Pembantaian Nazi di Biara Ardennes
Tak ingin direpotkan oleh penanganan tawanan, serdadu SS Nazi bantai tawanan asal Kanada usai pendaratan Normandia.
Usai mengintai wilayah antara Bandara Carpiquet dan Desa Rots di barat Caen, Normandia, Prancis pada 8 Juni 1944 pagi, Prajurit Jan Jesionek kembali ke markas Resimen di Biara Ardennes. Remaja 16 tahun asal Polandia yang diwajibmiliterkan oleh Nazi dan ditempatkan di Kompi Intai ke-15 Resimen Panzer Grenadier ke-25 Divisi Panzer SS ke-12 “Hitler Jugend” itu mencoba mencari kendaraan agar bisa kembali ikut ke dalam patroli. Dia akhirnya mendapatkan sebuah sepeda motor.
Sial, dari pemeriksaan singkat didapati sepeda motor itu ternyata tak layak jalan. Jesionek pun terpaksa menunggu perbaikan sepeda motornya itu. Ketika perbaikan selesai menjelang tengah hari, Jesionek melihat dua prajurit SS mengawal tujuh tawanan asal Kanada menuju halaman biara. Ketujuh tawanan itu merupakan personel Resimen North Nova Scotia Highlanders (NNSH) dari Brigade ke-9 Divisi Infanteri ke-3 Kanada.
NNSH mendarat di pantai Juno, Normandia pada 6 Juni 1944 (D-Day). Bersama Resimen Lapis Baja ke-27 “Sherbrooke Fusiliers”, NNSH melanjutkan gerak majunya ke selatan keesokan harinya dari Villons-les-Buisson. Kedua resimen menempati sisi terkiri lantaran Brigade Infantri ke-185 AD Inggris yang –maju dari pantai Sword– diplot melindungi dari kiri, terhenti langkahnya. Akibatnya, ada celah kosong di sayap kiri pasukan Sekutu.
Kendati rentan, kedua resimen tetap maju menuju Bandara Carpiquet di pinggiran kota Caen melalui Authie dan Buron. Tak ada perlawanan dalam gerak maju itu. Sesaat setelah tengah hari, mereka telah mencapai muka Carpiquet. Optimisme menjalari para prajurit Kanada.
Namun, optimisme pasukan Kanada itu tak tepat. Divisi SS ke-12 “Hitler Jugend” telah menunggu dengan Resimen Panzer Grenadier SS ke-25 pimpinan Standartenfuhrer Kurt Meyer dan 50 tank Panzer IV Resimen Panzer ke-12 pimpinan Obersturmbannfuhrer Max Wunsche. Bertekad melaksanakan perintah Hitler agar Caen dipertahankan hingga babak akhir, mereka siap untuk bertempur sampai titik darah penghabisan.
“Kami ingin bertempur. Kami siap untuk memberikan hidup kami,” kata Meyer dalam memoarnya yang berjudul Grenadiers: The Story of Waffen SS General Kurt “Panzer” Meyer.
Meyer terus mengamati gerak maju pasukan lawan dari markasnya di Biara Ardennes. Laporan dari unit-unit pengintainya terus dia ikuti.
“Hanya ada aktivitas kecil di sektor divisi, tetapi pengintaian medan taktis Kanada sangat terlihat. Patroli pengintai terus-menerus memeriksa Carpiquet dan tepi barat lapangan terbang. Ada kesan di dalam divisi (Jerman, red.) bahwa Kanada merencanakan serangan terhadap Carpiquet untuk membuka bagian depan utara Caen,” sambung Meyer.
Meyer mengkonsentrasikan pasukannya di sisi terbuka pasukan Sekutu yang gagal diisi Brigade ke-185 AD Inggris. Tak lama setelah tengah hari, pasukan Meyer pun menyergap dua resimen Kanada tadi. Pertempuran sengit pecah di Authie dan Buron. Korban dari kedua belah pihak amat besar.
“Tentara yang tewas, sekarat, dan terluka, baik dari Kanada maupun Jerman, tergeletak di medan tempur yang penuh lubang. Menghiasi lanskap adalah banyak tank rusak, lambungnya yang hangus masih menyemburkan awan asap hitam tebal. Cordite (bahan peledak tak berasap) dan bensin yang terbakar membuat udara berbau tajam, mengakibatkan sulit untuk bernapas,” tulis sejarawan Howard Margolian dalam Conduct Unbecoming: The Story of Canadian Prisoners of War in Normandy.
Pasukan Meyer tak hanya berhasil memukul mundur dua resimen Kanada ke titik pemberangkatan awal, namun juga menawan banyak prajurit Kanada. Para tawanan itu lalu dibawa ke berbagai tempat penahanan, termasuk ke markas Meyer Biara Ardennes.
Baca juga: Saat Tentara Kanada Dibantai Nazi
Mayor John Donald “Don” Learment dari NNSH merupakan salah satu dari tawanan itu. Dia bersaksi bahwa perlakuan yang diterima dirinya dan rekan-rekan tawanan asal Kanada dari pasukan Jerman tidak manusiawi. Sewaktu dia dan tawanan lain digelandang ke tempat penahanan, sebuah truk militer Jerman tiba-tiba datang dan menabrak barisan belakang barisan tawanan. Dua prajurit Kanada tewas seketika, sementara beberapa lainnya luka parah. Tanpa rasa perikemanusiaan, para prajurit Divisi Hitler Jugend di atas truk itu langsung menertawakan para tawanan Kanada sembari mencemooh. Sikap tak manusiawi dan melanggar Konvensi Jenewa itu bukanlah spontanitas, melainkan order.
“Pada awal April 1944, sebelum divisi tersebut pindah dari kamp pelatihannya di timur laut Antwerpen, Belgia, ke Prancis untuk mengantisipasi invasi Sekutu, Hitlerjugend dilaporkan menerima serangkaian perintah rahasia. Mereka diharapkan berjuang sampai mati dan tidak pernah menyerah; warga sipil Prancis harus diperlakukan dengan kejam jika menunjukkan tanda-tanda pembangkangan atau penghinaan; dan, yang terpenting dalam hal ini, tidak boleh ada tawanan. Ingatan individu berbeda mengenai apakah arahan memerintahkan pasukan musuh yang ditangkap untuk ditembak di luar kendali atau diinterogasi dan kemudian dieksekusi. Tapi jelas aturannya adalah bahwa nyawa para tawanan tidak berharga,” tulis sejarawan Bob Gordon dalam “Dirty Deeds on D-Day” yang dimuat di historynet.com, Mei 2018.
Baca juga: Pembantaian Nazi di Gua Ardeatine
Perintah rahasia itu membuat pembunuhan telah dilakukan para serdadu Jerman-Nazi terhadap para tawanan pada hari-hari awal pertempuran. Prajurit Lorne Brown dari Peleton ke-7 Kompi A NNSH salah satu yang mengalami nahas itu. Setelah posisi kesatuannya diserbu, pria 22 tahun asal Springhill, Nova Scotia yang tangan kirinya remuk itu berupaya keluar dari parit persembunyian untuk menyerah. Seorang serdadu Jerman langsung menghampirinya sambil menghardik dan mengambil senjatanya saat Brown berupaya berdiri. Brown yang kebingungan lalu ditusuk bayonet hingga kembali jatuh. Dalam keadaan tak berdaya itu, Brown diinjak lars lehernya kemudian ditusuk bayonet sebanyak delapan kali hingga meregang nyawa.
Brown hanyalah satu dari belasan atau bahkan puluhan prajurit sial yang dibunuh serdadu Jerman dalam posisi sebagai tawanan usai pertempuran atau dalam perjalanan menuju tempat penahanan. Di Biara Ardennes tempat Meyer bermarkas, para prajurit Kanada juga mengalami nasib serupa. Beristirahat hanya sebentar, mereka kemudian diperintahkan maju oleh sekelompok serdadu Jerman yang datang meminta 11 sukarelawan secara acak. Kesebelas sukarewalan yang dipilih secara acak itu lalu diinterogasi dan digeledah barang bawaan mereka. Usai interogasi, satu persatu tawanan-sukarelawan itu digelandang ke taman biara. Di sanalah enam tawanan-sukarelawan menemui ajal mereka akibat dipukul popor senjata. Sementara, sisa empat tawanan lain tewas akibat ditembak di kepala.
Tahu ataupun tidak akan pembunuhan itu, malamnya Meyer mengeluhkan pada para bawahannya mengenai banyaknya tawanan yang ada markasnya. “Apa yang kita inginkan dari para tawanan ini? Mereka hanya mengurangi jatah ransum kita,” kata Meyer, dikutip Gordon.
Baca juga: Heydrich, Jagal Nazi Berhati Besi
Keluhan Meyer itulah yang membuat beberapa penjaga tawanan menggiring tujuh tawanan dari NNSH ke halaman biara esoknya (8 Juni) menjelang tengah hari. Mereka yang digiring adalah Prajurit Walter Doherty, George McNaughton, George Millar, Hugh MacDonald, Raymond Moore, Reg Keeping, dan Thomas Mont.
Tak jauh dari mereka, Prajurit Jesionek yang sedang menyelesaikan perbaikan sepeda motornya, melihat jelas adegan itu. Dari halaman, para tawanan itu lalu dibawa ke sebuah kandang di sebelah biara. Jesionek lalu didatangi salah satu pengjaga tawanan itu dan ditanyai di mana komandan. Jesionek lalu mengantar personel itu ke pintu masuk biara di mana Meyer sedang berdiri bersama beberapa perwiranya. Jesionek mendengar Meyer marah setelah mendengar laporan si pengawal namun tak bisa mendengar omongan pengawal ke rekannya.
Jesionek kembali ke sepeda motornya begitu kerumunan di markas Meyer bubar. Ketika hendak mencuci tangannya yang penuh oli ke wastafel di dekat kandang, Jesionek melihat perwira yang diajak Meyer ngobrol sedang menginterogasi tujuh tawanan Kanada. Perwira itu menertawai serdadu yang menangis ketakutan, namun segera pergi karena tak berhasil mendapatkan hal yang dicarinya dari interogasi dan pemeriksaan surat-surat para tawanan.
Jesionek yang penasaran, berupaya terus memperhatikan. Beberapa menit kemudian, salah satu nama tawanan dipanggil petugas kawal. Tawanan yang belum mendapat panggilan menyadari ajalnya telah dekat sehingga mereka saling memeluk dengan rekan-rekannya untuk saling menguatkan. Satu persatu tawanan akhirnya dipanggil semua.
Baca juga: Pembantaian Nazi di Kedros, Yunani
“Tawanan yang dipanggil harus berjalan dari kandang ke lorong yang menuju ke taman. Di sana penjaga yang ditempatkan di pintu masuk mengarahkannya ke dalam, ke kiri. Begitu tahanan berbalik, NCO yang berdiri di dalam mengangkat pistol mesinnya dan menembak ke belakang kepala korbannya. Prosedur berdarah dingin dan kejam ini diulangi untuk masing-masing dari tujuh orang Kanada. Keseluruhan urusan buruk itu membutuhkan waktu setidaknya sepuluh menit untuk diselesaikan. Sekali atau dua kali, ketika tembakan pertama tidak berakibat fatal, tangisan, kemudian tembakan lagi, bisa terdengar. Ketika semuanya selesai, algojo keluar dari taman dan dengan santai mengisi ulang senjatanya,” tulis Margolian. “Dan mereka (pembunuhan-pembunuhan itu) hanya permulaan. Selama beberapa hari berikutnya, rekan-rekan komandan Meyer, seolah-olah dengan intuisi atau insting, akan dengan bersemangat mengikuti teladannya.”
Sebanyak 58 tawanan Kanada tewas dibunuh usai pertempuran di Authie dan Buron pada 7 Juni. Jumlah itu hanya sekira sepertiga dari total tawanan Kanada yang dibunuh selama Pertempuran Normandy Juni-awal Agustus 1944.
Jesionek yang memberi kesaksian dalam persidangan Meyer di pengadilan penjahat perang pada Desember 1945, memberatkan terdakwa. Pengadilan memvonis Meyer hukuman mati –yang kemudian diubah menjadi penjara seumur hidup– karena membiarkan pembunuhan terjadi di markasnya meski tak memerintahkan eksekusi langsung.
“Penembakan tujuh tawanan Kanada di Abbaye d'Ardenne pada siang 8 Juni adalah puncak dari periode teror dan kriminalitas yang tak terkatakan. Berbeda dengan pembunuhan Milius, pembunuhan Abbaye d'Ardenne berlangsung dingin, penuh perhitungan, dan sistematis,” tulis Margolian.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar