Menak Pemberontak dari Jampang Manggung
Seratus tahun sebelum Perang Jawa, Raden Alit alias Haji Prawatasari pernah mengobarkan perlawanan terhadap VOC di barat Jawa.
Parit di kaki Gunung Jampang Manggung, Cikalong Kulon itu memanjang bak ular raksasa. Tak ada seorang pun yang tahu pasti sejak kapan sungai kecil berbatu itu ada, kecuali beberapa penduduk yang usianya sudah menanjak senja.
“Kakek saya bilang itu bekas tempat pertahanan pasukan Haji Prawatasari saat melawan Belanda ratusan tahun lalu,” ujar Aza, lelaki berusia 82 tahun.
Nama Haji Prawatasari bukanlah mitos. Setidaknya ada beberapa dokumen dan arsip-arsip berbahasa Belanda yang menyebut sepakterjang menak Sunda yang memiliki nama kecil Raden Alit itu. Arsip-arsip tersebut pernah dinukil oleh Jan Breman, salah satu sejarawan Belanda terkemuka. Dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa; Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870, Breman menyebut Haji Prawatasari sebagai “ulama fanatik” yang mengobarkan perlawanan terhadap “orang asing tak beragama”.
“Pada tahun-tahun pertama dari abad ke-18, (gerakan) Prawatasari menyebabkan gangguan besar di Priangan,” ungkap Breman.
Siapakah sebenarnya Haji Prawatasari?
*
Hingga kini, belum ada penelitian sejarah yang bisa memastikan secara sahih mengenai silsilah Haji Prawatasari. Cerita tutur tinular umumnya menyebut Haji Prawatasari merupakan menak keturunan raja-raja Sunda dari wilayah Panjalu (Ciamis). Ada juga yang menyebutnya sebagai bangsawan keturunan Kerajaan Sumedanglarang.
Namun selain versi di atas, ada satu hikayat yang cukup logis dan bisa ditelusuri mengenai asal muasal karuhun dari Haji Prawatasari. Adalah Aki Dadan (82), salah seorang tokoh budayawan Cianjur yang mendapat cerita tersebut secara turun temurun dari karuhun-nya.
“Silisilah Haji Prawatasari sebenarnya tidak jauh-jauh. Dia masih keturunan Dalem Cikundul yang merupakan ayah dari bupati pertama Cianjur yakni Aria Wiratanu I,” ujar lelaki yang masih keturunan langsung dari Ayah Enggong, salah seorang pengikut Haji Prawatasari.
Menurut Aki Dadan, Prawatasari lahir pada sekitar tahun 1679. Ia merupakan putra tunggal Aria Wiratanu I alias Dalem Cikundul dengani isteri keduanya Dewi Amriti, putri Patih Kerajaan Jampang Manggung (sebuah kerajaan kecil yang letaknya di kaki Gunung Mananggel, Cianjur).
Baca juga: Misteri Kerajaan Jampang Manggung di Cianjur
Kendati dilahirkan di keraton Jampang Manggung, sampai umur 8 tahun Prawatasari dibesarkan bersama dua kakaknya se-ayah (Raden Aria Wiramanggala dan Raden Aria Cikondang) di Kadaleman Cikundul. Dari keduanya, Prawatasari belajar ilmu kanuragaan dan kenegaraan.
“Namun ada kecenderungan, Prawata lebih mengidolakan Raden Aria Cikondang, yang ahli perang, dibanding mengidolakan Raden Aria Wiramanggala yang seorang negarawan,” ujar seniman Cianjur terkemuka itu.
Bahkan karena kedekatannya itu, Raden Aria Cikondang sempat mewariskan 12 strategi militer dari Jagabaya (pasukan khusus Kerajaan Pajajaran). Inilah salah satunya yang menjadi modal Haji Prawatasari saat melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda.
Berbeda dengan putera-putera menak pada umumnya, Haji Prawatasari dikenal memiliki pergaulan yang sangat luas di kalangan rakyat. Begitu akrabnya, sehingga waktu masih bocah Prawatasari mendapat panggilan sayang dari khalayak yakni Raden Alit (anak terkecil).
*
Pada 1691, Raden Wiramanggala diangkat menjadi penguasa Cianjur dengan gelar Aria Wiratanu II. Di bawah putra Aria Wiratanu I itu, Cianjur resmi menjadi bagian dari kekuasaan Belanda (yang diwakili oleh VOC).
“Kedatangan utusan VOC yang bernama Kapten Winckler segera diikuti pengakuan VOC terhadap dalem Cianjur Aria Wiratanu II sebagai regent (bupati) Cianjur,” ungkap Reiza D.Dienaputra dalam Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg.
Penggabungan wilayah Cianjur ke dalam kekuasaan VOC memutlakan beberapa kewajiban yang diberlakukan Batavia kepada wilayah-wilayah bawahannya. Sejak itulah Cianjur harus menyerahkan beberapa produk-nya seperti belerang dan tanaman wajib yakni nila (tarum) dalam jumlah tertentu kepada VOC.
Baca juga: Terbunuhnya Mitra Dagang VOC
“Dalam pelaksanaan di lapangan, Bupati Cianjur menyerahkannya kepada Raden Alit...” tulis sejarawan Nina Lubis dalam dalam sebuah makalah berjudul “Sepenggal Kisah Awal Abad ke-18: Haji Prawatasari versus Kompeni”.
Awalnya Prawatasari melaksanakan titah sang kakak dengan baik. Karena pengaruhnya yang besar di kalangan rakyat (terutama rakyat Jampang Manggung), segala perintah yang dikeluarkan Prawatasari dituruti sepenuh hati.
Namun lambat-laun, pelaksanaan kerja paksa dan wajib tanam nila terasa semakin memberatkan rakyat. Keluh kesah dan ketidakpuasan terhadap sang bupati yang hanya memosisikan diri sebagai alat VOC mulai muncul. Menurut Nina, meskipun ada dalam situasi dilematis pada akhirnya Prawatasari memutuskan untuk mengajukan usul dan protes keras kepada Aria Wiratanu II.
“Tentu saja usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Bupati Cianjur, karena (menuruti usulan Prawatasari) bisa-bisa ia dituduh tidak loyal kepada kompeni dan (malah) bisa dicopot jabatannya,” ungkap Nina Lubis.
*
Penolakan Aria Wiratanu II menyebabkan rakyat Jampang Manggung hilang kendali. Memasuki 1703, sebagai tanda protes, para petani melakukan boikot pengambilan belerang dari kawasan Gunung Gede dan membakar lahan kebun tarum secara massif. Prawatasari pun menjadi tertuduh utama biang di balik aksi tersebut.
“Seorang utusan bernama Cakrayudha lantas dikirim oleh Bupati Cianjur untuk menyelesaikan insiden itu,” kata Nina.
Alih-alih menuntaskan masalah, pertemuan Cakrayudha-Prawatasari malah berujung bentrok fisik. Bupati Cianjur marah. Ia lalu mengerahkan sejumlah tentara-nya untuk menangkap sang adik. Namun upaya itu gagal total, karena Prawatasari dibela habis-habisan oleh masyarakat Jampang Manggung dan Cikalong Kulon.
Sejarawan Jan Breman menyebut kehadiran Haji Parawatasari dalam kekisruhan di Cianjur bukanlah sebuah kebetulan. Sebagai seorang haji pengembara, Prawatasari memiliki jaringan yang cukup luas dengan beberapa ulama fanatik di Jawa Timur terutama dari wilayah Giri.
“Ia memang sengaja dikirim oleh ulama fanatik di wilayah tersebut ke dataran tinggi Sunda dengan tugas melakukan perlawanan terhadap penjajah baru,” ujar Breman.
Baca juga: Kisah Leluhur Walisongo
Pasca Insiden Cakrayudha, hubungan Jampang Manggung-Cianjur ada dalam situasi yang kritis. Dengan dukungan VOC di Batavia, Aria Wiratanu II yang tetap mengincar Prawatasari lantas menyiapkan penyerbuan yang lebih terencana ke Jampang Manggung.
Prawatasari sendiri merespon sikap Cianjur dengan melakukan mobilisasi umum di kalangan masyarakat Jampang Manggung dan sekitarnya. Perekrutan kaum lelaki untuk menjadi bagian dari pasukan gerilya melawan VOC-Cianjur terus digalakan dan mendapat sambutan baik dari masyarakat.
Maret 1703, sekira 3.000 orang (terdiri dari sebagian kecil menak, petani dan jawara) berhasil direkrut oleh Haji Prawatasari untuk menjadi gerilyawan. Mereka lantas menyerang tangsi-tangsi tentara kompeni di pusat kota Cianjur.
“Dengan modal taktik-taktik lawas peninggalan militer Kerajaan Pajajaran, kekuatan pasukan gerilya Haji Prawatasari bergerak seolah tak terbendung,” tulis sejarawan Gunawan Yusuf dalam Mencari Pahlawan Lokal.
Setelah melalui berbagai bentrokan kecil dengan pasukan kompeni, awal Maret 1704, bataliyon-bataliyon (satu bataliyon= 700-1000 prajurit) pasukan Haji Prawatasari bergerak menyerang titik-titik vital militer VOC di Bogor, Tangerang dan beberapa kawasan Priangan Timur seperti Galuh, Imbanagara, Kawasen dan daerah muara Sungai Citanduy. Sesekali mereka juga melakukan gangguan-gangguan kecil di pinggiran Batavia. (Bersambung)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar