Sersan Jawa dalam Peristiwa Merah Putih di Manado
Diskriminasi membuat serdadu KNIL berdarah Indonesia terlibat dalam pemberontakan yang dikenal sebagai Peristiwa Merah Putih di Manado.
Namanya Frans Bisman. Dia bukan asli Sulawesi Utara. Hanya saja pada awal tahun 1946 dia sedang berada di Manado. Dengan berseragam hijau militer sebagai bintara tentara kolonial yang sedang dibangun kembali, Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), Bisman adalah serdadu yang ikut Perang Dunia II.
“Bisman dalam Perang Dunia ke-2 mendapat latihan intelijen di Australia dan sering turut dalam kapal selam Sekutu untuk dilepaskan di perairan daerah musuh untuk mencari tahu kekuatan tentara Jepang,” tulis Ben Wowor dalam Sulawesi Utara Bergolak: Peristiwa Patriotik Merah-Putih, 14 Pebruari 1946 dalam Rangka Revolusi Bangsa Indonesia.
Bisman, menurut Ben Wowor, pernah mengintai kekuatan Jepang pada 1944 di Tarakan dan Manado. Koran Belanda, De Maasbode, 7 Agustus 1946, menyebut dia ikut melawan tentara Jepang di Papua Nugini dan Tarakan. Sehingga, dia dua kali dapat penghargaan dan dipromosikan menjadi sersan.
Baca juga: Narkim Menerkam Pejuang Aceh
Bisman termasuk anggota Kompi VII KNIL. Sebelum masuk Manado setelah Oktober 1945, kompi ini bertugas di Balikpapan. Kompi ini berisi serdadu-serdadu yang terlibat dalam Perang Pasifik. Anggota terbanyak dari kompi ini kebanyakan orang-orang Indonesia.
Pasukan andalan Kompi VII adalah peleton pertama beranggota sekitar 60 orang dipimpin Sersan Runtukahu. Bintara pengintainya adalah Jus Kotambunan. Bisman memimpin peleton lain dalam kompi tersebut.
Semasa di Manado, Bisman berkawan dengan para serdadu Minahasa. Dia mengenal Sersan Charles Chosey Taulu (1906–1969) dan Sersan Sergius Dumais Wuisan (kelahiran 1914). Dia juga menjadi saksi keresahan kawan-kawannya itu.
Rupanya diskriminasi masih hidup dalam tentara kolonial itu. Misalnya dalam hal jatah rokok. Bisman dan kawan-kawan menerima rokok kelas dua. Ben Wowor menyebut serdadu kelas dua menerima rokok merek Homare atau Kinsi. Sementara serdadu Belanda, yang dianggap serdadu dengan fasilitas kelas satu, menerima rokok Chasterfield atau Lucky Strike. Tak hanya kelasnya rendah, rokok yang diterima serdadu-serdadu berdarah Indonesia sering kali rusak.
Baca juga: Kehidupan di Tangsi KNIL yang Kumuh
Diskriminasi di tubuh KNIL mengantarkan para serdadu berdarah Indonesia itu bergabung dengan pejuang pro-Republik Indonesia di Sulawesi Utara. Taulu dan Wuisan melakukan beberapa kali rapat rahasia. Laurens Manus dkk. dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945–1949) Daerah Sulawesi Utara menyebut mereka mengadakan rapat pada 7 Februari 1946 di rumah Bernard Wilhelm Lapian di Desa Singkil, Manado Utara.
Tiga hari kemudian, pada 10 Februari 1946, atas petunjuk Kapten Bloom, Komandan Garnisun Manado, Militaire Politie (Polisi Militer Belanda) menciduk Taulu dan Wuisan. Bisman juga pernah dipanggil Blom, tapi tak ditahan seperti Taulu. Menurut Wowor, mungkin karena Bisman memiliki tanda jasa dari tentara Sekutu.
Beberapa orang sipil seperti John Rahasia dan Mat Canon juga ditahan. Pada 12 Februari 1946 dalam sebuah rapat rahasia disepakati bahwa mereka akan bergerak pada 14 Februari 1946. Pada hari-H, Runtukahu bersama delapan orang bawahannya dari Kompi VII membawa bedil tanpa amunisi bergerak merebut gudang senjata di asrama Teling lalu membebaskan Taulu dan Wuisan. Mereka menangkap orang-orang Belanda.
Tak hanya Manado yang diduduki serdadu KNIL yang kecewa dan rakyat sipil yang membantunya. Kota Tomohon juga jadi sasaran. Freddy Lumanauw dan Bisman memimpin dua peleton untuk merebut kota itu. Bisman mengendarai jip ke Tomohon. Tiap jip terdapat penembak Bren. Gerakan Bisman membuat banyak orang Belanda yang berkuasa seperti Letnan Kolonel de Vries menyerahkan diri.
Baca juga: Mantan KNIL yang Menolak Masuk TNI
Setelah merebut kekuasaan di Manado, mereka menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia di Jawa dan membentuk Tentara Rakyat Indonesia Sulawesi Utara (TRISU). Taulu menjadi Panglima TRISU karena Kapten Jan Kaseger menolak ikut Republik Indonesia dan tetap setia kepada Ratu Belanda. Sementara Lapian sebagai kepala pemerintahan sipil.
Dalam pemberontakan itu, Bisman diakui sebagai Kapten TRISU. Namun, gerakan mereka dengan cepat digulung aparat Belanda. Bisman, Taulu, Wuisan, dan lain-lain ditangkap. Mereka lalu dipenjara di beberapa kota di luar Sulawesi Utara.
Het Dagblad, 1 Agustus 1946, menyebut Taulu dihukum sepuluh tahun penjara, Nelwan delapan tahun, Wuisan enam tahun, dan Bisman empat tahun. Mereka mendapat hukuman ringan karena pemberontakan yang dikenal sebagai Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 itu tak mengucurkan darah. Selain itu, di antara pelaku telah berjasa dalam militer Sekutu melawan tentara Jepang. Jasa Bisman, yang menurut Ben Wowor berasal dari Jawa Barat itu, juga diperhitungkan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar