelindung Keselamatan). Sejarah mencatat organ keamanan masyarakat Tionghoa yang didirikan pada 28 Agustus 1947 tersebut memang memilih jalan berlawanan dengan pemerintah Republik dan secara tegas memihak Belanda.
“Orang-orang Tionghoa yang menjadi korban 'masa bersiap' membentuk Pao An Tui dengan dalih untuk membela diri dari gangguan orang-orang Republik,” ujar Sulardi, penulis buku Pao An Tui 1947-1949, Tentara Cina Jakarta.
Kelompok etnis Tionghoa di Priangan memang ada dalam situasi dilematis saat peperangan mulai melanda kawasan barat Jawa. Menurut sejarawan John R.W. Smail, bisa dikatakan mereka merupakan “kambing hitam revolusi” yang dianggap pragmatis dan tega berkhianat terhadap perjuangan kaum Republik.
Hal itu terlihat saat kaum Republik menjalankan aksi pemboikotan terhadap orang-orang Eropa, Indo dan kaum yang dianggap identik pro Belanda. Alih-alih mendukung aksi tersebut, para pedagang Tionghoa justru masih menjalankan transaksi dan memasok kebutuhan pokok orang-orang yang dicap sebagai “begundal penjajah” tersebut.
Maka tak heran jika pasca proklamasi Republik Indonesia (RI), mereka menjadi sasaran amuk. Smail menyebut bahwa di Bandung sendiri kerusakan terparah akibat amuk kaum Republik terjadi di distrik Tionghoa yang terletak di sebelah barat alun-alun.
“Ada memang di antara mereka yang berupaya menyelamatkan toko-tokonya dengan menyuap beberapa kelompok pemuda, namun itu hanya sementara. Selanjutnya mereka tetap menjadi korban anarki yang merajalela,” ungkap Smail dalam Bandung in the Early Revolution 1945-1946.
Berdasarkan situasi seperti itu, adalah wajar jika orang-orang Tionghoa pada akhirnya bersikap defensif. Sebagai kaum pedagang, mereka kerap menjalankan pilihan-pilihan pragmatis dan lebih cenderung melancarkan aksi “cari selamat” guna melanjutkan hidup mereka.
Namun tidak seluruhnya orang-orang Tionghoa memilih jalan itu. Sebagian dari mereka yang sudah merasa menjadi bagian dari Indonesia justru ikut bahu- membahu bersama kaum Republik baik sebagai pemasok logistik, informan, tenaga kesehatan bahkan kaum pemanggul senjata.
“Di wilayah Tegalega, dulu saya mengenal seorang Tionghoa bernama Akew. Dia pemilik toko yang kerap melindungi pejuang-pejuang kita yang sedang menyelundup ke kota,” ungkap Odoy Soedarja, anggota intelijen Divisi Siliwangi pada era 1946—1949.
Baca juga:
Tidak cukup melindungi keselamatan para pejuang Republik, Akew juga merupakan pemasok utama logistik ke markas-markas pejuang di sekitar Bandung. Tak jarang dia pun memberikan informasi-informasi penting terkait pergerakan tentara Belanda di Bandung.
Nasib Akew pada akhirnya berakhir buruk. Karena pengaduan seorang tetangganya, dia kemudian diciduk oleh serdadu Belanda dan tak pernah diketahui keberadaannya hingga kini. Informasi yang didapat Soedarja, Akew dibuang ke Nusakambangan dan meninggal sebagai tawanan Republik di pulau dekat Cilacap itu.
Soedarja pun mengenal seorang petugas perempuan Palang Merah bernama Oting (Oey Tiong Li). Gadis Peranakan Tionghoa itu terbilang aktif merawat dan mengobati para pejuang yang terluka di front Padalarang.
“Seingat saya dia tergabung dengan lasykar KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi),” ujar lelaki yang lahir pada 1924 itu.
Keberadaan orang Tionghoa dalam unit-unit lasykar kaum Republik juga saya temukan dalam dokumen-dokumen Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Kabupaten Cianjur. Dalam suatu dokumen berjudul “Beberapa Catatan Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1942—1949” terbuhul seorang pejuang dari etnis Tionghoa bernama Muji Raharjo alias Asen.
Disebutkan Asen yang lahir pada 20 Januari 1928 itu sudah terlibat dalam perjuangan kaum Republik sejak 1945. Dia ikut melucuti tentara Jepang yang bermarkas di Cipanas dan Pacet. Dalam aksi pelucutan itu, Asen berhasil merampas sepucuk pistol Jepang (Nambu) dan dua pucuk senjata doble loop.
“Tahun 1945-1949, Asen ikut berjuang melawan Belanda dengan bergabung bersama unit lasykar Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia) cabang Cipanas-Pacet pimpinan seorang Sunda bernama Adang Somadihardja,” demikian menurut dokumen tersebut.
Baca juga:
Selain ditugaskan untuk mencari senjata, Asen pun harus membentuk jaringan logistik di antara orang-orang Tionghoa pro Republik. Bersama rekan Tionghoa lainnya seperti Gwan, Wik Hok dan Okih, Asen juga memasok kebutuhan untuk Tentara Keamanan Rakjat (TKR) dan lasykar-lasykar lain seperti BBRI dan Hizbullah.
Bermodalkan sebuah gunto (pedang Jepang), Asen kadang ikut melakukan penyerangan terhadap posisi-posisi tentara Belanda di Cipanas dan Pacet. Hingga masa tuanya, gunto itu masih dirawatnya sebagai kenang-kenangan.
“Pedang itu tak mungkin saya berikan kepada siapa pun, kecuali jika Gedung Juang Kabupaten Cianjur akan membuat museum, saya bersedia menyerahkannya,” ujar lelaki Tionghoa yang sudah wafat sejak tahun 2000 tersebut.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar