Kapiten VOC Bernama Joncker
Bermula sebagai musuh VOC, dia kemudian berbalik menjadi pengabdi dan disayangi oleh gubernur jenderal kompeni.
DI kawasan Marunda, Jakarta Utara ada satu sudut tempat bernama Pejongkeran. Saat ini tempat tersebut dikenal sebagai Pelabuhan Alfa, tempat bongkar muat peti kemas dari kapal-kapal besar. Tak banyak orang tahu jika istilah “pejongkeran” berasal dari nama seorang “jagoan” bernama Kapiten Joncker, yang juga makamnya ada di kawasan itu. Siapa dia?
Dalam catatan sejarah versi Belanda, nama Joncker (atau Jonker) memang ada disebutkan. Menurut sejarawan Belanda terkemuka yakni F.De Haan, nama itu memang tertulis dalam sebuah akte VOC bertahun 1664 sebagai Joncker Jouwa de Manipa.
“Nama Manipa bisa jadi mengacu kepada tempat dia berasal yakni Pulai Manipa di Seram Barat, Maluku,” tulis De Haan dalam Oud Batavia.
Baca juga: Tsunami Dahsyat Menerjang Ambon
Terkesan nama Joncker sangat berbau Belanda dan orang pasti mengira yang bersangkutan adalah seorang Kristen. Namun menurut J.A. Van der Chijs, Jongker adalah seorang muslim.
“Dari lahir sampai meninggal, Jongker adalah pengikut Muhammad,”tulisnya dalam Kapitein Jonker.
Joncker memang putra Maluku tulen. Dia lahir di Pulau Manipa pada 1620 dalam nama Achmad Sangadji Kawasa, nama yang mengacu kepada seorang sangaji (sejenis jabatan bupati) bernama Kawasa, yang tak lain adalah ayah kandung dari Joncker. Sangadji Kawasa merupakan pejabat yang diangkat secara langsung oleh Sultan Hamzah dari Kesultanan Ternate. Upacara pengangkatan tersebut dilaksanakan kala Jonker berusia18 tahun.
Putra Sangaji Manipa itu begitu terkesan dengan kewibawaan sang ayah. Dia memiliki cita-cita untuk bisa sekuat dan sewibawa ayahnya. Karena itu, ketika sang ayah menyatakan Mapia ikut berperang melawan VOC dalam Perang Hoamoal (1651-1656), dengan semangat mengebu, Achmad Sangadji melibatkan diri. Salah satunya dengan melakukan pelayaran ke Makassar guna mencari bantuan amunisi dan dukungan politik.
Sayang,kekuatan Manipa tidak seimbang dengan VOC. Alih-alih bisa menghancurkan orang-orang Belanda, benteng Manipa malah hancur dan para pemimpinnya ditawan oleh VOC.Termasuk Achmad Sangadji dan seluruh keluarganya. Dia kemudian terbujuk untuk masuk dalam kemiliteran VOC.
Menurut H.J De Graaf, Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn (Gubernur VOC untuk Maluku) menempatkan Sangaji di kompi pimpinan Kapitain Tahialele, putra dari Raja Luhu yang terlebih dahulu ikut VOC.
“Kompi orang-orang Ambon ini ditempatkan di Batavia,”tulis De Graaf dalam De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken.
Selanjutnya serdadu-serdadu asal Maluku banyak dilibatkan dalam berbagai operasi militer VOC di berbagai tempat, mulai dari Kupang hingga ke kawasan India Selatan. Pada 9 Agustus 1657, Kompi Tahialele yang berkekuatan 80 prajurit ikut bergabung dengan pasukan besar VOC pimpinan Rijklof van Goens. Mereka bergerak menuju India dan Srilanka guna berperang menghadapi serdadu-serdadu Portugis.
Setahun mereka bertempur melawan orang-orang Portugis hingga pada 24 Juni 1658, VOC berhasil merebut Jafnapatnam,Diu dan Goa. Namun kemenangan itu harus dibayar mahal dengan gugurnya beberapa prajurit terbaik VOC termasuk Kapiten Tahialele. Untuk menggantikan posisi Tahialele, maka pada 1659 VOC mengangkat Achmad Sangadji sebagai komandan kompi dengan pangkat Kapiten.
Karier Achmad Sangadji sebagai tentara bayaran melesat bak anak panah. Dalam setiap operasi militer, pasukannya selalu menjadi andalan VOC. Termasuk saat harus menghadapi perlawanan orang-orang Minangkabau di Pauh.
Syahdan pada sekira April 1666, pasukan kompeni dipermalukan oleh para prajurit Pauh. Mereka yang datang dari Batavia untuk menindas pemberontakan malah harus lintang pukang. Dari 200 serdadu yang dikirim, hanya 70 serdadu yang kembali hidup-hidup. Pimpinan pasukan VOC yang bernama Jacob Gruys termasuk korban yang tewas selain 2 kapiten dan 5 letnan.
VOC bertekad membalas kekalahan memalukan itu. Lima bulan kemudian, Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker di Batavia memerintahkan Angkatan Perang VOC untuk mengirim lagi 300 serdadunya ke Pauh: terdiri dari 130 serdadu Bugis pimpinan Aru Palaka (Raja Bone) dan 100 serdadu Ambon dibawah Kapiten Sangadji. Sisanya terdiri dari serdadu Belanda totok yang langsung dipimpin oleh komandan gabungan bernama Abraham Verspreet.
Baca juga: Meninjau Kembali Peran Arung Palakka
Saat berlaga di medang perang, para serdadu Belanda totok tersebut mendapat prioritas pengamanan. Itu dibuktikan dengan selalu berlakunya aturan formasi: Pasukan Bugis dan Pasukan Ambon harus selalu berada di depan Pasukan Belanda. Itu jelas bertujuan menjadikan para serdadu bumiputera sebagai perisai hidup.
Dikisahkan peperangan yang kedua antara serdadu VOC dengan rakyat Minangkabau itu pun berlangsung lebih seru. Rusli Amran melukiskan saat berlangsung pertempuran korban berjatuhan dari kedua belah pihak. VOC sendiri kehilangan 10 orang serdadu dan 20 lainnya luka-luka termasuk Kapiten Aru Palaka dan Kapten Achmad Sangadji, yang tiga kali terkena tusukan tombak. Pasukan bumiputera pun mengamuk bak banteng terluka.
“Dalam setiap pertempuran, para serdadu bumiputera ini sering kali terpisah dengan pasukan induk. Itu disebabkan mereka begitu sibuk sendiri melakukan pembantaian dan pemenggalan kepala.” tulis Rusli Amran dalam Sumatera Barat hingga Plakat Panjang.
Singkat cerita, Ulakan dapat diduduki pada 28 September 1666. Gubernur Jenderal pun bersuka cita. Dia kemudian mengganjar Aru Palaka menjadi Raja Ulakan versi kompeni. Dua hari kemudian gerakan serdadu VOC ke Pariaman tak terbendung lagi. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa Pasukan Ambon, Verspreet mengangkat Achmad Sangadji sebagai Panglima Kompeni Wilayah Pariaman (orang Minang menyebutnya sebagai Raja Ambon) dan berhak mendapat upeti dari masyarakat setempat.
Awal November 1666, situasi di Ulakan dan Pariaman berangsur normal. Kekuasaan kembali dipegang pejabat sipil VOC. Pasukan gabungan Bugis-Ambon pun ditarik pulang ke Batavia. Begitu bersuka citanya Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker hingga dia menyirami para veteran perang di Sumatera Barat itu dengan berbagai hadiah. Sebagai komandan perang, Aru Palaka dan Achmad Sangadji masing-masing mendapat pakaian dan emas serta uang berjumlah 20 ringgit untuk ratusan tawanan yang dibawa dari Minangkabau. (Bersambung ke Pengkhianatan VOC Terhadap Joncker)
Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak
Tambahkan komentar
Belum ada komentar