Mengungkap Kekerasan Militer Belanda di Indonesia
Belanda berulang kali menutupi kekerasan serdadunya saat perang kemerdekaan Indonesia. Kini terbuka ke publik.
Januari 1969, veteran perang Belanda Joop Hueting mengungkapkan kekerasan yang dilakukan para serdadu di Jawa selama perang kemerdekaan Indonesia. Pengakuannya di layar televisi yang ia sebut sebagai kejahatan perang itu menyulut amarah dan keributan publik Belanda.
“Saya melihat kampung-kampung dipenuhi peluru, sementara tak seorang pun saat itu mengerti alasan militer dibutuhkan,” ujarnya.
Pernyataan Joop Hueting itu disisipkan dalam tayang video Meindert van der Kaaij yang merilis laporan penelitian “Dampak Operasi Militer di Indonesia 1945-1950”, salah satu bagian dalam presentasi daring hasil program penelitian “Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945-1950”, pada 17 Februari 2022.
Meindert, jurnalis di harian Belanda Trouw, juga turut mengerjakan penelitian dampak politik setelah perang dekolonisasi di Indonesia. Ia mengungkapkan bagaimana para aktor politik Belanda selama puluhan tahun menutup rapat kekerasan di masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Bagi Belanda, kekerasan itu sebuah mimpi buruk. Orang-orang kabinet di bawah Perdana Menteri (PM) Willem Drees bekerja keras melupakan mimpi buruk itu. Laporan Van Rij en Stam yang dibuang ke kotak arsip, salah satu tindakan nyata untuk melupakan peristiwa itu.
Meindert bahkan mengungkapkan, rencana penyelidikan yang telah direncanakan parlemen dibatalkan. Sejarawan yang ingin mempelajari peristiwa ini tidak diizinkan.
Arsip tentang periode dekolonisasi itu benar-benar ditutup oleh pemerintah Belanda saat itu. Willem Drees tak ingin sejarah itu ditulis. “Sejarah harus ditulis suatu hari nanti, tapi tidak sekarang,” ungkap Meindert mengutip Drees.
Dalam risetnya, ia mengungkapkan bahwa sejarah di masa perang itu dianggap terlalu menyakitkan. Para jurnalis yang pernah bekerja di Indonesia selama perang juga enggan untuk menulis masalah tersebut setelah 1950. Hingga 1960-an, peristiwa kekerasan perang kemerdekaan Indonesia telah tertutup rapat dari masyakat di Belanda.
Kesunyian itu kemudian pecah. Mantan serdadu perang Joop Heuting di layar televisi Belanda menceritakan praktik-praktik kekerasan dan kejahatan perang di bekas Hindia Belanda. Ia bersama rekan tentaranya menggunakan senjata otomatis membunuhi tahanan perang sekaligus.
Aksi itu bukan dalam kontak senjata dengan musuh. Ia mendapati tentara berulangkali menembaki penduduk tidak dalam situasi menghadapi serangan musuh.
Joop Hueting dikirim ke Hindia Belanda sebagai tentara pada usia 19 tahun. Penugasannya dijalankan di daerah Jawa Timur pada 1947 dan berlanjut ke Yogyakarta pada 1948. Usai perang, batinnya masih berkecamuk. Sekitar 22 tahun memendam kisah hidupnya sebagai tentara perang, ia mengungkapkan peristiwa yang dianggap tabu itu.
"Kami sampai di sebuah kampung melalui kampung lain yang di tengah-tengahya memiliki sebuah rumah yang besar dengan tembok kayu. Dua orang dari kami, seorang kopral dan seorang serdadu, masuk ke dalam dan kopral mengosongkan Schmeissernya, sebuah pistol ringan…,” kata Joop Heuting dengan mata berkaca-kaca.
“Saya masuk ke dalam dan dalam keadaan separuh gelap gulita saya melihat 15, 20 orang, wanita, anak-anak, dan pria mendekam di sebuah tumpukan. Dan saat mata saya sudah bisa beradaptasi dengan gelap, saya melihat darah menyembur dari luka arteri, mendengar jeritan-jeritan, penderitaan mendalam menjelang ajal dan teriakan-teriakan sekarat dari orang-orang dalam rumah itu,” sambungnya.
Dalam situasi itu, dia lalu diteriaki para tentara yang di luar. “Hei, awas kawan, kau menembaki kami menembus tembok!," kata Heuting mengenang peristiwa itu.
Kesaksian Heuting, yang saat itu berusia 30-an tahun, membunyikan “alarm” di antero negeri Belanda. Kegemparan terjadi dan publik terguncang setelah tahu kejahatan perang Belanda di bekas Hindia Belanda. Setelah kesaksian itu, ia dan Jacob, editor Achter het Nieuws yang menyiarkan wawancara, mendampatkan banyak ancaman. Heuting pun harus bersembunyi.
Dampak Politik Pasca Kesaksian Hueting
Menurut Meindert, sesudah keributan besar akibat kesaksian Hueting memaksa kabinet De Jong melakukan studi singkat, dituangkan dalam Excessennota. Dalam catatan itu, PM Petrus Jozef Sietse ‘Piet’ de Jong menyimpulkan tindakan kekerasan itu merupakan ekses dan tindakan tentara itu secara keseluruhan tidak harus disalahkan. Ia juga menghentingkan penyelidikan kriminal atas kekerasan ektrem, penyelidikan parlemen, dan penelitian sejarah masalah kekerasan itu.
Meindert mengungkapkan, De Jong justru memerintahkan studi mengenai hubungan diplomatik selama perang dan memastikan bahwa kejahatan perang yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia akan ditentukan, tidak seperti kejahatan perang yang dilakukan tentara Jepang dan Jerman.
Sejak itu, kegemparan pun mereda dan terkendali. Ada beberapa proyek penelitian tentang kekerasan Belanda di Indonesia yang dilakukan. Antara lain oleh Van Doorn dan Hendrix, dan Willem Ijzereef tentang peristiwa Sulawesi Selatan. Tetapi semua tak mengundang keributan lagi sehingga terlewati begitu saja.
Kasus kekerasan tentara Belanda itu pun kembali bisa di-peties-kan untuk sementara.
Pada 1987, sejarawan Loe de Jong muncul menaikkan tensi ketegangan. Lewat bukunya mengenai Perang Dunia Kedua, ia membuat para veteran murka. Momen ini kemudian memaksa studi yang pernah dilakukan Piet De Jong ditinjau lagi.
Sejarawan Loe de Jong, menurut Meindert, telah membawa angin perubahan dan situasi itu dimanfaatkan oleh para veteran perang untuk meraih simpati dari publik Belanda. Mereka berhasil menampilkan diri sebagai korban yang bergumul dengan trauma, yang kemudian mendapatkan tunjangan-tunjangan.
Meindert mengatakan veteran perang yang berhasil menunjukkan diri sebagai korban menjadi kerentanan dalam politik di Belanda. Saat yang sama, politik haluan kiri membuka diri untuk permintaan maaf terhadap aksi kekerasan ekstrem itu dan mengakui 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Penelitian Dekolonisasi Belanda Membuka Perdebatan Baru
Gerakan politik kiri Belanda ini berujung pada kesediaan Ratu Beatrix menerima undangan Presiden Soeharto untuk menghadiri perayaan 50 tahun kemerdekaan RI di Jakarta. Tetapi, kelompok veteran perang berhasil meyakinkan PM Ruud Lubbers bahwa kunjungan itu akan merugikan banyak orang. Lobi itu berhasil dan membatalkan misi Ratu Beatrix saat kunjungan ke Jakarta.
Kemelut tentang pengungkapan kasus kejahatan perang Belanda pada masa dekolonisasi menemukan titik baliknya setelah publik Belanda dikejutkan kesaksian dan aksi para penyintas perang di desa Rawagede pada 1995. Aksi pembantaian penduduk di Rawagede oleh tentara Belanda pada 1947 itu disiarkan ke layar kaca Belanda. Saat itu suara korban betul-betul nyata diketahui publik di Belanda.
Perlahan namun pasti, kesadaran akan kekerasan ekstrem pada perang di Indonesia mendapatkan perhatian. Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot pada 2005 berkunjung ke Jakarta dan dengan resmi mengakui tanggal kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ia juga mengakui bahwa Belanda tengah berada di sisi sejarah yang salah dalam peristiwa perang tersebut.
Baca juga: Kekerasan Seks Serdadu Belanda
Kesadaran masyarakat dan pemerintah Belanda terhadap masalah kekerasan tentara Belanda pada perang kemerdekaan semakin menguat setelah gugatan keluarga korban peristiwa Rawagede diterima oleh pengadilan di Belanda pada 2011. Hakim memutuskan Pemerintah Belanda untuk meminta maaf dan membayar ganti rugi kepada keluarga korban.
Sejak itu, topik dekolonisasi, perang kemerdekaan, dan revolusi Indonesia menjadi perbincangan publik secara terbuka. Hasil penelitian sejarawan Remmy Limpach tentang Kekerasan Esktrem di Indonesia yang terbit pada 2016 berdampak nyata secara politis untuk menyelidiki kekerasan struktural aksi militer Belanda setelah kemerdekaan Indonesia.
Pada 2017, Pemerintah Belanda memutuskan untuk mendanai tiga lembaga penelitian: KITLV, NIMH, NIOD, untuk program penelitian dengan topik “Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945-1949”. Penelitian ini berlangsung sekitar lima tahun, melibatkan peneliti dan sejarawan di Belanda dan Indonesia. Hasilnya berupa 14 buku dari delapan subbagian topik penelitian.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar