Balada Benny dan Nyonya Cendana
Ketatnya pengamanan Benny Moerdani terhadap Soeharto bikin Ibu Tien resah dan risih.
Benny Moerdani begitu terpukau saat memasuki Masjidil Haram untuk kali pertama sekaligus terakhir dalam hidupnya. Pengalaman Benny itu agak janggal dan tak seyogianya. Pasalnya, Si Jenderal Intel ini beragama Katolik. Sedangkan Tanah Haram, yang letaknya di sekitar Makkah dan Madina adalah kawasan suci dan dimuliakan umat Islam.
Kesempatan itu bisa terjadi karena Benny diikutsertakan mengawal Presiden Soeharto beserta keluarganya dalam ibadah umroh tahun 1978. Benny tak bisa disalahkan. Soeharto seharusnya mengingatkan para pengawal yang bukan Muslim seperti Benny supaya cukup berjaga di batas suci. Atau lebih baik tak dilibatkan sekalian.
Sepulangnya ke tanah air, Benny membawa oleh-oleh tuturan pengalaman. Benny menceritakan kisahnya kepada anggotanya di markas Badan Intelijen Strategis (BAIS) di Tebet selama bertugas mengawal presiden dan keluarganya di jazirah Arab. Lantaran kagum pernah berada di sekitar Ka’bah, Benny menganjurkan anak buahnya yang Muslim agar menyempatkan diri berziarah ke tanah suci tersebut.
“Karena percayanya Pak Harto kepada Pak Benny, Presiden tak hanya meminta Benny sebagai Asisten Intel, tapi juga untuk mengamankan keluarganya,” kata Teddy Rusdy, mantan staf Benny Moerdani kepada Salim Said dalam suatu wawancara pada 2010..
Baca juga: Penjaga Setia Penguasa Orde Baru
Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, untuk urusan keselamatan Soeharto, Benny tak pernah mempercayakannya kepada orang lain. Ke mana Soeharto pergi, Benny turut ikut. Sekalipun dalam acara keluarga di kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Benny enggan mengendorkan pengamanannya. Meski tanpa undangan, Benny bahkan hampir selalu hadir dalam hajatan keluarga Soeharto. Alasannya tak dapat ditampik: demi keamanan presiden.
Jurnalis senior Julius Pour menuturkan bagaimana Benny menguntit Soeharto dan keluarganya saat mudik rutin ke Jawa Tengah. Setiap kali Soeharto berkunjung ke makam keluarga di Astana Mengadeg, Kabupaten Karanganyar, maka Benny selalu mengikuti konvoi dari Solo Mengadeg.
“Dengan naik helikopter yang terus menerus mengapung, Benny membayangi perjalanan sekaligus agar bisa memberikan rasa aman kepada Pak Harto,” tulis Julius Pour dalam biografi Benny: Tragedi Seorang Loyalis.
Konon Nyonya Cendana aliasTien Soeharto, ungkap Salim Said, pernah mengeluhkan kegiatan pengamanan Benny itu sebagai mengganggu privasi keluarga. Benar demikian?
Jusuf Wanandi, orang dekat Benny di lembaga CSIS, dalam memoarnya menuturkan bahwa Ibu Tien sebenarnya menyukai dan mempercayai Benny. Keduanya sama-sama berasal dari Solo. Benny sendiri sangat memperhatikan Ibu Tien.
Pertalian karib itu setidaknya terlihat pada 1987, ketika menjabat Panglima ABRI, Benny memberikan penghargaan medali Bintang Gerilya kepada Ibu Tien. “Presiden Soeharto sangat senang,” sebagaimana dicatat Retnowati Abdulgani-Knap dalam Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President.
Dapat dimaklumi bila Benny sering menemani Soeharto sekeluarga dalam liburan ke Bali maupun Solo setiap tahun. Menurut Jusuf, Tien Soeharto barangkali tak paham pertarungan politik. Lagipula Soeharto tak pernah menceritakannya.
“Mungkin Ibu Tien pernah mendegar keluhan anak-anaknya dan mungkin saja ia dipengaruhi mereka,” kata Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia.
Dan memang pada akhirnya, persoalan mengenai tabiat anak-anak Soeharto inilah yang menyebabkan Benny Moerdani terpental dari hadapan Soeharto di kemudian hari.
Baca juga:
Loyalis yang Disingkirkan
Raja Intel Salah Parkir
Tambahkan komentar
Belum ada komentar