Yang Gugur di Karang Kedaung
Sebelum tewas, Komandan Brigade III Damarwulan itu mengamuk bagai banteng ketaton. Jasadnya dirusak tentara Belanda dan dipertontonkan kepada khalayak.
Siang belum menjelang di dukuh Karang Kedaung, Jember, ketika seorang prajurit muda datang dengan terengah-engah. Tanpa mengindahkan etika militer lagi, dia langsung menerobos ruangan rapat para perwira Brigade III Damarwulan yang tengah melakukan rapat koorinasi. Setelah melakukan hormat militer secara cepat kepada komandan brigade Letnan Kolonel Mochammad Sroedji, dia berkata parau:
“Belanda datang,Pak!”
Semua perwira tertegun. Letkol Sroedji sendiri setelah terdiam sejenak lantas menanyakan kondisi pasukannya, kemudian berseru:
“Adakan perlawanan!”
“Siap! Kerjakan!”
Seperti dikisahkan oleh peneliti sejarah Irma Devita kepada Historia, semua anggota pasukan Brigade III Damarwulan lantas bergerak untuk menyambut kedatangan pasukan Belanda yang didentifikasi berasal dari Batalyon KNIL Infanteri ke-23 pimpinan Letnan Kolonel J.H.J. Brendgen dan Legiun Tjakra. Letkol Sroedji sendiri, alih-alih minta diamankan kepada pengawalnya, dia justru memutuskan untuk memimpin sendiri pasukannya langsung ke medan pertempuran.
“Pak Sroedji memang tipikal komandan militer sejati, ketika bertempur dia selalu ada di barisan terdepan memimpin anak buahnya,” ungkap Irma yang sudah lima tahun melakukan riset tentang sosok Sroedji.
Musuh Nomor Satu
Di wilayah Jember dan sekitarnya, Sroedji dikenal sebagai musuh nomor satu bagi militer Belanda. Kekuatan militer Belanda yang terdiri dari KL (Tentara Kerajaan Belanda), KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan Legiun Tjakra (milisi pribumi yang terdiri dari orang-orang Madura) kerap dibuat pusing dengan aksi-aksi Sroedji dan pasukannya.
Menurut sejarawan militer Saleh Djamhari, saat kesepakatan Perundingan Linggarjati mulai diberlakukan sejak 26 Maret 1947, pihak Belanda menuduh pasukan yang dipimpin oleh Sroedji kerap melakukan pelanggaran dengan menyebrangi garis demarkasi. “Pasukan Sroedji dianggap sering menyerang kedudukan pasukan Belanda,” ungkap Saleh.
Namun menurut Irma, hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Sroedji menganggap militer Belanda selalu berupaya menduduki wilayahnya yang kaya akan produk bumi. “Dia hanya mempertahankan tanah milik rakyat Republik, kendati harus dilakukan sejengkal demi sejengkal ,” ungkap penulis novel Sang Patriot, sebuah cerita tentang riwayat hidup Sroedji.
Belanda mulai merasa agak tenang saat Sroedji dan pasukannya ditarik ke Kediri dan Blitar, menyusul berlakunya kesepakatan Perundingan Renville pada 17 Januari 1948. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Sebelas bulan kemudian, saat militer Belanda menciderai perjanjian tersebut dengan menyerang Yogyakarta, Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman lewat Perintah Siasat No.1 memerintahkan Sroedji dan pasukannya untuk kembali ke kampung halamannya dan mengadakan perlawanan semesta terhadap militer Belanda.
Sebagaimana dikisahkan oleh sejarawan Irna H.N. Hadi Soewito, rombongan Brigade III Damarwulan yang berjumlah sekira 5000 orang itu bergerak dari Kediri dan Blitar dengan melewati pegunungan sempit di sebelah selatan Gunung Semeru yang masih berhutan lebat. Mereka melalui Lodoyo, Binangun, Bantur, Sumber Manjing menerobos Tempursari hingga mencapai Lumajang bagian selatan.
“Pasukan ini bergerak dalam formasi siap tempur,” ujar Irna dalam Rakyat Jawa Timur memepertahankan Kemerdekaan.
Sebagai komandan, Letkol Sroeji harus pandai-pandai merancang taktik dan strategi agar pasukannya bisa selamat sampai di wilayah Jember, basis Brigade III. Dia menekankan kepada pasukannya untuk menghindar sebisa mungkin bentrok dengan pasukan Belanda selama perjalanan. Selain untuk menghemat amunisi, itu perlu dilakukan supaya jumlah pasukan terjaga sacara stabil.
Namun walau bagaimana pun bentrok dengan pasukan Belanda, kerap tak bisa dihindari. Menurut Irna, ada 22 pertempuran hebat terjadi selama pasukan Sroedji berupaya menembus penyumbatan yang dilakukan tetara Belanda. Akibatnya korban berjatuhan tak bisa dihindari dan banyak amunisi harus dihamburkan.
Situasi tersebut tentu saja berpengaruh terhadap kondisi pasukan yang sebelumnya sudah serba kekurangan. Kendati daya tempur Brigade III Damarwulan terbilang tinggi namun dari segi finansial, perlengkapan tempur dan logistiknya bisa dikatakan sangat minim. Hal itu terlukis dari penuturan Kolonel A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid IX, saat Wakil Panglima TNI itu berjumpa langsung dengan Letkol Sroeji di Kediri pada 17 Desember 1948.
“Apakah segala sesuatu untuk memulai gerakan sudah beres?” tanya Kolonel Nasution.
“Sudah beres, hanya…”jawab Letkol Sroedji. Nasution menyatakan tanpa dilanjutkankan pun dirinya sudah mafhum apa yang menjadi masalah Brigade III Damarwulan, karena kesulitan-kesulitan yang dialami Letkol Sroedji telah menjadi masalah biasa di dalam suatu pasukan yang tergabung dalam TNI kala itu.
Gugur Saat Bertempur
Selasa, 8 Februari 1949. Begitu mendengar laporan dari anak buahnya bahwa tentara Belanda mulai mengepung Karang Kedaung, Sroedji dengan pistol di tangan langsung bergerak ke palagan. Ikut bersamanya Letnan Kolonel dr. Soebandi, Residen Militer Besuki.
Saat memimpin pertempuran inilah, tetiba sebutir peluru mengenai pundak kirinya dan langsung membuat Sroedji terjatuh dalam posisi tertelungkup.
“Kur! Saya kena!” teriaknya sembari memanggil salah satu pengawal bernama M. Abdul Syukur.
Abdul Syukur dan Letkol Soebandi lantas memapah Sroedji untuk menghindar ke tempat aman. Di sebuah parit dan dalam serangan gencar tentara Belanda, mereka menyaksikan kondisi komandan mereka semakin payah. Saat itulah, sebutir peluru sekonyong-konyong menghantam tubuh Soebandi dan langsung membuatnya gugur.
Abdul Sykur tak kuasa menahan rasa panik dan sedih. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dia berkata kepada Sroedji yang ada dalam kondisi luka parah.
“Pak! Pak Bandi gugur!”
Mendengar teriakan Syukur, entah mendapat kekuatan dari mana tetiba Sroedji bangkit. Sambil mendekap luka di pundaknya kanannya, dia menggemgam kembali pistol dan meminta peluru kepada Syukur. Sang overste pun mengamuk bak banteng ketaton terluka.
“Mati boleh dhah! Mati bagus dhah! Belanda bakero!” terianya sembari menembakan peluru ke arah pasukan Belanda. Bakero adalah umpatan khas orang-orang Jepang. Sepertinya itu didapat oleh Sroedji saat dia dididik di Asrama PETA (Pembela Tanah Air) Bogor oleh militer Jepang.
Tak urung posisi pasukan Belanda malah semakin kuat. Dalam suatu kesempatan, satu kompi Batalyon Infanteri ke-23 pimpinan Kapten F.G. Schelten berhasil mengepung posisi Sroedji yang tengah mengamuk. Abdul Syukur sendiri sudah tidak berada di samping Sroedji karena setelah terkena tembakan dia berhasil meloloskan diri.
Kendati berupaya menangkap Sroedji hidup-hidup, pasukan Belanda tak kuasa melakukannya. Alih-alih menyerah, dalam kondisi terluka parah, Sroedji masih saja melawan dengan pistol dan berhasil menumbangkan beberapa serdadu yang mengepungnya. Tak mau ambil resiko, seorang tentara Belanda lantas menembaknya dan membuat tubuhnya rubuh seketika.
“Bahkan saya mendapat laporan, Komandan Brigade III Damarwulan masih melakukan perlawanan dengan tinjunya saat dia sadar pelurunya sudah habis,” ungkap A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid X.
Singkat cerita, pada akhirnya Sroedji berhasil dilumpuhkan. Karena luka-lukanya yang sangat parah, dalam perjalanan ke markas Belanda sang overste pemberani itu menghembuskan nafas terakhirnya.
Entah karena marah karena tidak berhasil mendapatkan Sroedji dalam kondisi hidup atau sekadar untuk menakuti rakyat, pasukan Belanda lantas membawa jasad lelaki Madura tersebut ke halaman Hotel Jember. Di hadapan khalayak, secara demonstratif dan brutal salah seorang prajurit KNIL mencungkil kedua bola mata Sroedji sekaligus memotong sebagian jari jemarinya. Sebuah prilaku yang sangat pengecut dan tak layak didapat oleh seorang musuh pemberani seperti Sroedji.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar