Akhir Petualangan Haji Prawatasari
Hidup berpindah-pindah sebagai buronan kompeni, api perlawanan Prawatasari harus padam jauh dari tanah kelahirannya.
Begitu Ki Mas Tanu dan komplotannya diamankan ke Afrika Selatan, VOC melancarkan secara gencar operasi perburuan Haji Prawatasari. Tidak cukup mengerahkan para serdadunya, VOC pun menghargai kepala Haji Prawatasari dengan uang 300 ringgit. Namun tak seorang pun tertarik dengan tawaran tersebut.
Baca juga:
Sementara itu, aksi-aksi perlawanan secara gerilya terus menerus dilancarkan oleh pasukan Prawatasari, mulai dari Utama, Bojonglopang (masuk Karawang), dan Kawasen di daerah Priangan Timur. Dia pun sempat menyusup kembali ke wilayah Jampang Manggung dan kemudian pindah ke wilayah Bogor untuk mengganggu lagi pinggiran Batavia.
Situasi tersebut tentu saja menjadikan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704—1709) berang. Dia lantas mengeluarkan intruksi keras, ditujukan kepada para bupati Priangan.
“Diwajibkan bagi seluruh bupati untuk mencegah masuknya para penjahat atau perampok seperti Prawata serta semua musuh Kompeni dan Kerajaan Cirebon ke daerah masing-masing. (Diwajibkan pula) untuk menyerahkan mereka hidup atau mati kepada Pangeran Aria Cirebon atau penguasa Kompeni di Cirebon, jika tidak mengindahkan intruksi ini maka para bupati akan dihukum dan dipecat."demikian menurut sejarawan Belanda F.de Haan dalam Priangan; de Preanger Regentschappen Onder het Nederlandsche Bestuur tot 1811.
Menurut sesepuh Cianjur Aki Dadan, Prawata sadar bahwa seruan itu menempatkan dirinya ada dalam posisi berhadapan langsung dengan para penguasa Priangan termasuk dengan sang kakak, Aria Wiratanu II. Tidak ingin “menyusahkan” para bupati dan rakyat yang diam-diam selalu mendukung perjuangannya, Prawata dan pasukannya menyingkir ke wilayah Kertanegara di Banyumas.
Grup pemburu dari VOC pun bergegas menuju tempat yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Purbalingga tersebut. Pada 1706, sepasukan serdadu VOC pimpinan Kapiten Zacharias Bintang (1660—1730) berhasil memukul mundur pasukan kecil Prawatasari dari Kertanegara.
“Usai mengusir penjahat Radin Panwata Sari (Prawatasari) dari wilayah Kertanegara, Bintang pun mendirikan benteng di wilayah itu,” demikian penuturan Valentijn Zie dalam Oud en Niew Oost Indie.
Kapiten Bintang merupakan salah satu perwira VOC terkemuka asal Manipa, Maluku. Menurut Zie, dia memiliki pengalaman tempur yang mumpuni. Pernah bertempur bersama Kapiten Jonker (masih sepupunya) di Palembang, Sailan, India dan dua tahun sebelum berhadapan dengan pasukan Prawatasari, Bintang dengan 500 prajurit Malukunya sempat mengalahkan pasukan Demak.
Baca juga:
Begitu mundur dari Kertanegara, Prawatasari dan pasukannya menyingkir ke Bagelen, suatu wilayah yang terletak di Purworejo. Di sinilah kemudian pada 1707 pasukan menak dari Cianjur itu dihabisi oleh kompeni.
Haji Prawata sendiri tertangkap hidup-hidup dalam pertempuran itu. Tentara kompeni kemudian membawa sang haji ke Kartasura. Tidak lama setelah tertangkap, dia pun dihukum mati.
Namun sebagian besar sesepuh Cianjur menyebut versi kisah ini sebagai omong kosong pihak Belanda semata. Menurut Aki Dadan, sesungguhnya Haji Prawatasari tak pernah dibawa hidup-hidup ke ibu kota Mataram tersebut. “Untuk apa dibawa ke sana? Kenapa tidak dibawa saja ke Batavia kalau memang dia bisa ditangkap hidup-hidup?” ujar Aki Dadan.
Para sesepuh Cianjur yang diwakili Aki Dadan percaya bahwa saat diserang di Bagelen pada 12 Juli 1707, Haji Prawatasari memilih untuk melakukan pertarungan habis-habisan. Dalam kondisi terdesak, Haji Prawata memerintahkan para pengikutnya untuk masing-masing menyelamatkan diri.
“Haji Prawata sadar, saat itu ajal sudah datang menjemputnya dan menginginkan agar para pengikutnya selamat untuk meneruskan perlawanan terhadap VOC,” ujar Aki Dadan.
Dalam kenyataannya, kata Aki Dadan, hanya 11 pengawal yang menuruti perintah sang haji termasuk kakek buyutnya yang bernama Ayah Enggon. Sedang salah seorang dari mereka memilih untuk mendampingi Haji Prawatasari. Sepeninggal 11 pengawal tersebut, pertempuran pun terus berlangsung. Bumi Bagelen menjadi saksi bagaimana “dua maung dari Cianjur” mengamuk. Tanpa menghiraukan luka-luka yang memenuhi tubuh mereka, Haji Prawata dan sang pengawal terus melawan hingga mereka tumbang dan gugur dalam posisi saling melindungi di sebuah batu besar.
“Menak yang masih membujang itu akhirnya perlaya (gugur) dalam usia 28 tahun,”kata Aki Dadan.
Baca juga:
Selanjutnya tak ada kejelasan, kemana pihak tentara VOC membawa kedua jasad pejuang tersebut. Yang jelas, hari ini menurut Aki Dadan di Desa Bingkeng masuk dalam wilayah Kecamatan Dayeuh Luhur, Cilacap, ada dua makam yang dianggap keramat dan diyakini sebagai tempat peristirahat terakhir “dua maung” itu.
“Salah satu makam yang paling besar dikenal orang-orang sana sebagai makamnya Raden Aria Salingsingan,” ujar sastrawan Cianjur itu. Versi mana yang benar?
Hingga kini belum ada kejelasan. Mungkin seharusnya dengan adanya berbagai versi tersebut, memicu Pemerintah Kabupaten Cianjur membentuk tim riset representatif untuk mengguar sejarah perjuangan Haji Prawatasari. Terlebih jika sosok tokoh itu akan dicalonkan kembali menjadi Pahlawan Nasional dari Jawa Barat di waktu mendatang.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar