AURI Ingin Membom Markas Kostrad?
Isu rencana pemboman markas Kostrad oleh AURI menjadikan Soeharto berang dan mendendam.
PADA masa Orde Baru berkuasa, Angkatan Udara RI (AURI) kalah pamor ketimbang Angkatan Darat (AD). Namun tak banyak orang tahu, jika suatu waktu Soeharto, sang aktor utama Orde Baru, pernah gusar terhadap AURI. Itu terjadi pada 1 Oktober 1965 kala dirinya menjadi panglima Kostrad berpangkat mayor jenderal.
“Kurang lebih pukul setengah dua belas malam saya pindahkan Markas Kostrad ke Senayan, karena ada informasi, bahwa AURI akan melakukan pemboman,” kenang Soeharto dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Kepanikan Soeharto diakui oleh asisten intelijennya, Kolonel Yoga Soegomo. Dalam otobiografinya, Yoga juga mendengar kabar kalau AURI hendak membom markas Kostrad di Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. “Dan bila itu terjadi maka akan berakibat sangat buruk karena tiadanya fasilitas penangkis serangan udara,” kata Yoga dalam memoarnya Memori Jenderal Yoga.
Untuk menghindari kemungkinan terburuk, Soeharto memutuskan memindahkan markas Kostrad ke Senayan kemudian ke Gandaria. Pengungsian itu hanya berlangsung sehari. Keesokan harinya, pada 2 Oktober, Presiden Sukarno mengumpulkan semua perwira tinggi lintas angkatan di Istana Bogor. Sukarno menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamudra sebagai menjadi pimpinan sementara di AD karena keberadaan Panglima AD Letnan Jenderal Achmad Jani belum diketahui.
Baca juga: Moersjid, Soeharto dan Senapan Chung
Dalam pertemuan itu, ada Panglima AURI, Laksamana Madya Omar Dani. Soeharto jengkel dengan kehadiran Dani. Menurutnya Dani terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) apalagi setelah mendengar kabar markas Kostrad mau dihancurkan-leburkan oleh pesawat bomber AURI.
“Suasana tegang meliputi kami, maklum di sana ada Omar Dani yang sudah sangat saya curigai,” ujar Soeharto.
Kesaksian Soepardjo
Sejauh apa kebenaran isu AURI ingin membom markas Kostrad? Menurut John Roosa, sejarawan University of British Columbia, ide untuk membom markas Kostrad justru berasal dari perwira tinggi AD yang terlibat G30S, Brigjen Soepardjo. Pendapat ini didasarkan atas dokumen yang memuat kesaksian Soepardjo dalam pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Dalam kesaksiannya, Soepardjo mengakui bahwa dirinya bertemu dengan Omar Dani di Pangkalan AU Halim Perdanakusumah pada 1 Oktober 1965. Soeperdjo berpikir pasukan G30S seharusnya membom Kostrad sebagai kekuatan potensial yang tersisa dari AD. Menurut Soepardjo, hanya dengan bantuan AURI lah itu dapat dilakukan dan satu-satunya cara memenangkan kelompok G30S. Dani sejauh batas tertentu demi pertahanan AURI, mendukung penyerangan terhadap Kostrad tapi tidak untuk pemboman.
“Dani sungguh-sungguh setia kepada Sukarno dan mungkin sangat percaya bahwa presiden perlu dilindungi dari jenderal-jenderal sayap kanan,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. “Persetujuan Omar Dani terhadap pemboman Kostrad - jika memang benar - mungkin didorong oleh kehendaknya untuk melindungi presiden, yang saat itu masih berada di Halim.”
Baca juga: Sukarno Kecil dari AURI
Akhirnya, AURI memutuskan menentang penyerangan terhadap Kostrad. Para perwira AURI di Halim khawatir tentang kemuungkinan jatuhnya korban di kalangan sipil. Jika bom salah sasaran dengan mudah akan meledak di daerah pemukiman yang berdekatan.
Keraguan soal isu AURI ingin membom markas Kostrad juga diutarakan pakar politik-militer Salim Said. Menurut guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan itu, dapat dimengerti apabila Soeharto memindahkan markas komandonya karena takut dibom. Para jenderal AD menaruh curiga kepada AURI khususnya setelah mendengar radio pengumuman dukungan Panglima AU kepada G30S.
Kendati demikian, menurut Salim, keputusan mengungsi ke Senayan dan kemudian ke Gandaria itu memang terasa lucu. Seandainya AURI berencana melakukan pemboman, intel mereka tentu akan mengetahui saat itu juga dimana keberadaan pimpinan sementara AD.
“Yang akan mereka bom pastilah Senayan atau Gandaria, bukan markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur yang sudah ditinggalkan,” kata Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto.
"Bahasamu Leo"
Dani sendiri tidak pernah mengeluarkan perintah untuk membom markas Kostrad. Dalam pledoinya, Dani mengatakan, “Saya tidak pernah merasa bilang kepada saudara Soepardjo ‘Beuk maar Kostrad’ (hantam saja Kostrad!).” Pun demikian Soerpadjo yang dalam persidangannya mengatakan bahwa Dani tidak mendukung aksi pemboman. Namun Dani tidak menampik pertemuannya dengan Soepardjo, sore hari 1 Oktober 1965 di Pangkalan Halim.
Baca juga: Meringkus Soepardjo, Sang Jenderal Buronan
Usai pertemuan di Halim, pada malam hari nya, Dani bersama, Panglima Komando Operasi AURI, Komodor Leo Wattimena melakukan pemantauan udara meninjau kawasan Halim sampai Madiun dengan pesawat Hercules C-130. Memasuki pergantian hari, Dani terasa lelah dan mengantuk. Dia meminta Leo untuk berkirim radiogram kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.
Dani berpesan agar Soeharto tidak perlu menggerakan pasukannya memasuki Pangkalan Halim untuk mengejar pasukan G30S. Sebabnya, pasukan AD dari Yon 454/Raiders Kostrad yang berusaha memasuki Halim pada sore hari telah dihalau oleh PGT (Pasukan Gerak Tjepat)-AURI. Jika bersikeras masuk, di Pangkalan Halim hanya ada pasukan PGT-AURI, anggota Pangkalan, dan kru pesawat yang sedang dikonsinyasi. Setelah menitipkan pesan itu, Dani tertidur sehingga tidak sempat memeriksa isi radiogram.
Siapa nyana, Leo Wattimena menerjemahkan maksud Dani dengan pesan radiogram yang singkat, padat, dan tegas. “Jangan masuk Halim. Kalau masuk Halim akan dihadapi,” demikian bunyi radiogram yang dikirimkan Leo ke markas Kostrad. Tidak sampai disitu. Pesan yang sama juga dikirimkan ke Komandan Wing 002 PAU Abdurachman Saleh, Kolonel (Pnb.) Soedarman di Malang. Soedarman menangkap sinyal “siaga” dan segera mengirimkan dua pesawat bomber B-25 beserta sejumlah pesawat pemburu ke Pangkalan Halim.
Baca juga: Kisah Tragis Panglima Sukarnois
“Mendengar informasi tentang PAU Halim akan diserang oleh pasukan lain, mereka cepat bertindak untuk membela korpsnya,” tulis Benedicta A. Surodjo dan JMV. Soeparno dalam Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku: Pledoi Omar Dani.
Dani baru mengetahui isi radiogram itu setelah ditahan di Cibogo, Bogor. Sebagai bukti yang dituduhkan kepadanya, Dani diperkenankan membaca bunyi dari isi radiogram yang dikirimkan Leo. Sewaktu membaca arsip radiogram, Dani kaget seraya berkomentar: “Oh Leo…, bahasamu memang begitu. Kort en bondig! Cekak aos! (tegas dan singkat) dan dapat diartikan terlalu keras!”
“Radiogram itu menimbulkan kesan seakan-akan AURI memberikan ultimatum kepada Panglima Kostrad. Berita yang tersebar ke luar negeri, menimbulkan kesan seakan-akan Angkatan Udara berperang melawan Angkatan Darat,” tulis James Luhulima dalam Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965.
Baca juga: Omar Dani, Panglima yang Dinista
Omar Dani menyadari, apapun dan bagaimanapun bunyi radiogram itu adalah tanggung jawabnya selaku pimpinan tertinggi AURI. Dia pun meyakini benar Leo bukan bermaksud demikian. Namun Soeharto yang terlanjur geram dibuatnya menuntut balas. Ketika Soeharto memperoleh kekuasaan lewat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, Dani diseret sebagai pesakitan politik. Panglima AURI di masa jaya ini pun harus mendekam dalam penjara selama 30 tahun. Namanya dinista semasa Soeharto berkuasa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar