Pilot Bumiputra Pertama
Pemuda asal Ambon ini menjadi pilot bumiputra pertama. Selamat dari kecelakaan pesawat.
Awalnya pesawat di Hindia Belanda hanya dioperasikan oleh militer, baik Angkatan Laut atau Koninklijk Marine (KM) maupun Angkatan Darat atau Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL). Namun, ancaman perang di Eropa dan kurangnya jumlah penerbang mendorong pemerintah kolonial memberikan kesempatan kepada pemuda bumiputra untuk belajar menjadi penerbang.
Dalam buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945–1950, Irna H.N. Hadi Soewito, dkk. menyebut bumiputra pertama yang direkrut menjadi penerbang adalah Wardiman Wiryosaputro sebagai navigator (waarnemer). Irna tidak menjelaskan kapan Wardiman direkrut.
Sutrisno dalam biografi Marsekal TNI Suryadi Suryadarma menyebut bahwa pada 1932 hanya seorang bangsa Indonesia asli yang tercatat sebagai siswa pengintai pada Waarnemerschool (sekolah navigasi) yaitu Kapten Wardiman. Beberapa tahun kemudian barulah Suryadi menjadi siswa penerbang pada Desember 1937, siswa sekolah navigator (pengintai) pada Juli 1938, dan lulus pada Juli 1939. Setelah Indonesia merdeka, Suryadi menjadi Kepala Staf TNI AU pertama.
“Tetapi rupanya Wardiman tidak menyelesaikan pendidikan ini,” tulis Sutrisno. Jadi, Wardiman bukan belajar menjadi penerbang tetapi navigator.
Baca juga: Burung Besi Pertama Buatan Hindia Belanda
Bataviaasch Nieuwsblad, 2 Juli 1924, melaporkan bahwa Kapten Wardiman Wiryosaputro mengajukan diri untuk berhenti dengan hormat dari KNIL. Pria kelahiran 29 Oktober 1890 itu, menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit, menjadi perwira sejak 1910 setelah lulus Militaire School di Jatinegara. Sejak 7 Mei 1921 dia sudah kapten. Bouman juga menyebut dari 1922 hingga 1923, Wardiman ikut kursus navigator udara.
Jika jawatan penerbangan KNIL, Militaire Luchvaart (ML), hanya memberi kesempatan untuk navigator, maka jawatan penerbangan KM, Marine Luchtvaart Dienst (MLD), memberi kesempatan lebih kepada pemuda bumiputra untuk menjadi penerbang.
“Sekarang mulai ada juru terbang (vliegenier) bumiputra. Adapun yang mendapat kehormatan memperoleh nama vliegenier itu yang pertama-tama ialah tuan Jacob Johannes, orang Ambon, Inlandsch sergeant schrijver (sersan juru tulis bumiputra). Sekarang bumiputra tidak saja turut terbang, tetapi telah turut memegang setir (stuur) di udara,” tulis Pandji Poestaka, 24 Januari 1928.
Baca juga: Jan Hilgers, The Flying Dutchman Pertama
Pandji Poestaka menerangkan, Jacob Johannes lahir di Ambon pada 1901. Setelah lulus Sekolah Kelas II, dia kemudian memperoleh pengajaran bahasa Belanda. Pada umur 16 tahun, dia masuk sekolah pelayaran Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen (KIS) di Makassar. Setelah tamat, dia memulai kariernya di Angkatan Laut sebagai kelasi kelas tiga di kapal perang. Dia dinilai sebagai seorang pekerja keras sejak masih sekolah.
Mulai akhir tahun 1921, setelah lulus ujian pekerjaan administrasi, Jacob bekerja pada beberapa macam kapal dan kantor di darat sebagai schrijver (juru tulis). Dalam pekerjaan itu, dia naik menjadi korporaal-schrijver (kopral juru tulis) dan akhirnya sergeant-schrijver (sersan juru tulis).
Baca juga: Bob Freeberg, Pilot Berhati Lembut
Pada 1925, ketika ada tawaran belajar menjadi penerbang kepada perwira Angkatan Laut bumiputra, Jacob mengajukan diri. Setelah badannya diperiksa dengan saksama dan ternyata baik, dia mulai mendapat pelatihan pendahuluan pada awal 1927.
Jacob belajar terbang di pangkalan Angkatan Laut Morokrembangan, Surabaya, pada akhir Agustus 1927. Pengajarnya adalah Letnan Laut Kelas Satu Tetenburg. Beberapa bulan kemudian, pada Desember 1927, dia sudah bisa menerbangkan pesawat sendiri.
Jacob mendapat bravet terbang internasional pada Januari 1928. Artinya, dia sudah diakui sebagai penerbang. Dia melanjutkan pelajarannya di Morokrembangan untuk mendapat Marine-vlieg-brevet atau diploma untuk jadi juru terbang Angkatan Laut.
“Seorang bumiputra lulus ujian vliegenier (penerbang) dan yang dididik untuk dijadikan vliegenier Angkatan Laut, baru sekali ini adanya,” tulis Pandji Poestaka.
Baca juga: Nurtanio, Patriot Udara Indonesia
Jacob tak lancar dalam pelatihan terbangnya. De Militair, 4 Februari 1928, menyebut dia mengalami kecelakaan saat melakukan pendaratan ketika akan mengambil bravet penerbang Angkatan Laut di Surabaya. Dia mengalami luka tapi masih hidup. Setelah lukanya pulih, dia terbang lagi.
“Seperti orang yang pertama-tama, pembuka jalan, tentu banyak kesukaran yang akan diderita tuan Johannes, tetapi dengan kekerasan hati dan dengan pimpinan guru-gurunya, kesukaran itu mudah-mudahan dapat dilangkahi dengan selamat juga,” tulis Pandji Poestaka.
Sayangnya, tidak ada kabar lagi tentang Jacob Johannes. Sementara itu, jumlah pemuda Indonesia yang dilatih menjadi penerbang terus bertambah karena Belanda terlibat dalam Perang Dunia II. Di antaranya yang terkenal adalah Adisoetjipto dan Hubertus Soejono yang kemudian menjadi pendiri Angkatan Udara Republik Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar