Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda
Untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama ketika orang Indonesia berpuasa.
Belanda melancarkan serangan kepada Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat pada 21 Juli 1947. Agresi militer pertama ini berkode actie product (aksi atau operasi produk). Belanda menyerang pada awal puasa Ramadan 1366 Hijriyah kemungkinan karena orang Indonesia yang mayoritas muslim sedang berpuasa sehingga dalam keadaan lemah.
Sebenarnya, sejak akhir Juni 1947 telah diperkirakan Belanda akan melancarkan serangan dalam waktu dekat. Sehingga, di hari pertama puasa pada 19 Juli 1947, para ulama Aceh dalam rapat umum di pekarangan Mesjid Raya Baiturrahman menyerukan “puasa tidak menghalangi seseorang untuk berjuang. Karena itu sambil berpuasa berjuanglah, dan sambil berjuang berpuasalah.”
“Demikian pesan para ulama yang memanfaatkan mimbar rapat umum tersebut untuk menyampaikan penerangan mengenai kewajiban berpuasa di tengah perjuangan kemerdekaan yang sedang memuncak,” tulis Pramoedya Ananta Toer, dkk., dalam Kronik Revolusi Indonesia 1947.
Baca juga: Perang Jawa Libur Selama Ramadan
Residen Aceh, lanjut Pram, juga menyerukan supaya umat Islam di Aceh senantiasa siap-sedia menghadapi segala kemungkinan yang datang sebagai akibat keserakahan Belanda: “Jadikanlah ibadah puasa sebagai jembatan untuk mempertebal iman dan perjuangan. Kita selalu digempur dengan cara besar-besaran oleh tentara Belanda. Jangan disangka kita akan lemah dalam menghadapi mereka karena kita sedang berpuasa. Kita kuat dan tetap kuat menghadapi mereka, kapan saja dan dimana saja.”
Menurut J.A. de Moor, penulis biografi Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia, dalam agresi ini Spoor mengomando kekuatan tempur sebanyak 96.000 pasukan, 75.000 di Jawa dan 21.000 di Sumatra.
“Agresi militer Belanda I di daerah Sumatra Selatan tepat pada bulan puasa hari ketiga. Aksinya itu dimulai pada pagi hari sesudah umat Islam di daerah Sumatra Selatan selesai melakukan sahur,” tulis Sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera, 1945-1950.
Baca juga: Boedi Oetomo di Bulan Puasa
Sementara itu, tulis de Moor, pihak Republik menurut data NEFIS (Dinas Intelijen Militer Belanda) memiliki 195.000 prajurit di Jawa dan Sumatra; sekira 168.000 orang dari “kelompok-kelompok tak teratur” atau kelasykaran; beberapa serdadu Jepang terlibat dalam setidaknya seratus kasus; beberapa pasukan India-Inggris yang memihak Republik; dan sekira sepuluhan orang Jerman namun tak pernah menampakkan diri hanya terdengar suaranya yang keras dan jelas di semak-semak bersama pejuang Republik.
“Dengan keunggulan peralatan beroda, tank dan meriam pasukan itu (Belanda, red) menyerang dari darat, laut, dan udara. Spoor ingin memanfaatkan sepenuhnya keunggulan angkatan bersenjata Belanda dan menyingkirkan TNI dengan ofensif kejutan yang dahsyat,” tulis de Moor.
Pertempuran jelas tak seimbang. Selama operasi, Belanda melakukan 1.039 penerbangan (pengintaian, mendukung artileri dalam mengarahkan penembakan, membombardir berbagai sasaran, mengedrop perbekalan, dan selebaran) di Jawa dan Sumatra. Sementara itu, menurut de Moor, aksi udara lebih lanjut dari Republik –yang memiliki 28 pesawat yang dapat dioperasikan dan beberapa puluh lagi tidak dapat dioperasikan yang diambilalih dari Jepang– tidak dilakukan selama agresi militer pertama.
“Pada 24 Juli, Spoor memberikan konferensi pers yang pertama. Dia sesumbar mengenai kemenangan. Dia nyatakan antara lain bahwa TNI begitu cepat enyah hingga pasukan Belanda tidak dapat mengikuti tempo larinya,” tulis de Moor.
Baca juga: Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan
Belanda berhasil menduduki Jawa Barat, Jawa Tengah (Yogyakarta, Surakarta dan Kedu di luar tujuan operasi); dan sebagian Jawa Timur (Bojonegoro, Madiun dan Kediri dalam kekuasaan Republik). Belanda juga menguasai Pantai Timur Sumatra, Pantai Barat Sumatra, dan Palembang.
Dengan demikian, daerah-daerah perusahaan perkebunan, tambang, batubara, dan ladang minyak telah kembali ke tangan Belanda. Produksi barang perdagangan terpenting Hindia Belanda (minyak, karet, teh, kopra, dan gula) dapat dimulai lagi.
“Hindia Belanda kembali mendatangkan uang. Situasi finansial (Belanda, red.) yang gawat kelihatan berakhir,” tulis de Moor.
Dalam agresi militer ini, Belanda kehilangan 76 tentara tewas dan 206 luka-luka. Korban pihak Indonesia tidak diketahui pasti, tapi ditaksir sekira 10.000 orang tewas. Namun, de Moor mengakui, selagi pertempuran berjalan, dunia luar mulai memusuhi Belanda.
Perkembangan ini akan sangat mempengaruhi dan bahkan menentukan jalannya perang, dan juga perkembangan diplomatik. Dewan Keamanan PBB menerima resolusi Australia, bekas sekutu pada masa perang yang sekarang menentang Belanda, menyerukan penghentian segera permusuhan dan diakhirinya konflik dengan cara damai.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar