Dari Kamp Nazi ke TNI
Donald Willem Poetiray pernah menjadi tawanan kamp konsentrasi Nazi. Kembali ke Indonesia pada masa revolusi.
Setelah tentara Belanda memasuki Jawa Timur, sebuah pasukan ditempatkan di daerah Kraksaan, Probolinggo. Komandannya seorang perwira Koninklijk Landmacht (KL) atau Angkatan Darat Kerajaan Belanda. Perwira itu seorang berdarah Indonesia, Letnan Donald Willem Poetiray (1922–2005). Umurnya belum menginjak 30 tahun ketika bertugas di sana.
Suatu kali, bagian intelijen keamanan menyampaikan pesan untuk Donald. Isinya seorang kerabat ingin bertemu. Kerabat itu tidak berada di pihak Belanda, tapi di pihak Republik Indonesia bernama Letnan TNI Kotis Anakotta.
“Dia memeluk saya, tidak ada pembicaraan tentang nasionalisme, hanya ada banyak orang Ambon di sisinya, juga Poetiray lainnya. Jadi saya diingatkan oleh lawan saya tentang hubungan keluarga saya dengan Maluku,” kata Donald seperti dicatat Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900–1950.
Baca juga: Bangsawan Jawa Memilih KNIL
Donald ingat pesan ayahnya: “Ingat, nyong, orang Ambon tidak pernah menembak orang Ambon!” Memori Donald pun melayang ke tahun 1932, ketika dia berusia sepuluh tahun, sebelum keluarganya pindah ke Negeri Belanda.
Waktu itu, Donald ikut orang tuanya, Wim Poetiray dan Rika Engel ke Saparua, Maluku. Di sana, ayah dan ibunya diterima layaknya orang kaya (orang terhormat). Ketika mereka akan meninggalkan Saparua, seorang ibu yang miskin meminta kepada orang tua Donald untuk merawat anaknya, yaitu Dika Anakotta dan Kotis Anakotta.
Namun, hubungan mereka kurang harmonis. Dika dan Kotis disuruh tidur di garasi dan tidak memiliki kelambu untuk tidur di daerah tropis yang banyak nyamuk. Mereka juga harus mengerjakan pekerjaan kasar sehari-harinya. Bahkan, suatu hari, Rika Engel memukul Dika. Sehingga Dika dan Kotis melawan lalu kabur dari keluarga Poetiray.
Setelah pertemuan Donald dan Kotis, TNI menyerang perkampungan Tionghoa. Donald dianggap gagal membalas serangan itu. Keluhan atas kinerjanya sampai ke petinggi Divisi D KL.
Meski tak jadi kasus yang dibawa ke pengadilan militer dan ada perlindungan dari perwira Divisi D KL, Donald tetap terlihat buruk sebagai perwira Belanda. Bouman menyebut beberapa perwira KNIL berdarah Indonesia mengalami hal semacam itu, tentu saja karena mereka juga orang Indonesia.
“Dua puluh persen perwira KNIL Indonesia meninggalkan dinas dengan cuti pada 1947 dan 1948. Pada 1948, banyak perwira yang tetap bertugas diberikan cuti beberapa bulan untuk pertama kalinya, yang sering mereka habiskan di Belanda,” tulis Bouman.
Donald kemudian diperbantukan di Batalyon Infanteri ke-23 KNIL. Dia masih diberi kesempatan dalam militer Belanda mungkin karena dia dianggap berjasa ikut dalam gerakan bawah tanah ketika Belanda diduduki Nazi-Jerman. Adiknya, Henk juga ikut melawan Jerman.
Baca juga: Sersan Mas Soemitro Melawan Nazi di Belanda
Donald yang jago atletik sejak sekolah ingin masuk akademi militer. Namun, dia sangat sedih ketika akademi militer Belanda harus tutup pada pertengahan 1940 karena tentara Jerman menduduki Belanda. Padahal, dia sudah berjuang mendapatkan nilai bagus ketika lulus dari Hogare Burger School Katolik.
“Donald memiliki kontak dengan ordedienst (dinas keamanan) melalui Oom Eddy Latuperisa, yang juga tinggal di Den Haag sebagai perwira KNIL yang sejak di Batavia telah menjadi yang patut dicontoh olehnya,” catat Herman Keppy dalam Zijn Jullie Kerels of Lafaards? The Indische en Indonesische Strijd tegen NAZI’s 1940-’45. Eddy Latuperisa salah satu anggota perlawanan terhadap tentara Jerman.
Donald termasuk pemuda perlawanan yang ingin melawan tentara Jerman dengan lebih kuat dengan kabur ke luar daerah pendudukan. Pemuda lain sepertinya adalah Victor Louis Makatita yang tertangkap lalu dihukum mati di Prancis.
Donald dan Albert Sprée mencoba pergi ke Swiss pada Juni 1943. Ketika terdampar di Prancis, mereka ditangkap dan ditahan di Frontstalag 122 di Compiègne, dekat Paris. Kemudian pada 27 Juni 1943, Donald dan Albert naik kereta api ke Jerman dan ditempatkan di kamp konsentrasi Buchenwald.
Albert jatuh sakit dan dibawa ke kamp konsentrasi Ravensbrück. Dia meninggal pada 29 Juli 1943 karena infeksi usus. Sementara Donald terus menjadi penghuni kamp konsentrasi Buchenwald.
Penghuni kamp konsentrasi Buchenwald dibebaskan pada 11 April 1945 menjelang Jerman menyerah. Setelah bebas, Donald mendaftar sebagai sukarelawan untuk dilatih di Inggris lalu berperang melawan tentara Jepang. Setelah 1945, Donald menjadi perwira tentara Belanda yang dikirim ke Indonesia. Jadi, setelah melawan tentara pendudukan Jerman di Belanda, dia kemudian menjadi tentara pendudukan Belanda di Indonesia pada masa revolusi.
Baca juga: Orang Indonesia yang Jadi Korban Nazi
Bouman mencatat, setelah bertugas di Batalyon Infanteri ke-23, sekitar Agresi Militer Belanda II pada akhir 1948, Donald ditempatkan di Batalyon Tjakra I sebagai komandan kompi. Sejak dulu milisi bantuan ini didukung oleh pemerintah kolonial Belanda.
Setelah akhir 1949, Donald menjadi kepala gudang bahan bakar dan amunisi KNIL di Jawa Timur. Gudang ini berisi peralatan cadangan Divisi A. Kala itu, peralatan KNIL banyak yang jatuh ke tangan TNI.
Setelah pengakuan kedaulatan, Batalyon Tjakra Madura diterima ke dalam TNI yang disebut Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Donald juga masuk TNI. Kala itu TNI masih agak kacau. Misalnya, dulu pernah ada seorang jagoan yang punya 1.000 orang anak buah lalu mengangkat diri sebagai kolonel. Oleh karena itu, pada awal 1950-an, TNI mengatur masalah ketentaraan ini.
Baca juga: Mantan KNIL yang Menolak Masuk TNI
Donald melihat adanya bekas pejuang di TNI yang rela turun pangkat tiga hingga empat tingkat. Sementara eks personel KNIL yang masuk TNI pangkatnya malah naik dua sampai tiga tingkat.
Donald naik dari Letnan menjadi Kapten. Mula-mula dia ditempatkan sebagai perwira staf dan pelatihan. Dengan pangkat Kapten, dia kemudian menjadi komandan Batalyon Infanteri 330 dan 325 di Jawa Barat.
Karier Donald di TNI tidak lama dan hanya sampai Letnan Kolonel. Dia keluar karena luka yang didapatnya ketika berada dalam kamp konsentrasi Nazi. Namun, dia sempat menyaksikan dari dekat munculnya kelas baru dalam masyarakat Indonesia.
“Sebuah elite baru muncul dan itu sama sekali tidak didasarkan pada bangsawan lama. Anda bisa sampai di sana dengan memperoleh pengetahuan, mendidik diri sendiri,” kata Donald seperti dicatat Bouman. Elite baru yang disebut Donald itu semakin kuat meski isinya silih berganti.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar