Dulu Sersan Bisa Terbangkan Pesawat
Cerita kopral dan sersan pada masa lalu. Pangkat idaman mertua meski gajinya tak sebesar zaman Belanda.
Ismail Marzuki (1914–1958), komponis produktif yang peka dengan zaman, termasuk pada kehidupan tentara kelas bawah yang jumlahnya sangat banyak. Barangkali dia hendak membesarkan hati para kopral dengan lagu Kopral Jono.
Oh, Kopral Jono
Gadis mana yang tak rindu akan dikau
Dalam lagu itu, Kopral Jono digambarkan sebagai sosok yang kuat, seperti pada lirik Gayamu yang perkasa, mirip dengan panglima. Lirik Dengan jambulmu semua gadis bertekuk lutut menjelaskan sosok gagah ini punya model rambut berjambul, tren rambut laki-laki era 1950-an.
Era 1950-an adalah era pergolakan daerah dan keamanan di luar kota diganggu gerombolan bersenjata. Tidak adanya rasa aman membuat rakyat membutuhkan perlindungan. Sehingga, di kalangan masyarakat, kopral termasuk menantu idaman yang bisa melindungi. Sejarawan Anhar Gonggong menyebut ada tiga pangkat idaman mertua di era 1950-an, yaitu kopral, sersan, dan sersan mayor, meski gajinya tak sebesar zaman Belanda.
Baca juga: Kopral Anthony Menjebol Benteng Salubanga
Jika kopral saja terlihat kuat, apalagi pangkat di atasnya. Tak heran jika kawin dengan anggota tentara menjadi harapan untuk hidup aman. Tak hanya pada zaman dulu, sekarang juga abdi negara apapun jenisnya dianggap punya masa depan karena mendapat uang pensiun dari negara untuk hari tua.
Sedari dulu seorang sersan biasanya memimpin sebuah regu. Anggotanya sekitar 8 hingga 15 orang. Bedanya, setelah era 1960-an seorang sersan di Angkatan Darat yang sudah senior biasanya dijadikan Bintara Pembina Desa (Babinsa). Ini terjadi sampai sekarang.
Gaji Sersan Tinggi
Pangkat letnan ke atas bukannya tidak dilirik. Pangkat ini biasanya sudah diambil golongan priayi baru. Pada 1950-an, kebanyakan letnan dan pangkat di atasnya berasal dari golongan priayi.
Bagi pemuda golongan priayi, menjadi letnan di zaman Belanda sangat sulit, meski punya ijazah setara SMA yang disyaratkan, yaitu HBS (Hogere Burger School) atau AMS (Algemene Middelsbare School). Hanya sedikit pemuda Indonesia yang bisa jadi letnan dalam Angkatan Darat bernama KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger).
Ada masa serdadu menjadi profesi yang hina dalam masyarakat pribumi pada masa kolonial Belanda.
Haji Daeng Mangemba dalam Takutlah pada Orang Jujur menyebut masyarakat Sulawesi Selatan memandang serdadu sebagai orang yang jatuh martabatnya. Hanya yang miskin tanpa jalan dan frustrasilah yang mau menjalani profesi ini.
Baca juga: Oerip Soemohardjo Bapak Tentara yang Dilupakan
Pada 1910, orang tua Oerip Soemohardjo tidak bisa menerima anaknya masuk KNIL dan meninggalkan sekolah pamong praja di Magelang, meski Oerip akan menjadi letnan. Bahkan, setelah Indonesia merdeka, Oerip berpangkat letnan jenderal. Orang tua Gatot Soebroto dan keluarga Boediardjo juga tak suka anak mereka jadi tentara kolonial. Mereka kemudian menjadi perwira tinggi TNI.
Tentu saja ada masa jadi tentara merupakan profesi yang bagus. Setelah jumlah pegawai negeri sipil kolonial bertambah dan depresi ekonomi yang melanda dunia tahun 1930, sebagian pemuda bahkan orang tua rela anaknya menjadi tentara. Dengan catatan pangkat dan gajinya tidak rendah. Tak heran jika pemuda Indonesia yang masuk Akademi Militer Belanda di Breda pada 1930 jauh lebih banyak daripada dekade sebelumnya.
Baca juga: Mantan KNIL yang Menolak Masuk TNI
Tak bisa letnan, sersan pun boleh. Bagi kebanyakan pemuda Indonesia, terutama yang hanya punya ijazah setara SD, entah itu ELS (Europeesche Lagere School), HIS (Hollandsche Inlandsche School), atau Schakel School, menjadi sersan sudah cukup baik dalam jenjang karier di KNIL.
“Rasanya kalau sudah jadi sersan sudah merupakan prestasi yang dapat dibanggakan,” kata Jakasa Agung Soegih Arto dalam Sanul Daca. Soegih Arto punya ijazah setingkat SMP, yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) sebelum 1942.
Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi menyebut seorang sersan KNIL sudah sangat berharga di mata masyarakat. Gajinya 60 gulden sebulan dan mendapat jatah rumah tipe G. Itu belum termasuk jaminan kesehatan dan pakaian. Gaji militer Belanda biasanya naik berdasarkan masa dinas, tidak hanya berdasar kenaikan pangkat.
Pada zaman Belanda, menurut Raden Soeprono dalam autobiografinya, Selangkah Tapak Tiga Zaman: Mahasiswa Pejuang Kedokteran, antara 1930 hingga 1942 harga emas antara 1,5 hingga 2 gulden tiap satu gramnya. Satu gulden nilainya 100 sen dan dengan uang sebesar 6 sen kita bisa membeli satu kilogram beras.
Beberapa tahun terakhir ini gaji dan tunjangan seorang sersan dua berkisar Rp2.103.700 hingga Rp3.457.100. Sementara harga emas hari ini sekitar Rp930.000 per gram. Katakanlah seorang sersan TNI punya pemasukan Rp3.000.000 sebulan, mereka hanya bisa membeli 3 gram sebulan dengan gajinya. Sementara itu, sersan KNIL bergaji 60 gulden dengan harga emas pada masa itu katakanlah 2 gulden per gram, maka mereka bisa membeli 30 gram emas tiap bulan.
Dengan modal ijazah SD, Gatot Soebroto, Soeharto, dan lainnya bisa jadi sersan KNIL. Soeharto muda jelas senang dengan pangkat itu, tak hanya punya gaji yang lebih dari cukup untuk hidup tapi juga disegani orang. Meski masih ada yang menganggap tentara kolonial adalah profesi hina.
Sersan Terbangkan Pesawat
Selain Kopral Jono, Ismail Marzuki juga bikin lagu berjudul Sersan Mayorku untuk menunjukkan kehebatan seorang sersan mayor.
Kalau ibuku pilih menantu
Pilihlah dia sersan mayorku
Pria idaman, hasratnya hatiku
Juru terbang angkatan udara negaraku
Lirik Juru terbang angkatan udara negaraku sebetulnya tidak berlebihan sebelum 1950-an. Sekarang juru terbang di Angkatan Udara berpangkat letnan ke atas. Setidaknya harus jadi letnan dulu baru masuk sekolah penerbang.
Mustahil zaman ini menemukan seorang sersan TNI AU punya pendidikan dan izin menerbangkan pesawat. Tapi pada masa Ismail Marzuki masih bocah di zaman Belanda, seorang sersan memang bisa menerbangkan pesawat.
Baca juga: Sersan Jacob Johannes Pilot Bumiputra Pertama
“Sekarang mulai ada juru terbang (vliegenier) bumiputra. Adapun yang mendapat kehormatan memperoleh nama vliegenier itu yang pertama-tama ialah tuan Jacob Johannes, orang Ambon, Inlandsch Sergeant Schrijver (sersan jurut tulis bumiputra),” terang surat kabar Pandji Poestaka, 24 Januari 1928.
Jadi, sembilan bulan sebelum Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda, sudah ada pemuda Indonesia yang menjadi penerbang. Sersan Jacob Johannes adalah anggota Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Satu dekade kemudian, ada sersan lain yang belajar terbang, juga orang Ambon, yaitu Sersan Julius Tahija.
“Setelah beberapa bulan pelatihan infanteri, saya mulai sekolah penerbangan di Jawa Barat,” kata Julius Tahija dalam Horizon Beyond. Pangkat Tahija waktu itu belum letnan dan baru masuk militer pada 1937.
Baca juga: Tinggi Badan Pas-Pasan Tapi Jadi Jenderal
KNIL punya sekolah penerbang di Kalijati, Subang. Sulit menemukan juru terbang di bagian penerbangan KNIL. Di bagian itu, orang Indonesia hanya jadi penjaga, juru ampelas atau tukang kayu. Paling hebat adalah Ahmad bin Talim yang bisa merakit pesawat terbang ringan. Jadi, penerbang macam Letnan Suryadi Suryadarma jelas luar biasa.
Julius Tahija (1916–2002) rupanya tidak mengikuti jejak Sersan Jacob Johannes. Suatu kali, ketika latihan terbang, Tahija dipanggil komandan sekolah penerbang.
“Terbangmu tidak begitu baik. Kami akan memindahkanmu kembali ke infanteri,” kata perwira Belanda itu kepada Tahija. Tahija merasa terbangnya biasa saja dan dia mencurigai ada masalah lain yang membuatnya harus keluar dari bagian penerbangan yang merupakan korps elite. Dia menduga karena pamannya, Abraham Tahija, adalah orang pergerakan nasional Indonesia.
Setelahnya Sersan Julius Tahija masuk Korps Marsose di Aceh dan dalam Perang Dunia II bergerilya di Saumlaki, Maluku Tenggara. Berkat aksinya di Maluku Tenggara, dia mendapat bintang kesatria Militaire Willemsorde dan naik pangkat jadi letnan. Setelah berpangkat kapten, dia pernah jadi menteri sosial Negara Indonesia Timur. Lama setelah gagal jadi sersan penerbang, Tahija pernah jadi pemilik Bank Niaga serta pembesar Caltex dan Freeport di Indonesia.
Sekitar 1938, Boediardjo yang lulusan MULO Magelang juga sangat ingin menjadi sersan penerbang di KNIL. Dia mendaftar lalu pergi ke Cimahi. “Sesampai di Cimahi, ternyata badan saya terlalu pendek. Tidak memenuhi syarat untuk jadi pilot yang minimal harus 165 cm itu,” kata Boediardjo.
Akhirnya, Boediardjo rela jadi serdadu dengan upah 1 guden 76 sen seminggu. Dia hanya jadi kopral juru radio. Namun, dia kemudian menjadi marsekal di Angkatan Udara Republik Indonesia.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar