Kemenangan Semu Atas Kejahatan Perang Belanda
Kemenangan para penggugat praktek kekerasan militer Belanda di Sulawesi Selatan disikapi secara berbeda oleh sejarawan. Benarkah bukan kemenangan yang sebenarnya?
Penantian panjang, hampir delapan tahun akhirnya terbayar sudah. Usaha para keluarga korban menuntut keadilan dari kekejaman militer Belanda pimpinan Kapten R.P.P. Westerling di Sulawesi Selatan berbuah manis. Diberitakan The Guardian, para hakim Pengadilan Sipil Belanda di Den Haag memutus bersalah Pemerintah Belanda. Mereka harus membayar kompensasi kepada keluarga korban atas kejahatan militer yang dilakukan di Sulawesi Selatan antara tahun 1945-1949.
Di dalam putusannya, pemerintah Belanda diharuskan memberi kompensasi antara 3.634 euro (sekira Rp 66 juta) hingga 10 ribu euro (sekira Rp 181,5 juta) kepada 8 janda dan 4 anak korban kejahatan perang militernya. Kasus ini sendiri dibawa ke pengadilan oleh pengacara HAM Lisbeth Zegveld pada 2012. Baru pada Maret 2020 gugatan ini berhasil dimenangkan.
Baca juga: Keluarga Korban Westerling Menangkan Gugatan
Hasil akhir dari para hakim di pengadilan Den Haag itu keluar tidak lama setelah Raja Belanda Willem-Alexander melakukan kunjungan ke Indonesia pada 10 Maret 2020 lalu. Di hadapan Presiden RI Joko Widodo, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, raja menyampaikan permintaan maaf dalam pidato sambutannya.
“Saya ingin menyampaikan rasa penyesalan dan permintaan maaf terhadap kekerasan yang berlebihan oleh pihak Belanda di tahun-tahun itu (1945-1949). Saya menyampaikannya dengan kesadaran penuh bahwa rasa sakit dan kesedihan keluarga yang terdampak masih terasa sampai hari ini,” ujar Raja Willem-Alexander, dikutip royal-house.nl.
Masyarakat pun bersuka cita atas "kemenangan" tersebut, sekaligus mengapresiasi permintaan maaf tersebut. Banyak yang kemudian menanggapnya sebagai capaian penting dalam upaya mengungkapkan praktik kekejaman Belanda di Indonesia. Bahkan tidak sedikit juga masyarakat yang menganggap itu sebagai kesuksesan bangsa Indonesia. Lantas benarkah kemenangan sidang dan permintaan maaf Raja Belanda menjadi cara menghilangkan dosa masa lalu mereka?
Kejahatan Perang Belanda
Keberhasilan di dalam sidang itu rupanya masih menyimpan polemik. Meski para penggugat telah memastikan kemenangan, itu tidak merubah fakta sejarah yang ada. Bukan berarti berbagai kompensasi yang diberikan pemerintah Belanda kepada keluarga korban akan begitu saja menghapuskan catatan hitam militer mereka di negeri ini.
Persoalan utama yang diangkat dalam persidangan di peradilan Den Haag adalah kekejaman militer Belanda selama kurun 1945-1949. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, waktu empat tahun itu hanyalah sebuah simbol. Kekejaman sebenarnya militer Belanda di Indonesia telah terjadi selama ratusan tahun, menimpa kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di sini. Jumlah korbannya pun tidak bisa terbayangkan.
Baca juga: Enam Hal Penting tentang Westerling
Dalam acara diskusi “Berdamai dengan Sejarah: Pandangan Orang Indonesia terhadap Konflik Indonesia-Belanda (1945-1949)” pada 9 Mei 2020, Anhar menyebut ada perbedaan besar antara kekejaman Belanda sebelum dan sesudah tahun 1945. Bedanya, aksi militer yang terjadi masa kerajaan-kerajaan dilakukan di wilayah koloni Belanda. Artinya tindakan mereka bukan sebuah pelanggaran karena tidak ada hukum yang melarang itu.
Sementara kekejaman yang dilakukan Belanda bersama pasukannya antara 1945-1949 itu sasarannya adalah rakyat di sebuah negara yang sudah merdeka. Karena jelas proklamasi kemerdekaan telah berkumandang di Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dan sehari setelahnya negara ini telah sah merdeka.
“Kejahatannya Belanda adalah bahwa dia mau menentang arus sejarah dalam arti dia mau mengembalikan penjajahannya ke negara yang sudah menyatakan dirinya merdeka,” ujar Anhar Gonggong.
Anhar Gonggong sendiri merupakan salah satu keluarga korban kekejaman Belanda di Sulawesi Selatan. Ayah dan kakak, serta beberapa sanak keluarga lain, tewas di tangan militer Belanda. Menurut Anhar perjuangan keluarganya telah dimulai sejak abad ke-19, melalui sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Selatan bernama Alitta.
Sama halnya dengan Anhar, keluarga Irma Devita juga turut menjadi korban militer Belanda di Jawa Timur. Kakeknya adalah Letkol Mohammad Sroedji, tentara republik yang memimpin pengusiran Belanda di Jember. Letkol Sroedji menjadi satu dari komandan 17 brigade yang tersebar di seluruh pulau Jawa. Dia memimpin pasukannya bergrilya di wilayah Jawa Timur dan telah terlibat di dalam berbagai pertempuran. Letkol Sroedji gugur di Karangkedawung pada 8 Februari 1949 setelah dihujani peluru militer Belanda.
“Kebetulan dalam catatan sejarah yang masih harus dikonfirmasi, bola matanya dicongkel dan tangan-tangannya dipotong, serta diseret sejauh sekitar 20 kilo dan dipertontonkan selama tiga hari di alun-alun Jember sebelum akhirnya bisa dimakamkan,” kata Irma.
Baca juga: Yang Gugur di Karang Kedaung
Bukan Kemenangan Sesungguhnya
Memang benar jika kemenangan di Pengadilan Negeri Den Haag adalah sebuah pencapaian dalam pengusutan kebrutalan militer Belanda di Indonesia. Namun hal itu bukan semata prestasi saja. Ada kekeliruan dalam menafsirkan kemenagan di Pengadilan Negeri Den Haag tersebut. Menurut Irma masyarakat dan kebanyakan media telah salah menempatkan posisi bangsa Indonesia di sini. Bergelut di bidang hukum, Irma sedikit banyaknya mengerti tentang persoalan Pengadilan Negeri Den Haag tersebut.
Menurut Irma, proses hukum di Pengadilan Negeri Den Haag atas kasus militer Belanda di Indonesia keliru. Karena jika yang menjadi korban adalah warga negara merdeka, seharunya kasus ini dibawa ke Mahkamah Internasional, bukan pengadilan negeri. Keduanya sama-sama berkedudukan di Den Haag, sehingga banyak yang tidak bisa membedakannya.
Baca juga: Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda
Dijelaskan I Made Pasek Diantha dalam Hukum Pidana Internasional: dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional, Mahakamah Internasional bertugas menindak hukum pidana internasional yang terdiri dari ketentuan-ketentuan internasional yang ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan “de iure gentium”, di antaranya: agresi, kejahatan perang, genosida, kejahatan kemanusiaan, narkotika, dan lain-lain.
“Menurut hemat penulis, kejahatan agresi, kejahatan perang, genosida, kejahatan kemanusiaan adalah materi hukum pidana internsional yang sebenarnya atau pure intenational criminal law karena pada tingkatan terakhir para pelakunya dapat diadili pada pengadilan pidana internasional yang dibentuk oleh PBB atau oleh kumpulan besar negara-negara anggota PBB,” tulis Diantha.
Sementara jika kasus dibawa ke pengadilan negeri itu berarti proses hukum dilakukan untuk warga negarnya. Artinya, kata Irma, kejahatan itu dilakukan oleh seorang tentara kepada warga negaranya. Oleh karenanya permintaan maaf dilayangkan setelah melakukan kekerasan terhadap warga negaranya. Itu berarti Belanda masih menempatkan Indonesia sebagai wilayah kekuasaannya, bukan sebagai negara merdeka, dan kekerasan dilakukan terhadap warga yang tinggal di wilayahnya.
Akhir yang Diharapkan
Kemenangan di Pengadilan Negeri Den Haag menyimpan akhir yang tidak jelas bagi sebagian keluarga korban. Permintaan maaf yang dilakukan Belanda kepada para korban bagi Anhar Gonggong bukanlah sesuatu yang penting. Menurutnya persoalan sejarahnya sudah selesai. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Persoalan yang menimpa keluarganya pun sudah sejak lama dilupakan.
Hanya saja kejelasan tentang permintaan maaf itu yang harus dikedepankan. Anhar mempertanyakan sikap Belanda yang menempatkan warga Indonesia sebagai bekas jajahan yang belum merdeka karena kasus itu diselesaikan di pengadilan negeri bukan mahkamah internasional. Sikap itulah yang mesti diperjelas oleh pemerintah Belanda.
Baca juga: Ketika Karawang Jatuh ke Tangan Belanda
“Saya tidak mau itu. Ayah saya, keluarga saya, kakak saya mati tidak sebagai warna negara Belanda tapi sebagai warga negara dari sebuah bekas jajahan Belanda yang sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945,” ucap Anhar.
Senada dengan itu, Irma pun menuntut kejelasan terkait penyelesaian kasus di pengadilan Belanda. Bagi Irma keluarganya sudah lama memberikan maaf atas kasus yang menimpa kakeknya, tetapi bukan berarti hal itu akan begitu saja melepaskan tanggung jawab yang harus diselesaikan Belanda. Penderitaan para korban tidak dapat hilang sampai kapanpun. Sehingga pertanggung jawaban yang sesuailah yang harus dibuktikan oleh Belanda.
“Sebagai bangsa yang pemaaf tentu kita akan selalu memaafkan tetapi seperti kata pepatah: forgive but not forget. Oleh karenanya memaafkan di sini bukan berarti kita melupakan kekejaman-kekejaman Belanda,” kata Irma.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar