Jenderal-jenderal Madura
Kendati telah lama ada di kemiliteran, baru setelah tahun 1950-an orang Madura memiliki jenderal. Pencapaian tertinggi orang Madura terjadi pada era 1990-an.
DULU waktu zaman Hindia Belanda, jumlah orang Madura di Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) tidaklah banyak. Tentara kolonial itu lebih didominasi orang Ambon, Minahasa dan tentu Jawa. Orang Ambon dan Minahasa agak diistimewakan dalam hal fasilitas. Sementara itu Jawa menghasilkan tenaga kerja murah untuk KNIL.
Karakter orang Madura yang berani dan setia amat diperlukan oleh kolonialis Belanda untuk menindak siapapun yang berupaya merongrong kekuasaannya. Karena itu pula citra orang Madura sempat “miring” dibuatnya.
“Citra kekejaman dan kesukaan berkelahi semakin diperkuat oleh orang-orang Madura yang menjadi tentara kolonial, serta oleh reputasi keganasan laskar Madura yang ikut membantu pihak Belanda dalam Perang Diponegoro (1825-1830),” tulis Mien A. Rifai dalam Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya.
Baca juga: Jenderal-jenderal dari Minahasa
Orang Madura minoritas di KNIL. Menurut RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara, pada 1916 hanya terdapat 151 orang Madura dari total 30.402 anggota KNIL. Namun, di Pulau Madura sendiri terdapat milisi pasukan bantuan (Hulptroepen) yang disebut Barisan Madura. Jumlahnya sekitar satu batalyon.
Kisah kebesaran militer Madura tentu tak lepas dari kisah Kaboon yan bernama asli Ario Majang Koro. Koran Het Vaderland, 22 Maret 1931, menyebut laki-laki kelahiran Bangkalan tahun 1832 ini pada usia 16 tahun tergabung di Batalyon Infanteri ke-3 KNIL di Surabaya. Pangkatnya di KNIL mencapai sersan. Dia ikut perang di Bali dan berprestasi baik. Oleh karena itu, sejak 3 Juni 1859 dia diangkat menjadi perwira (dari pangkat letnan hingga kolonel) Korps Barisan Madura.
Puluhan tahun setelah Kaboon berpulang, barulah ada pemuda Madura yang menjadi jenderal. Itu terjadi setelah tentara Jepang mendarat di Indonesia.
Baca juga: Orang Papua Jadi Jenderal
Di masa pendudukan Jepang, orang-orang Madura ada pula yang dilatih menjadi perwira PETA. Setelah Jepang kalah, Badan Keamanan Rakjat (BKR) berdiri juga di Pulau Madura. Di bagian barat dipimpin Chandra Hassan dan bagian timur dipimpin oleh Asmorojudo.
Di masa revolusi, Chandra Hassan bergerilya melawan tentara Belanda di daratan Jawa Timur. Setelah 1950, pria kelahiran 1919 ini meneruskan karier militernya. Dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Angkatan Darat TNI AD, Harsya Bachtiar menyebut antara 1955-1957 Chandra menjadi Asisten Intelijen dari Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Pangkat Chandra di Angkatan Darat berakhir di brigadir jenderal. Dia tak lagi di militer setelah tahun 1963. Dia menjadi asisten menteri Bank Sentral antara 1963-1965. Dia lalu menjadi direktur utama Bhineka Nusa Bhakti hingga tutup usia pada 27 Desember 1985 di Jakarta.
Chandra Hassan bukan satu-satunya perwira asal Madura yang berhasil menjadi jenderal. Ada juga Achmad Moed’har Amin. Pria kelahiran Pemekasan, 3 Maret 1924 ini pernah menjadi Shodancho (komandan peleton) PETA di Madura. Semasa revolusi, dia berada di Madura. Antara 1950-1955 dia berada di daratan Jawa Timur. Pangkatnya berakhir sampai mayor jenderal dengan jabatan Asisten Operasi KSAD. Setelahnya, dia berkarier di fraksi ABRI di DPR.
Baca juga: Orang Batak Jadi Jenderal
Adapula orang Madura yang menjadi direktur Polisi Militer Angkatan Darat. Dia adalah Ahmad Hafiloedin Djojo Adikusumo. Pangkat terakhirnya mayor jenderal. Pria kelahiran Bangkalan, 20 April 1921 ini setelah di Angkatan Darat juga berkarier di DPR.
Sekitar 1959, Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang juga kedatangan calon taruna asal Madura. Dia adalah Raden Hartono bin Raden Osman Prawiro Asmoro. Pria kelahiran Pemekasan, 10 Juni 1941 ini lulus dari AMN pada 1962 sebagai perwira kavaleri.
Hartono pernah bertugas di Sesko ABRI, lalu Kostrad dan berhasil mengakhiri kariernya di TNI dengan pangkat jenderal bintang empat. Dia orang Madura pertama yang menjadi KSAD. Hartono dikenal dekat dengan putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardianti Rukmana. Pada 1998, Hartono sempat menjadi menteri Penerangan dan kemudian Dalam Negeri dalam Kabinet terakhir daripada Soeharto.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar