Terbunuhnya Mitra Dagang VOC
Seorang bupati Cianjur tewas dalam suatu kekisruhan yang dipicu amuk para petani kopi. Kisah pembunuhannya beredar sebagai drama cinta.
MAKAM tua berukuran sekira 1x2 meter itu tersudut di Komplek Pemakaman Pamoyanan, Cianjur. Permukaanya yang dibeton seolah pintu raksasa yang terhampar di tanah. Ada nama tertera di nisannya: Raden Kanjeng Dalem Aria Wiratanu Datar IV (Dalem Dicondre).
“Beliau ini bupati ke-2 Kabupaten Cianjur,” ujar Pepet Johar, salah seorang pemilik sekaligus pengelola Museum Bumi Ageung Cianjur.
Berbeda dengan keterangan di nisan tersebut, sumber-sumber tertulis mengenai Cianjur menyebutkan bahwa Dalem Dicondre adalah Aria Wiratanu Datar III bukan Aria Wiratanu Datar IV. Keterangan tersebut misalnya disebutkan dalam buku berbahasa Sunda, Sejarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur karya Bayu Surianingrat.
Aria Wiratanu Datar III sejatinya bernama Raden Astramanggala. Dia merupakan putra sulung (dari 14 anak) Aria Wiratanu Datar II (Bupati Cianjur pertama). Raden Astaramanggala naik tahta menggantikan sang ayah pada 1707.
“Pada era pemerintahan Aria Wiratanu III, ibu kota Kabupaten Cianjur dipindahkan dari Pamoyanan ke Kampung Cianjur,” ungkap Reiza D. Dienaputra dalam Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg.
Distributor Kopi Terbesar
Dalam beberapa catatan sejarah, Aria Wiratanu Datar III tersohor sebagai mitra dagang VOC yang paling setia. Adalah komoditas kopi yang menjadi andalannya untuk berbisnis dengan Maskapai Dagang Hindia Timur tersebut. Begitu puasnya VOC dengan pelayanan Aria Wiratanu Datar III hingga dua gubernur jenderal VOC yakni Christoffel van Swol (1713--1718) dan Hendrick Zwaardecroon (1718--1725) menghadiahinya wilayah-wilayah baru: Distrik Jampang dan Distrik Sagara Kidul.
Baca juga: Kopi Jawa Bikin Kecanduan Orang Eropa
“Dia pun mendapat gelar bekende grooten koffi leverancier (distributor besar kopi yang termasyhur),”tulis Otto van Ress dalam Overzigt van de Geschhiedenis der-Pranger Regentschappen (Sejarah Para Bupati Priangan).
Berbeda dengan pandangan para pejabat VOC, sebagian besar rakyat (terutama para petani kopi) justru menyimpan kebencian kepada Aria Wiratanu Datar III. Rupaya sikap keras Aria Wiratanu Datar III terhadap para petani kopi menjadi sebab kebencian itu muncul.
“Dalam prakteknya, VOC bekerjasama dengan bangsawan lokal (menak dan sentana) untuk menekan massa di bawah,” tulis Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dalam Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870.
Selain itu, dalam menjalankan bisnis kopinya, Aria Wiratanu III dinilai tidak jujur dengan mengambil laba yang terlalu banyak dari para petani. Menurut sejarawan Gunawan Yusuf, harga kopi perpikul yang disepakati adalah 17.50 ringgit. Namun nyatanya, Aria Wiratanu Datar III hanya membayar 12.50 ringgit perpikul. Uang 5 ringgit yang seharusnya menjadi hak para petani kopi itu dimasukannya ke kantong pribadi.
“Karena soal itulah, rakyat lantas tidak puas...,”tulis Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian ke-7.
Amuk Petani Kopi
Suatu senja di tahun 1726, seorang penyusup berhasil memasuki pendopo kabupaten Cianjur. Setelah berhasil menemukan Aria Wiratanu Datar III yang tengah bersantai di katil, secepat kilat dia menancapkan sebilah condre (pisau kecil yang biasa difungsikan sebagai konde rambut) ke lambung sang bupati.
Mendengar teriakan majikannya, seorang pengawal datang. Lantas terjadilah perkelahian seru yang berakhir dengan terbunuhnya sang penyusup. Namun akibat luka tiga tusukan di lambungnya, Aria Wiratanu Datar III sendiri mengalami luka parah dan beberapa jam kemudian (tepatnya setelah magrib), dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Demikian dikisahkan oleh sejarawan Gunawan Yusuf.
Menurut Jan Breman, terbunuhnya Aria Wiratanu Datar III secara tidak langsung terjadi karena adanya keputusan VOC. Pada tahun itu, VOC yang sudah mulai dililit masalah keuangan, menurunkan secara drastis harga beli kopi dari 21 rijksdaalder (ringgit) menjadi hanya 5 rijksdaalder.
“Penghematan itu memancing perlawanan petani,” ungkap Breman.
Baca juga: Rezim Kopi di Priangan
Tidak cukup mengirimkan pembunuh untuk Aria Wiratanu Datar III yang dianggap pro kompeni (VOC), para petani pun secara spartan melakukan perusakan tanaman kopi. Aksi itu dilakukan tentu saja sebagai bentuk protes mereka secara langsung kepada pihak kompeni.
Tidak jelas benar, apakah selanjutnya pemberontakan kaum petani itu cepat ditumpas. Yang jelas usai insiden pembunuhan tersebut (1729), para bupati di Priangan menggunakan cara-cara yang lebih keras untuk mengerahkan penduduk dalam proses penanaman kopi.
Tetapi kerugian di kalangan rakyat tetap saja tidak berbanding lurus dengan kerugian di kalangan para bupati dan VOC. Menurut sejarawan Saleh Danasasmita dalam Sejarah Bogor Bagian I, dalam kenyatannya, dari perdagangan kopi tersebut kas keuangan para pebisnis Belanda tetap mendapat laba besar bahkan hingga masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808—1811). Begitu juga dengan kondisi para bupati.
“Pada waktu meninggal, Bupati Cianjur (Aria Wiratanu Datar III) masih berhak mendapat 26.000 ringgit gulden berikut bunga atas jumlah itu,” ungkap Breman.
Karena Cinta
Hingga kini, kisah terbunuhnya Aria Wiratanu Datar III masih dikenang oleh orang-orang tua di Cianjur. Namun berbeda dengan versi penuturan sejarah yang terdapat dalam arsip-arsip lama, insiden pembunuhan sang bupati itu lebih mengarah kepada motiv cinta sebagai sebabnya.
Adalah Tjoetjoe Soendoesijah (74), salah satu penduduk Cianjur yang meyakini versi tersebut. Menurut nenek dari 6 cucu tersebut, Aria Wiratanu Datar III terbunuh karena faktor kecemburuan seorang pemuda yang calon istrinya akan dinikahi sang bupati.
“Cerita itu saya dapatkan dari nenek saya yang disampaikan secara turun temurun,” ujar Tjoejoe.
Dikisahkan, suatu hari Aria Wiratanu Datar III melakukan perburuan ke daerah Cikembar, Sukabumi. Di sebuah desa terpencil, dia bertemu dengan seorang dara elok bernama Apun Gencay. Sang bupati yang sudah memiliki beberapa istri itu lantas jatuh cinta dan “meminta” Apun Gencay kepada orangtuanya.
Tentu saja Apun dan orangtuanya tidak bisa menolak permintaan Kanjeng Sinuwun Bupati itu. Sebagai cacah kuricah (rakyat kecil) adalah terlarang untuk mengatakan tidak kepada penguasa. Padahal secara pribadi Apun telah memiliki tambatan hati.
Singkat cerita, beberapa hari kemudian saat matahari nyaris tenggelam di sebelah barat, Apun datang ke pendopo kadaleman Cianjur. Namun tidak sendiri. Dia ditemani oleh seorang pemuda yang diakunya sebagai saudara. Begitu sampai di pintu rumah Aria Wiratanu III, nampak sang dalem tengah duduk di katil dalam wajah yang cerah didampingi seorang pengawalnya bernama Ki Purwa.
“Yap kadieu (ayo mendekatlah)…”,”panggil sang dalem.
Dengan kepala menunduk, Apun mendekat ke arah Aria Wiratanu Datar III. Sementara Apun mendekat, seolah tersihir kecantikan Kembang Cikembar itu, kedua mata sang bupati tak berkedip menikmati kemolekan wajah Apun Gencay. Dalam situasi itulah, sang pemuda yang ada di sebelah Apun tetiba menyeruak ke arah Aria Wiratanu Datar III. Sebilah condre terhunus di tangan kanannya.
Demi menghadapi serangan tiba-tiba itu, tentu saja sang bupati terkejut. Namun dia terlambat untuk melakukan tangkisan hingga perutnya menjadi sasaran tusukan condre.
Gerakan kilat sang pemuda membuat Ki Purwa juga terkesima. Barulah setelah dia mendengar jerit Apun dan teriakan majikannya, dia bereaksi. Namun sang pemuda sudah kabur. Maka diikuti oleh beberapa pengawal, Ki Purwa mengejar Lantas terjadilah perkelahian tak seimbang hingga menyebabkan mundurnya sang pemuda ke wilayah alun-alun. Di area terbuka menghadap masjid agung inilah, Ki Purwa berhasil memenggal kepala sang pemuda, yang tak lain adalah tunangan Apun Gencay.
“Saurna mah dugi dicacag diwalang-walang,dagingna di sebar dugi ka tungtung alun-alun palih kaler (Katanya sampai dicincang habis dan dagingnya di sebar sampai ke ujung alun-alun sebelah utara),” tutur Tjoejoe.
Potongan-potongan daging itulah yang konon kemudian dipungguti satu persatu oleh Apun Gencay. Sang Kembang Cikembar memungguti potongan daging kekasihnya seraya meratap. Ratapan itulah yang kemudian mengilhami pujangga Sunda kenamaan Yus Rusyana menulis naskah drama monolog dan cerita pendek berjudul Apun Gencay.
Baca juga: Hikayat Sebuah Lonceng Tua
Tambahkan komentar
Belum ada komentar