Tinggi Badan Pas-Pasan Tapi Jadi Jenderal
Dua pemuda ini masuk Akademi Militer dengan tinggi badan pas-pasan. Tapi keduanya kemudian menjadi jenderal.
Setelah memperbolehkan keturunan PKI dan menganulir tes keperawanan dalam pendaftaran masuk TNI, Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa mengambil kebijakan merevisi aturan dalam penerimaan taruna Akademi Militer (Akmil) tahun 2022.
Andika menurunkan syarat tinggi badan calon taruna Akmil dari 163 cm –sempat 165 cm– menjadi 160 cm untuk laki-laki dan 157 cm menjadi 155 cm untuk wanita. Perubahan ini membuka kesempatan lebih besar bagi anak-anak di seluruh Indonesia yang rata-rata tingginya 160 cm untuk masuk Akmil di Magelang.
Persyaratan tinggi badan belum menjadi persoalan pada awal kemerdekaan. Bahkan, tinggi badan tidak menjadi syarat masuk Akademi Militer Tangerang. Tata Usaha Markas Tentara Keamanan Rakyat Keresidenan Jakarta yang mengeluarkan pengumuman penerimaan calon taruna Akademi Militer pada 10 November 1945 hanya mensyaratkan: umur 18–25 tahun, badan sehat, kemauan sungguh untuk mempertahankan Indonesia tetap merdeka, dan serendah-rendahnya tamat SMP.
Sementara itu, pada masa penjajahan, militer Belanda tampaknya menyadari postur orang Indonesia tidak tinggi. Oleh karena itu, pemuda Indonesia dengan tinggi 160 cm diterima masuk Akademi Militer di Negeri Belanda.
Pemuda itu adalah Raden Didi Kartasasmita. Dia salah satu pemuda Indonesia yang pernah jadi taruna (kadet) di Koninklijk Militaire Academie (KMA) atau Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda. Koran De Standard, 1 Juli 1935, menyebut sersan kadet Didi Kartasasmita lulus ujian perwira untuk tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) pada tahun itu.
Didi lulus sekolah menengah Hogare Burger School (HBS) di Bandung. Tidak semua pemuda Indonesia bisa bersekolah di HBS. Biasanya golongan priayi tertentu saja yang bisa sekolah di sana. Sebagaimana orang-orang pada zamannya, Didi menganggap tinggi badan sebagai kekurangan.
“Kalaulah ada kekurangannya pada diri saya, ialah ukuran tubuh. Tinggi badan saya hanya 160 cm saja. Ini batas minimal untuk siswa KMA,” kata Didi Kartasasmita dalam biografinya, Perjuangan bagi Kemerdekaan. Didi menjadi taruna terkecil di KMA Breda antara tahun 1932 hingga 1935.
Didi diperbolehkan memakai karaben (senapan dengan ukuran pendek) dalam setiap latihan. Namun, dia bukan taruna yang tidak terampil di lapangan dalam pendidikan calon perwira itu.
“Saya berhasil memperoleh penghargaaan sebagai ahli pelempar granat (granaat-werper). Selain itu saya pun termasuk salah seorang pemain anggar untuk floret dan sabel,” kata Didi yang memudakan umurnya dua tahun ketika mendaftar KMA, dari kelahiran 1911 menjadi 1913.
Setelah lulus dari KMA Breda, Didi diangkat menjadi Letnan Dua Infanteri KNIL. Semula ditempatkan di Jawa, dia kemudian ditempatkan di Maluku sejak 1938. Sebelum pulang ke Jawa, Didi terlibat dalam pertempuran Ambon melawan tentara Jepang pada 1942. Laki-laki asal Tasikmalaya ini berperan penting dalam menghimpun tandatangan mantan perwira KNIL untuk mendukung Republik Indonesia yang baru merdeka.
Meski pernah menerima Didi yang tingginya hanya 160 cm di KMA Breda, namun KNIL tidak menerima pemuda Boediardjo yang tingginya kurang dari 165 cm untuk masuk pendidikan calon pilot KNIL.
“Maka saya tetap putuskan jadi serdadu dengan upah 1 gulden 76 sen seminggu. Selain itu mendapatkan jaminan pakaian, kesehatan dan perumahan alias tangsi. Tidak untuk jadi penerbang, jadi juru radio pun boleh,” kata Boediardjo, lulusan MULO Magelang, dalam Siapa Sudi Saya Dongengi. Belakangan pengalaman Budirardjo sebagai ahli radio berguna bagi perjuangan Indonesia. Dia melatih ahli-ahli radio pada masa revolusi kemerdekaan.
Di era Orde Lama, rupanya Akademi Militer di Magelang pernah menerima taruna dengan tinggi 156 cm. Pemuda itu adalah Slamet Murtedjo alias Slamet Singgih, yang mendaftar dua kali pada 1961 dan 1962.
Pada 1961, Slamet ditolak karena berat badannya hanya 42 kg, sementara syarat minimal berat badan 45 kg. Waktu itu tinggi badan minimal 155 cm. Setelah gagal pada 1961, Slamet berjuang menaikan berat badan untuk mendaftar lagi pada 1962.
“Tes awal bisa saya lalui karena berat badan saya sudah 46 kg dan tinggi badan saya 156 cm. Tetapi pada waktu tes tinggi badan, saya turunkan menjadi 155 supaya melebihi indeks,” kata Slamet Singgih dalam Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu. Tes selanjutnya yang membuat Slamet risau adalah wawancara karena dia meresa sering gagap jika bicara. Namun, tes itu bisa dilaluinya.
Slamet akhirnya diterima sebagai taruna Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang, Jawa Tengah. Slamet satu angkatan bersama bekas prajurit komando dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang diberi kesempatan masuk Akademi Militer Magelang.
Slamet sangat khawatir dengan masalah kesehatannya karena bisa membuatnya dikeluarkan dari AMN. Dia adalah taruna yang secara akademis biasa saja. Ketika menjadi kopral taruna dia pernah sakit abses dan nyaris tidak bisa ikut ujian sersan. Namun, dia selalu lulus dan tak pernah tinggal kelas.
“Untuk prestasi di bidang fisik, semenjak menjadi calon prajurit taruna sampai sersan mayor taruna (sermatar) saya patut berbangga diri, karena di bidang fisik saya tidak berada di posisi buncit. Bahkan untuk mata pelajaran Cross Country dan halang rintang kebetulan saya selalu berada di lima besar,” kata Slamet.
Bahkan, dalam tes lari road and field, dari 426 taruna, Slamet yang sejak bocah menjadi atlet sepatu roda, finis nomor satu bersama Anggiat Sinaga. Padahal, ketika start Slamet terdesak ke belakang, namun satu per satu taruna yang mendahuluinya saat start dilewatinya.
Seperti Didi Kartasasmita, Slamet Singgih juga mencapai bintang alias jenderal. Didi terakhir di TNI sebagai Jenderal Mayor. Sementara Slamet, yang bertugas sebagai perwira bidang intelijen, terakhir di TNI sebagai Brigadir Jenderal.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar