Benny Moerdani, Penjaga Setia Penguasa Orde Baru
Dia menjaga Soeharto seperti menjaga dirinya sendiri. Termasuk mengamankan seluruh kepentingan sang presiden.
Benny Moerdani menelan pil pahit setelah Presiden Soeharto mencopotnya sebagai Panglima ABRI. Setelah menyingkirkan Benny, Soeharto mengalihkan tangan kepercayaannya kepada kelompok politisi. Dia pun mulai merapat ke kalangan Islam untuk memantapkan kekuasan. Hingga Soeharto lengser, hubungannya dengan Benny tak pernah kembali seperti semula: renggang, dingin, dan berjarak.
Pada 29 Agustus 2004, Soeharto dan Benny Moerdani kembali bersua. Namun dalam pertemuan kali ini, tak ada pembicaraan. Benny yang dulu tersohor karena sangar hanya terbujur kaku. Peti mati menjadi pembaringannya. Di hari minggu itu, Si Raja Intel menghembuskan nafas terakhir pada usia 71 tahun.
Di hadapan jenazah Benny, Soeharto yang telah uzur menundukan wajah seraya melantunkan doa. Itulah penghormatan terakhirnya untuk sang pelindung setia. Mereka berdamai di senjakala kehidupan.
Menjaga Keamanan Presiden
Soeharto adalah atasan langsung Benny Moerdani dalam operasi militer pembebasan Irian Barat. Ketika itu, Benny berpangkat mayor dan berasal dari satuan RPKAD (kini Kopassus). Sementara Soeharto, menjabat Panglima Komando Mandala. Benny diterjunkan ke Merauke memimpin Operasi Naga yang hampir merenggut nyawanya dalam misi infiltrasi. Dari sinilah pengabdian Benny kepada Soeharto bermula.
Kerjasama Soeharto-Benny terus berjalin pada misi selanjutnya: konfrontasi ganyang Malaysia. Soeharto merancang operasi rahasia untuk menggagalkan perang dengan Malaysia. Benny yang bertindak sebagai perwira intelijen bersama Ali Moertopo berperan dalam lobi-lobi diplomasi. Operasi khusus (Opsus) ini berujung pada pemulihan hubungan diplomatik kedua negara.
Semasa naik tampuk kepresidenan, Soeharto tak melupakan kecakapan Benny dalam bertugas. Saban kali bepergian ke luar negeri, Soeharto selalu meminta Benny mendampinginya. Benny didatangkan secara khusus untuk menjadi penasihat keamanan presiden. Pengawalan semacam ini jadi rutinitas di kemudian hari sekalipun Benny berada di Kuala Lumpur ataupun di Seoul, Korea Selatan sebagai konsulat.
Baca juga: Kala Soeharto Jadi Panglima (1)
“Ini berarti Soeharto sejak lama sudah mengenal dan mengakui keandalan Moerdani sebagai security officer,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Menurut Salim Said, Benny memandang Soeharto layaknya seorang kawula melihat rajanya. Kesibukan “melindungi” penguasa Orde Baru itu tetap dilakoni Benny bahkan saat di puncak kariernya memimpin lembaga intelijen negara merangkap panglima ABRI. Di mata sejumlah jenderal senior, Benny lebih condong menampilkan diri sebagai kepala bodyguard buat Soeharto dan keluarganya.
Julius Pour dalam biografi Benny: Tragedi Seorang Loyalis mengungkapkan rupa-rupa keputusan kontroversial Benny saat menjadi pengawal Soeharto. Dulu, setiap kali kepala negara lain berkunjung ke Indonesia, Soeharto menyongsong langsung kedatangannya. Sambutan ini disemarakkan dengan upacara militer dan pawai pasukan. Begitu kekuasaan ABRI dalam genggamannya, Benny mengubah tradisi tersebut.
“Pak Harto tak perlu datang ke bandara, upacara penghormatan militer juga tak perlu satu batalion, cukup satu kompi Paspampres,” tegas Benny.
Baca juga: Benny Moerdani, Loyalis yang Disingkirkan
Begitu juga mengenai penggunaan pintu keamanan yang selalu mengikuti perjalanan Soeharto. Peralatan tersebut dipakai pada acara di Istana maupun luar Istana setelah Benny memutuskan. Kemanapun Soeharto melangkah, pintu keamanan harus ada. Semua personel, tanpa kecuali termasuk menteri, harus melewati pintu keamanan. “Dengan demikian semua yang ada di sekitar Presiden Soeharto dipastikan sudah dalam keadaan steril,” tulis Julius Pour.
Itu semua dilakukan Benny semata-mata demi keselamatan pribadi Soeharto. Memang agak terkesan berlebihan. Konon, Ibu Tien Soeharto pernah mengeluhkan aksi pengamanan Benny yang dianggap mengganggu privasi keluarga.
Melindungi Citra Soeharto
Selain keamanan fisik, nama baik sang presiden pun jangan sampai kena usik. Benny Moerdani lagi-lagi memikul tanggung jawab ini. Di era Soeharto berkuasa, metode penegakan hukum pernah dilakukan dengan cara sadis: Penembakan Misterius (Petrus).
Petrus dialamatkan kepada preman ataupun pelaku kriminal di sejumlah kota. Ibarat pembunuh berdarah dingin, mereka yang dicurigai –biasanya bertato– akan menghadapi ajal tanpa melewati proses pengadilan. Laman utama suratkabar pada awal 1980 acapkali memberitakan tentang pentolan penjahat yang tewas mengenaskan. Mayat mereka ditemukan dalam keadaan tertembak, tangan terikat, ataupun diringkus dalam kardus.
Baca juga: Petrus: Kisah Gelap Orba
Presiden Soeharto sebenarnya tak pernah mengetahui tentang Petrus. Benny Moerdani, kata Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998, sengaja menutupi peristiwa berdarah ini agar Soeharto lepas dari tanggung jawab. Benny membungkam perihal Petrus kepada siapapun.
“Ia tahu bahwa ini sebuah preseden buruk dan dia tahu juga bahwa sesuatu yang buruk seperti ini sebaiknya tak diungkap,” tulis Jusuf.
Namun dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto justru mengatakan bahwa dirinya mengetahui pembunuhan-pembunuhan itu. “Itu untuk shock therapy, terapi goncangan,” aku Soeharto. Menurutnya, pembunuhan demikian bisa dibenarkan untuk memutus rantai kriminalitas.
Baca juga: Balada Benny dan Nyonya Cendana
“Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu," ujar Soeharto. “Maka kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikan itu.”
Menurut Jusuf, Benny berusaha melindungi Soeharto. Alih-alih berterima kasih, Soeharto sendiri yang kemudian ingin mendapatkan pengakuan atas jasa Benny. “Benny terperangkap di tengah,” kata Jusuf. “Ia berusaha melayani atasannya dengan setia, tetapi ia kalah pamor.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar