Pengkhianatan VOC Terhadap Joncker
Karena rasisme dan iri dengki, seorang pejabat VOC menyemai intrik yang berujung kematian sang hamba setia kompeni.
SUKSES di ranah Minang, menjadikan nama Kapiten Sangaji alias Joncker populer di kalangan elite VOC. Sebagai bentuk penghormatan,pada 1 Januari 1665, Maskapai Perdagangan Hindia Timur itu mendapuk Sangadji menjadi kepala orang-orang Ambon di Batavia. Pamor Si Kapiten Maluku semakin mencorong. Seiring dengan ketenaran itu, “order” dari VOC pun membludak. Sangaji dan pasukannya kerap diberangkatkan ke berbagai palagan di belahan Nusantara seperti di Jambi, Palembang, Jawa Timur dan Banten.
Salah satu operasi militer yang menjadikan bintang Sangadji semakin kinclong adalah saat ia berhasil memadamkan sekaligus menangkap Trunojoyo, seorang Madura yang melakukan pemberontakan besar terhadap kekuasaan Sultan Amangkurat II yang didukung oleh VOC.
Gubernur Jenderal Cornelis Janszoon Speelman tentu saja sumringah.Tanpa banyak pertimbangan, putra Maluku tersebut diganjar medali berbentuk rantai kalung emas (seharga 300 ringgit) dan dihadiahi sebidang tanah di kawasan Pantai Marunda.Posisi inilah yang konon menjadikannya dipanggil sebagai Joncker yang artinya raja muda.
Baca juga: Kapiten VOC Bernama Joncker
Namun tidak selalu perjalan hidup Kapiten Joncker berjalan mulus. Demi menyaksikan kesuksesan Joncker, diam-diam perasaan dengki pun muncul di kalangan pejabat VOC terutama yang berkebangsaan Belanda. Menurut mereka, sehebat apapun Joncker, ia tetaplah seorang bumiputera dan tak memiliki hak atas jabatan bergengsi di hirarki elit VOC. Salah satu klik grup Belanda totok itu dipimpin oleh seorang anggota Dewan Hindia bernama Isaac de Saint Martin yang menurut sejarawan Van der Chijs memiliki rasa dengki yang berkarat kepada Joncker.
Isaac adalah tipikal politisi ulung. Ketika Joncker ada di puncak kesuksesannya, ia sama sekali tak memperlihatkan sikap aslinya. Namun pasca meninggalnya Gubernur Jenderal Speelman pada 1884, mulailah Isaac kasak-kusuk dan meniupkan rumor bahwa Joncker sedang mempersiapkan sebuah pemberontakan terhadap kekuasaan VOC dan suatu hari merencanakan akan menyerang Batavia. Ia disebutkan memiliki ambisi membunuh semua orang Belanda di Batavia karena mereka beragama Kristen.
“Itu jelas sebuah tuduhan yang sangat serius di Batavia saat itu, karena akan berakibat hukuman mati,”tulis Van der Chijs dalam Kapitein Jonker.
Baca juga: Bandit-Bandit Kakap di Batavia
Joncker bukan tidak mengetahui soal isu miring itu. Dari tempat tinggalnya di Marunda, ia dan kelompoknya berusaha sekuat tenaga menyangkal semua yang ditudukan kepada mereka. Dan memang secara logis, kata Van der Chijs, adalah konyol jika Joncker berniat mengobarkan pemberontakan, mengingat begitu kuatnya kedudukan VOC kala itu.
Namun pengaruh Issac de Saint Martin sudah terlalu kuat menancap di kalangan para pejabat VOC. Selain karena adanya sentimen rasis di kalangan orang-orang Belanda, bisa jadi itu juga disebabkan oleh kekurangtahuan akan situasi politik dari Gubernur Jenderal Johannes Camphuys, yang baru saja menggantikan Gubernur Jenderal Speelman yang meninggal secara mendadak. Intrik pun semakin beringas.
Tahun 1688, VOC mulai mengawasi dan menyempitkan gerakan Joncker. Beberapa fasilitas yang didapatnya dari Speelman mulai dilucuti. Di lain pihak provokasi terus dilakukan oleh Issac de Saint Martin dan kliknya di tubuh VOC. Mungkin karena tidak kuat lagi dengan berbagai tekanan, intrik dan pengawasan, setahun kemudian Joncker dan pengikutnya terprovokasi untuk menyerang Batavia.
Penyerangan itu tentu saja memang gagal total. Selain posisi militer VOC terlalu kuat, Joncker pun melakukannya setengah hati. Kemarahan Joncker semakin mereda ketika VOC menyatakan bahwa mereka memaafkan ulah pengikut setianya itu. Beberapa hari kemudian Angkatan Perang VOC baru bereaksi. Mereka mengirimkan ratusan pasukannya lewat darat dan laut. Marunda dikepung dari tiga penjuru. Sebagai perwakilan VOC untuk bicara dengan Joncker, diutuslah Kapiten Wan Abdul Bagus alias Cik Awan, pemimpin komunitas Melayu di Batavia.
“Cik Awan dan pengikutnya bermarkas di suatu tempat yang sekarang bernama Cawang dan Kampung Melayu,” ungkap jurnalis sejarah Alwi Shahab.
Saat bernegoisasi itulah, tiba-tiba sebutir peluru dari penembak runduk VOC menghantam tubuh Joncker. Si Kapiten Maluku itu pun tewas seketika. Seiring dengan terbunuhnya Jonker, ratusan pasukan VOC secara kilat menyerbu posisi Pasukan Ambon yang sama sekali tidak sedang siap siaga. Akibatnya 130 prajurit Ambon terbantai dan mayatnya bergelimpangan di tepi Pantai Marunda.
Jasad Joncker kemudian dibawa ke Batavia. Konon kepala jagoan Pasukan Maluku itu dipenggal dan sempat dipamerkan di kawasan Kota (Nieupoort). Setelah puas, barulah jasadnya dibawa kembali ke Marunda dan dimakamkan di tepi pantai dekat Marunda, bekas tempat tinggalnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar