Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda
Agresi Militer Belanda II tidak hanya membidik Yogyakarta tapi juga Jawa Timur. Sinergitas AURI dan ALRI bahu-membahu menahan serangan kejutannya.
GERIMIS memayungi Pantai Prigi, Trenggalek, Jawa Timur saat Opsir Muda Udara (OMU) III Hanandjoeddin, komandan Sub Sektor II Pantai Selatan, Detasemen Udara Prigi, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) tengah berjaga bersama pasukannya pada siang 19 Desember 1948. Namun tetiba bukan air hujan saja yang mengguyur tapi juga tembakan dari sebuah kapal penjelajah Belanda.
Menurut Haril M. Andersen dalam biografi Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI, kapal penjelajah Belanda itu sebelumnya sudah mengacak-acak pertahanan pasukan “Kiblik” di pantai Pacitan. Saat siang itu memasuki sekira pukul 13.30, giliran Pantai Prigi yang disasarnya.
“Pantai Pacitan dihujani tembakan dari arah laut pada pukul 11.00. Dua jam kemudian giliran Detasemen Udara Prigi mendapat serangan hebat. Kapal perang (cruiser) Angkatan Laut Belanda itu melepaskan tembakan membabi-buta ke arah pantai,” tulis Haril.
Serangan mendadak kapal penjelajah Angkatan Laut Belanda yang dilakukan dengan gencar itu membuat anggota AURI di pantai kalang kabut. Sebisanya pasukan Hanandjoeddin membalas tembakan dari balik pepohonan di pesisir.
“Ketiadaan meriam pantai membuat pertempuran tidak seimbang. Anggota detasemen pimpinan Bung Anan hanya mengandalkan senjata karaben (senapan, red) di tangan,” sambungnya.
Rupanya patroli dan serangan kapal Belanda itu merupakan bagian dari Agresi Militer Belanda II. Jika pasukan udara dan darat Belanda menggempur Yogyakarta paginya, siangnya giliran Trenggalek yang dibidik kekuatan laut Belanda.
Baca juga: Seragam Batik Tempur Pasukan Hanandjoeddin
Pasukan Gabungan AURI-ALRI Membendung Serangan
Saat serangan kejutan 19 Desember 1948 itu, pasukan AURI di Jawa Timur memang sedang tidak dalam kekuatan penuh. Sepekan sebelumnya, Markas Tertinggi AURI di Yogyakarta memerintahkan pasukan Pangkalan Udara Campurdarat dan Detasemen Udara Prigi untuk melakukan terugval basis atau konsolidasi kubu pertahanan.
“Lantaran upaya terugval basis itu, anggota pasukan Detasemen Parigi yang berjaga di pantai tinggal tersisa 41 orang yang bertugas di bagian selatan (Sub Sektor II Pantai Selatan, red.). Sedang personil yang lain ditarik jauh ke belakang pesisir di sebelah barat, timur, dan utara,” sambung Haril.
Jadi kedudukan pasukan Detasemen Udara Prigi sengaja disebar pada empat penjuru mata angin untuk mengantisipasi serangan. Meski begitu, pasukan Corps Armada IV Angkatan Laut Republik Indonesia (CA IV-ALRI) turut diperbantukan di belakang pasukan Hanandjoeddin.
“Mereka ini anak buah Mayor Laut Seno yang bertugas menjaga keamanan pantai sekitar wilayah Trenggalek dan Tulungagung. Sebelum Agresi Militer Belanda, para anggota ALRI ini sudah bekerjasama dengan anggota AURI dari Detasemen Udara Prigi dalam menghadapi Pemberontakan PKI Madiun (18 September-19 Desember 1948). Tetapi belum hilang rasa penat mengikuti operasi penumpasan PKI Madiun, tiba-tiba Belanda melancarkan Agresi Militer,” tambahnya.
Baca juga: Sepak Terjang Perwira ALRI Madmuin Hasibuan
Antisipasinya memang tak keliru. Hanya saja pasukan gabungan AURI dan ALRI itu tetap kesulitan menahan kejutan gempuran kapal Belanda itu karena ketimpangan persenjataan.
Pasukan gabungan itu mati-matian menghalau serangan kapal Belanda dengan persenjataan seadanya. Namun kapal perang itu tiba-tiba menghilang setelah sekira 15 menit menghujani tembakan.
Dari sekira 41 anggotanya, Hanandjoeddin kehilangan satu anak buahnya, Prajurit Udara II (Prada) Misadji. Ia terluka parah lalu kehabisan darah saat dibawa ke Rumahsakit Campurdarat.
“Belum lima menit sejak Prada Misadji digotong keluar dari lokasi pertempuran, sekonyong-konyong cruiser Belanda muncul kembali di perairan Pantai Prigi. Kemunculan kedua kalinya ini bersamaan dengan tembakan gencar ke arah pantai. Para prajurit Detasemen Udara yang masih berada di pos penjagaan pantai membalas tembakan. Pertempuran kembali terjadi,” ungkap Haril lagi.
Di antara Muntahan peluru kapal Belanda yang nyaris tiada henti itu menggugurkan anak buah Hanandjoeddin yang lain, yakni Prajurit Udara I Sutrisno. Pertempuran kedua itu berlangsung lebih lama, hampir dua jam. Memaksa pasukan AURI dan ALRI mundur teratur ke pedalaman hutan.
Setelah tidak lagi mendapat perlawanan, kapal Belanda itu merapat ke dermaga nelayan dekat pantai. Disusul pendaratan pasukan Mariniersbrigade Belanda yang menyisir pantai.
Menurut buku Sedjarah Pertumbuhan AURI, sepekan setelah pertempuran di pantai itu dan kota Blitar dikuasai Belanda, segenap kekuatan Detasemen Udara dari pasukan Pangkalan Campurdarat kesulitan mengonsolidasikan diri, termasuk pasukan Hanandjoeddin.
Sebagian besar pasukan AURI itu hijrah ke Ngunut di Tulungagung. Sementara, barisan CA IV-ALRI kembali ke pasukan induknya.
Pangkalan Udara Campurdarat berada di Sektor V, teritorial Wehrkreise VIII/Tulungagung. Anggota Detasemen Udara Prigi dibagi dalam tiga unit tempur: Boyolangu, sektor Gamping, dan sektor Watulimo.
Hanandjoeddin diserahi tugas mengomandani sektor Watulimo dengan tambahan pasukan berkekuatan 83 prajurit. Selebihnya, sebagaimana juga pasukan republik dari Yogyakarta dan sejumlah daerah di Jawa Tengah, pasukan AURI pun mulai menggelar perlawanan gerilyanya.
Baca juga: Setelah Serangan Umum 1 Maret
Tambahkan komentar
Belum ada komentar