Putra Betawi dalam Pusaran Revolusi Indonesia
Perwira bernyali jawara. Sayang kalah pamor dari legenda si Pitung
KERUMUNAN massa dari Jakarta dan sekitarnya menyemut sejak pagi 19 September 1945 di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas). Mereka tak mempedulikan para serdadu Jepang yang bersiaga di sekitar lokasi dengan senapan Arisaka plus bayonet terhunus, yang nongkrong di belakang juki-kanju (senapan mesin berat) type 92, atau yang bersiap dengan tekidanto (mortir).
Massa tahu para prajurit tentara yang sudah kalah Perang Pasifik itu tak hendak menakut-nakuti rakyat yang berkerumun tapi hanya sedang menjaga ketertiban dalam rangka mempertahankan status quo sampai mereka dipulangkan oleh Sekutu.
Maka begitu sosok yang didambakan, Presiden Sukarno, muncul saat senja, ratusan ribu manusia merdeka itu bersorak menyambut kedatangannya. Sang proklamator datang dengan dikawal Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jakarta Moeffreni Moe’min dan perwira Polisi Istimewa Mangil Martowidjojo selaku ajudan Sukarno. Moeffreni mengenakan seragam sipil dengan mengantongi granat dan sepucuk pistol di saku dalam jasnya.
“Dia yang pasang badan atas keselamatan Sukarno, (Mohammad) Hatta dan anggota-anggota kabinet yang dijemput Soebianto (Djojohadikoesoemo) dan Daan Jahja dari Pejambon. Juga yang bertanggungjawab atas keamanan dalam peristiwa itu,” ujar sejarawan JJ Rizal saat acara teatrikal rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada di Lapangan Monas, 16 September 2018.
Baca juga: Rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada, ajang unjuk kekuatan pertama Republik Indonesia
Meski Bung Karno tak sampai lima menit cuap-cuap di atas podium, massa membubarkan diri dengan tertib. Peristiwa yang dikenal sebagai Rapat Raksasa Ikada itu aman terkendali. Ketakutan Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang) maupun jajaran kabinet akan terjadi chaos tak terbukti.
Sejak jauh hari Moeffreni, yang mendapatkan info tentang akan adanya keramaian dari anak buahnya, mengkoordinir pengamanan untuk menghindari timbulnya konflik. Terlebih, terhadap rencana Presiden Sukarno datang ke Lapangan Ikada.
Baca juga: Moeffreni Moe'min, tokoh terlupakan dalam Rapat Raksasa Ikada
“Saya sebagai pimpinan BKR Jakarta merasa terpanggil untuk berada di lapangan, terpanggil karena tugas mengamankan situasi yang memanas,” tutur Moeffreni yang dikutip Dien Majid di biografinya, Jakarta-Karawang Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min.
Moeffreni meracik pengamanan dari berbagai elemen. Selain anak buahnya dari BKR Jakarta, dia mengikutsertakan para mahasiswa Prapatan 10, Menteng 31, Barisan Pelopor pimpinan dr. Moewardi, Barisan Banteng pimpinan Soediro, Barisan Hisbullah dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia pimpinan Harsono Tjokroaminoto, Laskar Rakjat Djakarta di bawah Imam Syafi’i dan Daan Anwar, Laskar Klender-nya H. Darip, dan Pemuda Kesatuan Sulawesi serta Pemuda Maluku pimpinan Willem Latumenten.
“Moeffreni juga menyebar banyak anak buahnya berpakaian sipil. Setidaknya setiap satu tentara Jepang yang ada di sana dikelilingi tiga anak buah Moeffreni yang menyamar. Jadi kalau terjadi apa-apa, sudah bisa diantisipasi duluan,” sambung peneliti sejarah dari komunitas Front Bekassi Beny Rusmawan kepada Historia.
Siapa Moeffreni Moe’min?
Namun, zaman justru menenggelamkan nama Moeffreni. Bahkan di berbagai komunitas Betawi sebagai etnis “tuan rumah” di ibukota, nama Moeffreni asing dibanding nama tokoh-tokoh legenda macam Pitung atau Jampang. “Jangankan Moeffreni, Abdulrahman Saleh saja yang sudah pahlawan nasional banyak yang enggak tahu dia orang Betawi dan enggak dikenal. Padahal sudah lama dia jadi pahlawan dari Angkatan Udara,” ujar Beny.
Moeffreni memang tak lahir di Jakarta, melainkan di Rangkasbitung pada 12 Januari 1921. “Tapi ayahnya orang Betawi Kwitang, Moehammad Moe’min. Dia jadi ambtenaar di Rangkas dan menikah dengan orang Banten. Makanya Moeffreni lahir di Rangkasbitung,” timpal JJ Rizal.
Setelah “makan” bangku sekolahan Belanda, Moeffreni merintis karier jadi wartawan di Majalah Pandoe Djakarta. Dari pekerjaannya itu Moeffreni mengetahui pembentukan Seinen Dojo (Barisan Pemuda) di zaman Jepang. Ikutlah Moeffreni pelatihan khusus untuk pemuda terpelajar itu di Tangerang.
“Angkatan pertama terdiri 50 orang. Bersama saya yang saya ingat ada Soeprijadi, Jono Soeweno, Daan Mogot, dan Kemal Idris. Dilatih selama enam bulan,” kenang Moeffreni, dikutip Dien Majid. Selepas Seinen Dojo, Moeffreni meneruskannya ke pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Selepasnya, Moeffreni mengikuti pendidikan Renseitai di Cimahi dan Redentai di Magelang.
Dalam pelatihan intelijen di Magelang itu Moeffreni mengikat persahabatan dengan Sarwo Edhie, Zulkifli Lubis, dan Ahmad Yani yang kelak jadi Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Selepas proklamasi, Moeffreni dipercaya Ketua BKR Pusat Kasman Singodimedjo untuk memimpin BKR Jakarta Raya (kemudian berubah jadi TKR Resimen V Jakarta).
“Moeffreni itu orang yang menjadi nyawa di wilayah republik di garis terdepan dan front paling panas pertempuran. Dia komandan Resimen V Jakarta berpangkat letkol yang kemudian markasnya dipindah ke Cikampek setelah Jakarta diperintahkan untuk dikosongkan dari elemen militer (mulai 19 November 1945),” ungkap JJ Rizal.
Letkol Moeffreni kemudian dipercaya mengomandani Resimen XII Cirebon, menggantikan Kolonel Soesalit Djojohadiningrat (putra RA Kartini). Di bawah tanggungjawabnya selaku komandan Resimen XII itulah Perundingan Linggarjati, 11-15 November 1946, berjalan lancar.
Baca juga: Dia termasuk yang mendesak Sukarno-Hatta secepatnya membacakan Proklamasi
Setelah dimutasi untuk menjabat Direktur Diklat Perwira Divisi Siliwangi di Garut pada April 1947, Moeffreni ikut terciduk ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I dan dibuang ke Nusa Kambangan.
Baru pada 1950 Moeffreni dibebaskan. Dia harus terima pangkatnya diturunkan jadi mayor akibat reorganisasi dan rasionalisasi di tubuh militer. Setelah dipercaya sebagai kepala staf Resimen Bogor lalu jadi “plt” Gubernur Militer di Bandung, Moeffreni bereuni dengan Ahmad Yani di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) yang sudah menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Moeffreni menjabat Asisten Subsistensi.
Namun Moeffreni tak lama mengemban jabatan itu. Alasan kesehatan membuatnya keluar dari dinas militer pada 30 Juni 1957, berdasarkan Keppres No. 757/M Tahun 1958 . Moeffreni kemudian memilih mendarmabaktikan hidupnya di DPRD DKI hingga MPR RI. “Panglima” tanpa bintang itu mengembuskan napas terakhirnya pada 1996 di RSPP Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir.
Mempahlawankan Moeffreni
Sepak terjang Moeffreni membuat Ahmad Syarofi dan para peneliti Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) menganggap Moeffreni pantas dijadikan pahlawan nasional. Setelah mendapat restu keluarga Moeffreni, mereka mengajukan pengusulan ke Pemprov DKI yang kemudian membentuk Tim Pengkaji dan Penelitian Gelar Daerah (TP2GD).
“Itu kita sampai delapan kali bolak-balik berkas uji materinya. Setelah disetujui gubernur (DKI), diteruskan ke tim TP2GP (Tim Pengkaji dan Penelitian Gelar Pusat). Sekarang bolanya (keputusannya) tinggal ada di tangan Dewan Gelar,” tambah Syarofi.
Dari Jakarta tahun ini tak hanya Moeffreni yang diajukan. Ada pengusulan dua tokoh lain: Usmar Ismail (tokoh perfilman nasional) dan RS Soekanto (Kapori Pertama).
“Kita masyarakat Betawi enggak pingin macam-macam, hanya dukungan moral saja. Kiranya pemerintah menghormati penduduk lokal Jakarta. Apalagi terakhir orang Betawi yang jadi pahlawan nasional sudah lama sekali, Ismail Marzuki pada 2004. Itu kita dari LKB juga yang awalnya mengusulkan. You semua lama tinggal di Jakarta, tinggal di tanah Betawi, masak you enggak mau kasih kesempatan buat orang Betawi merasakan peranannya dalam perjuangan bangsa,” tandas Syarofi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar